[CERPEN] RISIKO JADI ORANG KAYA
“Mun, pinjami saya duit, buat bayar kreditan motor. Kalau tidak dibayar besok, bisa kena denda.” Sumarna, sarjana sosial yang pekerjaannya sebagai calo tanah itu tergopoh-gopoh datang ke rumah saya bakda asar.
“Kamu
lagi. Tidak sopan. Yang tua-tua juga jarang memanggil begitu. Memangnya tiga
kali naik haji tidak pakai ongkos?!” Seketika saya mengomel setengah bergurau.
Saya terbiasa dengan panggilan Haji atau Ji paling tidak.
“Oh,
maaf Ji, eh Kang Haji Munawar yang saya hormati.”
“Juga
gak gitu-gitu amat kali, lebay!
Sewajarnya sajalah!”
Sumarna
salah tingkah.
“Bicaralah
yang jelas Sum, ada perlu apa?”
“Pinjam
duit, sedikit, enam ratus.”
“Sedikit?
Sedikit kok mesti pinjam?”
Sumarna
meremas-remas tangannya.
Saya
hening sejenak. Saya jadi agak serba salah. Utang-utangnya yang lalu saja belum
dilunasi, malah mau pinjam lagi. Saya memang tidak menagih utangnya,tapi tidak
berarti saya mengikhlaskannya untuk tidak usah dibayar. Padahal telah beberapa
kali dia mendapat keuntungan dari penjualan tanah yang dicaloinya. Kalau saya
katakan bahwa saya sedang tidak punya duit dia pasti tidak percaya.
“Cuma
enam ratus ribu, Mun, eh Kang Haji. Nanti setelah saya mendapat komisi dari
pembayaran tanah Babah Chun Lie, pasti akan saya bayar.”
“Serius,
Sum?”
“Iya,
Kang Haji. Harganya sudah deal.”
Hah,
omong kosong dia. Kemarin justru Babah Chun Lie membantah tanahnya akan dijual.
Itu cuma gembar-gembor para calo saja. Saya tidak mau memberi pinjaman kepada
Sumarna.Pikir saya, sekali-sekali dia harus diberi pelajaran.
“Sum,
duitnya baru kemarin dipakai bayar Avanza dua, Fortuner satu, sama Baleno.
Belakangan ini dagangan lagi sepi. Persediaan duit saya hari ini kosong. Maksud
saya, duit yang ada tidak bisa dipinjamkan karena saya sudah berjanji besok mau
bayar Terios.”Terpaksa saya berbohong.
“Atau
lima ratus.”
“Juga
tidak bisa, Sum.”
Sumarnatermanggut-manggut,
tapi tampak tidak puas. Saya kira urat malunya belum benar-benar putus,
sehingga dia tidak berani memaksa.Namun saya kasihan juga. Saya memberinya lima
puluh ribu rupiah sekadar untuk uang rokok. Tidak mengapa tekor duit segitu
daripada enam ratus ribu tidak dibayar. Kapok saya memberi dia pinjaman.
Sumarna
adalah satu dari sekian orang yang kerap berharap belas kasihan dari saya
ketika mengalami masalah keuangan.Padahal dia bukan sanak saudara saya.Keramahan
saya sering disalahartikan. Memangnya saya moyang mereka? Sebal saya. Namun yang
tak kalah menyebalkan selain Sumarna adalah, ah saya tak perlu menyebut
namanya, suami dari kakak istri saya. Kakak ipar. Dulu dia pelitnya minta
ampun. Ketika saya baru tiga tahun berumah tangga anak saya sakit keras,
terpaksa dibawa ke rumah sakit. Saya tahu dia sedang berjaya. Usahanya buka
toko sembako di pasar sedang lancar. Dia tahu saya dalam kesulitan, ketika saya
meminta pinjaman duit, diberinya saya nasihat. Saya butuh duit untuk membayar
rumah sakit, bukan nasihat. Sakit hati saya. Belakangan ini dia meminta
dipinjami duit untuk tambahan modal. Tokonya di ambang kebangkrutan. Ah, malas
saya melayaninya.
