[CERPEN] Kopiah Pak Guru
“Hore, Pak Guru tidak masuk!” teriak seorang murid begitu mengetahui bahwa Pak Dahlan menitipkan tugas pelajaran.Teman-temannya menyambut gembira. Kendati Pak Dahlan bukan termasuk guru yang tidak disenangi tapi murid-muridnya ingin juga merasakan keadaan kelas tanpa kehadirannya saat jam pelajaran yang diampunya.
“Sssst jangan berisik, ada kopiahPak
Guru!” bisik Sarmin, ketua kelas lima, seraya menunjuk ke kopiah yang baru saja
diletakkannya di atas meja guru.Sarmin menyuruh sekretaris kelas menuliskan
tugas tersebut di papan tulis.Teman-temannya percaya dan langsung diam.
Tak seorang murid pun yang berani
menyentuh kopiah hitam yang tampak kusam dan kecokelatan itu. Biasanya kopiah
itu berada di kepala Pak Dahlan. Sekarang kopiah itu mewakili kehadirannya di
kelas, di atas meja guru.
“Ssssst jangan berisik, ada kopiah
Pak Guru!” cetus seorang murid mengingatkan begitu seorang temannya mulai gaduh
dengan memukul-mukul meja sambil bernyanyi sekenanya.Murid yang hendak berisik pun
kembali tertib.
Kalau kopiahnya berada di kelas seperti saat ini, berarti hari ini Pak
Guru tidak mengenakan kopiah. Kemungkinan besok Pak Gurutiba di sekolah tidak
mengenakan kopiah. Begitu yang
terpikir oleh murid-muridnya,sebab itu adalah kopiah satu-satunya yang selalu
dikenakan Pak Dahlan setiap kali mengajar di kelas mereka.
Saat pembagian rapor akhir semester
lalu tiga murid memberi kado kopiah hitam mirip yang dikenakannya selama ini.
Mereka berharap Pak Dahlan berganti kopiah, sebab kopiah hitamnya sudah tampak
kecokelatan. Namun pada hari-hari berikutnya Pak Dahlan masih mengenakan kopiahlamanya
itu. Kopiahnya itu-itu saja, setahu mereka tak pernah berganti.
“Kopiahnya ndak ganti-ganti
Pak?” cetus seorang murid yang mengetahui bahwa tiga temannya telah memberinya
kado berisikopiah.
“Ini kopiah pusaka.” Pak Dahlan
mencopot kopiahnya seraya mengumbar senyum. “Masih layak pakai, kok.” Rambut di
bagian atas kepala Pak Dahlan tampak jarang, mungkin tidak lama lagi akan
botak.
Murid-murid bergantian bicara.
“Kalau ada yang mau membeli, dijual
Pak?”
“Ah, kamu iseng saja. Memangnya kamu
mau membeli kopiah ini?”
“Ndak sih, lagi pula saya kan perempuan. Ya ndak pantas
perempuan pakai kopiah seperti itu, Pak.”
“Apa istimewanya kopiah itu Pak?”
Pak Dahlan berpikir sesaat. “Yang
berharga dari kopiah ini adalah sejarahnya.”
“Sejarahnya bagaimana, Pak?”
“Ah, kamu mau tahu saja. Rahasia
dong!”
“Apa ndak sebaiknya sejarahnya dimasukkan ke dalam pelajaran IPS, Pak,
judulnya Sejarah KopiahPak Dahlan?”
Beberapa murid tertawa.
“Betul Pak, bukankah kita harus
menghargai sejarah?”
“Betul, tapi untuk yang ini tidak
perlu, cukup untuk cerita selingan saja saatkalian belajar SejarahMasuknya Islam
di Nusantara.”
“Boleh dong Pak, ceritakan sedikit
sejarah kopiahnya!”
“Sejarahnya ini tidak sedikit.”
“Maksud saya, karena waktunya
sedikit maka ceritanya sedikit saja.”
