Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2020

[CERPEN] RISIKO JADI ORANG KAYA

Gambar
           Oleh: Usman Hermawan “Mun, pinjami saya duit, buat bayar kreditan motor. Kalau tidak dibayar besok, bisa kena denda.” Sumarna, sarjana sosial yang pekerjaannya sebagai calo tanah itu tergopoh-gopoh datang ke rumah saya bakda asar. “Kamu lagi. Tidak sopan. Yang tua-tua juga jarang memanggil begitu. Memangnya tiga kali naik haji tidak pakai ongkos?!” Seketika saya mengomel setengah bergurau. Saya terbiasa dengan panggilan Haji atau Ji paling tidak. “Oh, maaf Ji, eh Kang Haji Munawar yang saya hormati.” “Juga gak gitu-gitu amat kali, lebay ! Sewajarnya sajalah!” Sumarna salah tingkah. “Bicaralah yang jelas Sum, ada perlu apa?” “Pinjam duit, sedikit, enam ratus.” “Sedikit? Sedikit kok mesti pinjam?” Sumarna meremas-remas tangannya. Saya hening sejenak. Saya jadi agak serba salah. Utang-utangnya yang lalu saja belum dilunasi, malah mau pinjam lagi. Saya memang tidak menagih u...

[CERPEN] Kopiah Pak Guru

Gambar
  Dimuat di Mastra Kandaga Kantor Bahasa Banten, Edisi XI-Agustus 2019                                                                                   Usman Hermawan “Hore, Pak Guru tidak masuk!” teriak seorang murid begitu mengetahui bahwa Pak Dahlan menitipkan tugas pelajaran.Teman-temannya menyambut gembira. Kendati Pak Dahlan bukan termasuk guru yang tidak disenangi tapi murid-muridnya ingin juga merasakan keadaan kelas tanpa kehadirannya saat jam pelajaran yang diampunya. “Sssst jangan berisik, ada kopiahPak Guru!” bisik Sarmin, ketua kelas lima, seraya menunjuk ke kopiah yang baru saja diletakkannya di atas meja guru.Sarmin menyuruh sekretaris kelas menuliskan tugas tersebut di papan tulis.Teman-temannya percaya dan langsung diam...

[CERPEN] BISNIS KEMATIAN

Gambar
    Usman Hermawan Usianya hampir genap lima puluh sembilan tahun. Akibat terjadi pengurangan karyawan Mustahal diberhentikan dari pekerjaannya di pabrik garmen. Uang pesangon tujuh puluh juta rupiah dibiarkannya tersimpan di bank. Sambil mencari-cari peluang usaha untuk sementara dia secara sukarela bekerja di masjid kampung sebagai marbut, tidak menerima upah. Bahkan dia bersedia merogoh kocek sendiri untuk sekadar membeli bahan dan alat kebersihan. Intinya dia hanya ingin punya kesibukan. Dia tidak hirau terhadap komentar orang yang bernada merendahkan. Setelah berkali-kali melaksanakan salat istikharah barulah dia mendapatkan kemantapan hati untuk kemudian membuka usaha yang berhubungan dengan kematian. Selanjutnya mulailah dia menyiapkan kios di sayap kiri rumahnya dan berbelanja beragam barang   yang biasa digunakan untuk kematian di kampungnya,   seperti kain kafan, tikar pandan, kapur barus, setanggi, payung hitam, minyak wangi, dan lain-lain. Persediaan t...