Setelah
merenung-renung, saya jadi sadar bahwa berkat sakit hati itulah kemudian saya
jadi terpacu untuk berusaha keras agar hidup saya tidak miskin. Saya bertekad
agar usaha saya berhasil. Mulanya saya
ikut teman berjual-beli sepeda motor bekas. Dari ikut-ikutan sampai kemudian
punya dealer sendiri, daeler motor bekas. Bisnis saya berkembang pesat. Tapi
lama-lama itu saya tinggalkan, meningkat
menjadi bisnis mobil. Saya berusaha keras agar jangan sampai bangkrut.
Alhamdulillah, hasilnya lebih dari cukup. Setiap ada warga yang kesulitan
keuangan datang kepada saya untuk menawarkan tanahnya. Saya membelinya dengan
harga di bawah harga pasaran, kadang-kadang dicicil pula. Hingga kemudian hampir
sepertiga luas tanah dari kampung yang saya tinggali adalah milik saya. Tak ada
orang lain yang punya tanah luas kecuali
saya. Bukan bermaksud sombong, wajar kalau orang-orang menyebut saya sebagai
orang kaya, bahkan terkaya. Tentu saja saya harus pandai-pandai mempertahankan
kekayaan, bahkan kalau bisa diusahakan bertambah.Namanya juga bisnis mobil, mau
tak mau saya harus berurusan dengan sistem bank, bahkan bank konvensional yang
ditengarai mengandung riba. Kiyai saya menyarankan agar saya banyak sedekah
sebagai pembersih harta saya. Itu sebabnya saya sering mengumpulkan kaum duafa
dan fakir miskin untuk saya beri sedekah. Bahkan belakangan setiap Jumat
menyantuni anak yatim. Berkat begitu, rezeki saya bertambah lancar, selain saya
terus memutar strategi bisnis semampu saya.
Sejujurnya
dengan punya banyak duit untuk mendapatkan teman sangat mudah.Di setiap kampung
ada teman saya. Kalau kebetulan berkumpul di warung makan, mereka tidak menolak
saat mau saya traktir. Tapi saya tidak mau terlalu royal, penggunaan duit harus
proporsional, karena untuk mendapatkannya tidak semudah mengedipkan mata. Saya
harus hitung-hitungan. Tidak boleh
sampai besar pasak daripada tiang.
Sesungguhnya
hidup miskin ataupun kaya ada saja ujiannya. Berkat cukup duitlah saya kemudian
tergoda perempuan. Semula saya tidak mau main perempuan, tapi kami saling
menyukai. Katertarikan saya begitu kuat. Demi menghindari hal yang haram, tanpa
sepengetahuan istri saya, saya pun menikah lagi. Sejauh ini pihak keluarga
belum ada yang tahu. Jaraknya yang cukup jauh memungkinkan rahasia ini tidak
terbongkar. Dan kami, saya dengan istri muda, sepakat untuk merahasiakannya.
Sekurang-kurangnya sekali dalam sepekan saya harus mendatangi istri muda.
Ketika saya tidak pulang dalam satu atau dua malam, cukup saya katakan bahwa
saya sedang ada urusan bisnis. Istri pertama saya tidak curiga.
Saya
rasa untuk menjadi kaya tidak harus berpendidikan tinggi. Saya cuma lulusan SMP
karena faktor biaya, walaupun tidak saya pungkiri bahwa banyak orang yang jadi
kaya berkat pendidikan. Untuk menjadi pejabat harus berpendidikan, kecuali
pejabat ketua RT dan RW. Di kampung saya, jabatan sosial yang sering bikin
tekor keuangan itu dipegang oleh mereka
yang tidak berpendidikan. Mereka bangga jadi ketua RT dan RW, tapi jiwa sosial
mereka juga tinggi, mengalahkan mereka yang berpendidikan tinggi.
Seperti
kata orang-orang kampung saya, apa pula artinya pendidikan tinggi jika
ujung-ujungnya cuma jadi ketua RT seperti si Usin, atau jadi kacung seperti
Madroni, bahkan jadi penipu seperti Sudayat yang sering dicari polisi.
Bukan
saya sombong, saat ini, jika berhitung harta, tak ada yang lebih kaya dari saya
di kampung ini. Tak ada warga yang memiliki tanah di atas satu hektare. Paling
banter setengah hektare. Sedangkan tanah saya mencapai belasan belas hektare. Jika harga per meternya minimal satu
juta rupiah, sudah berapa duit saya di situ? Rumah saya, walau tidak
bertingkat, ukurannya 30 x 35 meter, berdiri di atas tanah seluas lapangan
sepak bola. Bukan omong kosong. Ini kenyataan. Mobil saya ada seratus dua,
meskipun yang seratusnya dagangan. Tapi itu juga kepunyaan saya. Saya pernah
tiga kali menunaikan haji dan beberapa kali umrah. Istri, anak, dan kedua orang
tua serta adik dan kakak saya juga sudah saya ongkosi berhaji. Anak-anak yatim
dan fakir miskin, sekurang-kurangnya setahun sekali saya santuni. Sejujurnya,
duit saya tak pernah benar-benar habis.