“Kalau banyak bagaimana?”
“Jangan Pak, nanti Si Dudung mengantuk.
Hahahaha.”
“Si Dudung tukang mengantuk memang
bawaan sejak orok!”
Si Dudung sering jadi objek candaan
karena hampir setiap hari mengantuk di kelas akibat sering bangun malam
membantu ibunya menyiapkan dagangan nasi uduk. Baginya hal itu sudah biasa. Dia
tak pernah marah.
Tak seorang murid pun berani
mengusik keberadaankopiah Pak Dahlan setelah Sarmin meletakkannya. Mereka
percaya pada ucapan Sarmin bahwa kopiahPak Dahlan ada jimatnya. Pada kopiah itu
ada karisma Pak Dahlan, guru yang disegani karena kedalaman ilmu dan hikmah
yang diperolehnya, serta kemampuannya menyindir sambil melucu tanpa melukai
perasaan murid-muridnya.
“Sssst, jangan berisik. Ada kopiahPak Guru!”
Seorang murid mengingatkan temannya dengan serius. Tak ada pula yang berani
membicarakan keburukanPak Dahlan, semisal susahnya memberi nilai tinggi atau
kebiasannya menaik-naikan celana. Mereka khawatir Pak Dahlanmendengarnya. Kopiah
itu menjadi saksi bagaimana kegiatan di kelas berlangsung. Mereka seperti
benar-benar diawasi sang empunya kopiah.
Sikap berbeda terjadi terhadap guru lain. Ketika mendengar guru lain
berhalangan hadir bahkan dengan alasan sakit,
ada saja murid yang berucap syukur. Sedangkan terhadap Pak Dahlan tidak.
Itu karena adanya kopiah Pak Dahlan.
Mengetahui di kelas tak ada guru
tiga murid kelas enam tiba-tiba masuk dengan mengeluarkan terikan yang tak
jelas. Mereka sengaja ingin membuat kegaduhan. Mereka baru kembali dari kamar
kecil. Seisi kelas sontak terkejut.
“He, jangan berisik!” Sarmin segera
menghalau. “Keluar kalian!”
Ketiga murid itu hendak menyerang
Sarmin dengan tangan terkepal seperti menantang berpanco.
Sarmin tak gentar. “Eeee, kalian tidak takut? Itu ada kopiah Pak Guru!”
Seorang yang berbadan gemuk langsung
ciut nyalinya, diikuti kedua temannya. Mereka segera meninggalkan kelas.
Beberapa murid beranjak dari kursinya hendak mengusir mereka. Sarmin segera
menenangkan. “Sssst, ada kopiah Pak Guru!”
Kelas kembali tenang. Tugas dari Pak
Dahlan mereka kerjakan dengan baik. Selanjutnya mereka kumpulkan di samping kopiahitu
tanpa ada yang berani menyentuhnya. Setelah semuanya terkumpul Sarmin membawa
hasil pekerjaan mereka beserta kopiahPak Dahlan ke kantor dan meletakkannya di
meja Pak Dahlan dengan hati-hati. Setelah itu Sarmin pun kembali ke kelas.
“He teman-teman, kita tebak-tebakan
yuk! KopiahPak Guru masih di sekolah, besok dia ke sekolah mengenakan apa?”
“Mengenakan batik!”
“Mengenakan helm.”
“Helm yang mana ni? Tanpa memakai
helm keningPak Dahlan sudah menyerupai helm!” Mereka tertawa lepas.
“Sssstt jangan berisik, ada Pak
Dahlan!”
“Di mana?”
“Di mana-mana.”
Sebagian murid tak kuat menahan
tawa.
Ada yang mencoba menyergah, “He
jangan begitu dong, nanti kualat tahu rasa!”
“Doakan saja semogaPak Guru lekas sehat, biar
bisa mengajar kita lagi.”
Setelah di kelas tak ada lagi kopiahPak
Dahlan, para murid jadi berani membicarakan Pak Dahlan.Pembicaraan mengenai Pak
Dahlanpun terhenti begitu terdengar bel tanda istirahat.