Saya
berguru kepada beberapa kiayi. Saran-sarannya saya patuhi. Beragam bahan wiridan
yang mereka ijazahkan saya amalkan. Tidak cuma wirid, puasa berapa hari pun
saya lakoni. Kerja keras itu memang nyata buahnya. Harta yang saya punya saat
ini semuanya hasil jerih payah saya dibantu istri. Tak ada harta, semisal
tanah, yang diberikan orang tua saya. Begitu pula istri saya. Kami berasal dari
keluarga miskin. Saya tidak mau hidup miskin. Itu sebabnya saya bekerja keras
dengan berbisnis.
Sumber
penghasilan saya berasal dari berjualan mobil, kini berada di tiga lokasi.
Ketiganya di lahan milik pribadi saya. Saya kira, berkat doa kedua orang tua
saya juga usaha saya lancar.Sekarang saya bos, sekaligus karyawan. Tidak setiap
orang seberuntung saya. Segala pencapaian saya bukan diperoleh dengan mudah.
Sebelumnya saya pun mengalami jatuh-bangun. Saya sempat ditipu rekan bisnis.
Ratusan juta duit saya melayang. Saya juga pernah mendekam di sel penjara
gara-gara tertipu, ternyata mobil yang saya beli hasil curian.
Berbisnis
seperti saya tidak bisa terhindar dari hubungan dengan bank, bank konvensional.
Tahu sendirilah bagaimana bank konvensional, juga sistem leasing, seperti kata para ulama, mengandung riba. Untuk
membersihkan harta, saya harus memperbanyak sedekah dan membayar zakat.
Hidup
ini seolah serba salah. Kaya seperti saya ini telah membuat banyak orang iri.
Mungkin mereka senang kalau saya susah. Di waktu-waktu senggang dan saat
memijit saya ada saja yang diceritakan si Oping
ihwal omongan orang lain terhadap saya. Saya percaya si Oping tidak
mengarang-ngarang. Saya tahu dia. Dia orang jujur, tepatnya lugu, polos.
Apa-apa yang dibicarakan orang lain mengenai saya, selalu disampaikannya kepada
saya tanpa disaring-saring, tidak peduli saya bakal marah karenanya. Saya tetap
menanggapi setiap pembicaraannya. Setiap
selesai bercerita, saya memberinya duit antara dua puluh sampai seratus ribu
rupiah. Tugas pokok anak muda ini di show room sebagai pelayan merangkap petugas kebersihan.
Berkat
segala cerita si Oping saya jadi tahu
apa saja yang dibicarakan orang di kampung mengenai diri saya. Ketika saya
menyantuni anak yatim dan fakir miskin, apa kata orang? Itu cuma syarat. Jika
tidak, saya bisa dimarahi bahkan dibunuh dengan cara halus oleh makhluk yang
berada di tempat pesugihan yang saya mintai bantuan. Intinya saya mendapatkan
kekayaan dengan cara pesugihan. Ada bantuan makhluk lain sehingga duit saya
banyak. Lihat saja, nanti juga bakal ada yang menjadi tumbalnya.
Seseorang
menceritakan bahwa ada makhluk halus berwujud perempuan cantik datang ke rumah
saya, masuk kamar khusus dengan membawa koper besar berisi duit. Cuma saya yang dapat melihatnya. Dari
duit yang banyak itulah sumber kekayaan saya. Banyak orang lainnya
menceritakan, ada makhluk lain yang bertugas menggiring calon pembeli untuk
datang ke show room saya. Saya juga
diisukan memakai susuk di bibir agar calon pembeli selalu percaya atau menurut
pada setiap ucapan saya. Kalaupun saya berhaji itu cuma kedok dan sekadar
pelesir sehingga saya tampak seperti orang saleh dan dipercaya orang. Pergi ke tanah
suci juga bergantung niatnya. Selain menunaikan ibadah haji, saya juga
mengunjungi tempat-tempat lain dengan tujuan untuk memperbanyak kekayaan. Untuk
jaga-jaga, selain punya banyak jimat saya juga punya si bongkok alias pistol
secara ilegal. Saya percaya si Oping tidak mengarang-ngarang. Dia bercerita
sesuai dengan hasil mendengarkannya dari omongan orang-orang.