***
Sesungguhnya Pak Dahlan tidak sakit.
Kondisi ekonomi yang minim memaksanya untuk meninggalkan tugas di sekolah. Dia
sedang mengantar penumpang. Pak Dahlan memang sering menyambi sebagai tukang
ojek.Honor mengajarnya yang sering telat berdampak
signifikan terhadap kesejahteraan keluarganya. Hal itu tidak menjadi
keluhannya, tapi dia berupaya mendapatkan pemasukan dengan mengojek meskipun
risikonya dia telat datang ke sekolah atau tidak mengajar samasekali.Pak
Dirman, kepala sekolah, tidak bisa menindak tegas. Dia memaklumi hal itu. Hanya
sekali-sekali dia mengingatkan agar guru jangan terlalu sering membolos,
kasihan anak-anak yang ingin belajar serius.
Telah dua puluh tahun menjadi guru
honor belum ada perubahan berarti bagi Pak Dahlan dalam hal pendapatan. Pekerjaannya
sebagai guru ngaji di rumah nyaris tak mendapatkan penghargaan materi dari para
orang tua murid. Namun Pak Dahlan tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Dia
meyakini bahwa rezekinya bisa datang dari mana saja.
***
Bel tanda masuk telah berlalu seperempat jam. Kelas tanpa guru. Anak-anak senang dan berharap Pak Dahlan
tidak hadir. Pak Dirman masuk kelas. Dia
mengabarkan bahwa Pak Dahlan tidak dapat masuk kelas bahkan untuk waktu yang
agak lama, sebulan lebih. Katanya, Pak Dahlan akan berangkat ke tanah suci untuk
menunaikan ibadah haji.
“Hore tidak belajar!” cetus beberapa
anak dengan wajah gembira.
“Sebagai gantinya kalian akan diajar
oleh guru agama yang bernama Pak Soleh. Beliau lusa baru bisa datang. Untuk
hari ini Pak Dahlan menitipkan tugas. Tolong kalian kerjakan dengan baik.” Pak
Dirman meninggalkan kelas.
Untuk mengantisipasi kelas berisik
Sarmin mengikuti Pak Dirman, selanjutnya meminta izin meminjam kopiah Pak
Dahlan yang kemungkinan tersimpan di laci mejanya. Benar dugaan Sarmin, kopiah
hitam itu pun kemudian dibawanya ke kelas dan diletakkan di meja guru. “Ssst
jangan berisik, ada kopiah Pak Guru!”
Keberangkatan Pak Dahlan ke tanah
suci yang terkesan mendadak pun menjadi buah bibir di kalangan rekan-rekannya
sesama guru. Rasa ingin tahu mereka begitu kuat sehingga terungkaplah bahwa
keberangkatan Pak Dahlan ada yang mendanai. “Subhanallah!Itulah rezekinya Pak Dahlan!” cetus seorang rekannya.
Ternyata Pak Dahlan diajak menunaikan ibadah haji oleh mantan muridnya yang
punya show room mobil. Pak Dahlan
diminta menggantikan istrinya yang urung berangkat karena kondisi kesehatannya
yang tidak memungkinkan. Demi menghargai ajakannya Pak Dahlan pun menuruti. Pak
Dahlan tidak meninggalkan kopiahnya di sekolah melainkan dibawanya pulang.
Selama menunaikan ibadah haji, lebih
dari sebulan Pak Dahlan tidak hadir di sekolah. Begitu Pak Dahlan masuk untuk
kembali mengajar ternyata masih mengenakan kopiah kesayangannya itu. Belum
terungkap alasan dia tidak mengenakan kopiah putih yang lazim dikenakan orang
yang telah menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Ketika seorang temannya
menanyakan hal itu, Pak Dahlan cuma tersenyum, tak jelas maksudnya.■
Komentar
Posting Komentar