Belum
genap sepekan Sumarna datang lagi menghadap saya. Apa lagi keperluannya kalau
bukan pinjam duit. Tapi kali ini lebih menyebalkan, bahkan kurang ajar dia.
“Demi
Tuhan, saya benar-benar perlu Kang Haji. Dua puluh juta.” Kali ini dia lebih
sopan.
“Gila.
Banyak amat, Sum. Untuk keperluan apa?”
“Kurangnya
segitu, Kang. Sebenarnya perlunya delapan puluh juta.”
“Untuk
apa?”
“Biasa.
Urusan bisnis tanah. Ada tanah pinggir jalan kampung yang mau dijual.
Pemiliknya lagi butuh duit. Butuh banget. Katanya sih anaknya kecelakaan
sehingga harus dioperasi. Sayang kan kalau tidak dibeli. Tidak lama juga tanah
itu bakal laku mahal. Untungnya bisa tiga kali lipat.”
“Mengapa
kamu mesti minta bantuan saya?”
“Cuma
Kang Haji yang bisa bantu. Nanti kalau dijual untung akan saya tambah
kembalinya.Untungnya bagi dua.”
“Kalau
saya tidak mau kasih?”
“Jangan
gitulah Kang Haji. Rahasia Kang Haji kan ada di tangan saya. Saya kan tidak
perlu mengatakannya kepada siapa-siapa, terlebih kepada istri Kang Haji. Maaf
istri Kang Haji sedang pergi kan?”
“Hah,
apa maksud kamu Sum?”
“Setiap
kali Kang Haji ke selatan saya tahu rumah siapa yang dituju. Memang lumayan
jauh dari sini, tapi di sana ada rekan bisnis saya.”
Wah,
dia tahu hal yang selama ini saya rahasiakan. Kalau istri saya tahu rahasia
ini, bisa rumit urusannya. Demi agar Sumarna tutup mulut terpaksa saya
memberinya pinjaman duit.
“Kalau
dua puluh juta yang kamu mau pinjam saat ini tidak ada Sum, adanya sepuluh
juta. Bagaimana?”
“Bisa
ditambah Kang Haji? Biar rahasia lebih terjamin. Saya juga harus menutup mulut
teman saya biar gak ngoceh.”
“Lima
belas, mau?”
“Boleh.”
Gila,
memang harus disumpal mulut Sumarna. Saya kalah. Saya harus menyediakan duit
untuk jaga-jaga kalau Sumarna datang. Namun sejak saya memberinya pinjaman
duit, Sumarna tak lagi tampak batang hidungnya.
“Permisi
Pak, mohon menghadap.”
“Ah,
kamu Oping. Mau cerita apa?”
“Ada
gosip baru Pak. Tentang Bapak.”
“Tentang
apa Ping?”
“Istri
Kang Sumarna mengamuk. Dia menyebut-nyebut nama Haji Munawar sebagai penyandang
dana untuk Sumarna menikah lagi dengan gadis di daerah K.”
“Hah,
yang benar Oping?”
“Pak
kapan saya pernah berbohong kepada Bapak? Selain itu ada pula warga yang
mengatakan akad nikah Kang Sumarna disaksikan oleh Haji Munawar. Maaf, betul
begitu, Pak?”
“Kurang
ajar Si Sumarna!”
Apes
saya. Marah bagaimana, tidak marah bagaimana saya. Serba salah. Saya jadi
was-was, perang Baratayuda sepertinya telah di ambang pintu. Dengan cara apa
saya menjinakkan istri saya kalau dia mengamuk.Penjaga rumah saya, si Bewok,
muncul dengan senyum yang tak jelas maksudnya. Saya curiga, jangan-jangan dia
tahu permasalahan saya.
“Ada
apa kamu?” tanya saya dengan nada kesal.
“Mau
pinjam duit, Bos.”
Hah,
manusia yang satu ini memang menyebalkan. Sukanya menambah masalah.¦
Komentar
Posting Komentar