[CERPEN] Kopiah Pak Guru

 


Dimuat di Mastra Kandaga Kantor Bahasa Banten, Edisi XI-Agustus 2019


 
                                                                Usman Hermawan

“Hore, Pak Guru tidak masuk!” teriak seorang murid begitu mengetahui bahwa Pak Dahlan menitipkan tugas pelajaran.Teman-temannya menyambut gembira. Kendati Pak Dahlan bukan termasuk guru yang tidak disenangi tapi murid-muridnya ingin juga merasakan keadaan kelas tanpa kehadirannya saat jam pelajaran yang diampunya.

“Sssst jangan berisik, ada kopiahPak Guru!” bisik Sarmin, ketua kelas lima, seraya menunjuk ke kopiah yang baru saja diletakkannya di atas meja guru.Sarmin menyuruh sekretaris kelas menuliskan tugas tersebut di papan tulis.Teman-temannya percaya dan langsung diam.

Tak seorang murid pun yang berani menyentuh kopiah hitam yang tampak kusam dan kecokelatan itu. Biasanya kopiah itu berada di kepala Pak Dahlan. Sekarang kopiah itu mewakili kehadirannya di kelas, di atas meja guru.

“Ssssst jangan berisik, ada kopiah Pak Guru!” cetus seorang murid mengingatkan begitu seorang temannya mulai gaduh dengan memukul-mukul meja sambil bernyanyi sekenanya.Murid yang hendak berisik pun kembali tertib.

Kalau kopiahnya berada di kelas seperti saat ini, berarti hari ini Pak Guru tidak mengenakan kopiah. Kemungkinan besok Pak Gurutiba di sekolah tidak mengenakan kopiah. Begitu yang terpikir oleh murid-muridnya,sebab itu adalah kopiah satu-satunya yang selalu dikenakan Pak Dahlan setiap kali mengajar di kelas mereka. 

Saat pembagian rapor akhir semester lalu tiga murid memberi kado kopiah hitam mirip yang dikenakannya selama ini. Mereka berharap Pak Dahlan berganti kopiah, sebab kopiah hitamnya sudah tampak kecokelatan. Namun pada hari-hari berikutnya Pak Dahlan masih mengenakan kopiahlamanya itu. Kopiahnya itu-itu saja, setahu mereka tak pernah berganti.

“Kopiahnya ndak ganti-ganti Pak?” cetus seorang murid yang mengetahui bahwa tiga temannya telah memberinya kado berisikopiah.

“Ini kopiah pusaka.” Pak Dahlan mencopot kopiahnya seraya mengumbar senyum. “Masih layak pakai, kok.” Rambut di bagian atas kepala Pak Dahlan tampak jarang, mungkin tidak lama lagi akan botak.

Murid-murid bergantian bicara.

“Kalau ada yang mau membeli, dijual Pak?”

“Ah, kamu iseng saja. Memangnya kamu mau membeli kopiah ini?”

Ndak sih, lagi pula saya kan perempuan. Ya ndak pantas perempuan pakai kopiah seperti itu, Pak.”

“Apa istimewanya kopiah itu Pak?”

Pak Dahlan berpikir sesaat. “Yang berharga dari kopiah ini adalah sejarahnya.”

“Sejarahnya bagaimana, Pak?”

“Ah, kamu mau tahu saja. Rahasia dong!”

“Apa ndak sebaiknya sejarahnya dimasukkan ke dalam pelajaran IPS, Pak, judulnya Sejarah KopiahPak Dahlan?”

Beberapa murid tertawa.

“Betul Pak, bukankah kita harus menghargai sejarah?”

“Betul, tapi untuk yang ini tidak perlu, cukup untuk cerita selingan saja saatkalian belajar SejarahMasuknya Islam di Nusantara.”

“Boleh dong Pak, ceritakan sedikit sejarah kopiahnya!”

“Sejarahnya ini tidak sedikit.”

“Maksud saya, karena waktunya sedikit maka ceritanya sedikit saja.”

“Kalau banyak bagaimana?”

“Jangan Pak, nanti Si Dudung mengantuk. Hahahaha.”

“Si Dudung tukang mengantuk memang bawaan sejak orok!”

Si Dudung sering jadi objek candaan karena hampir setiap hari mengantuk di kelas akibat sering bangun malam membantu ibunya menyiapkan dagangan nasi uduk. Baginya hal itu sudah biasa. Dia tak pernah marah.

Tak seorang murid pun berani mengusik keberadaankopiah Pak Dahlan setelah Sarmin meletakkannya. Mereka percaya pada ucapan Sarmin bahwa kopiahPak Dahlan ada jimatnya. Pada kopiah itu ada karisma Pak Dahlan, guru yang disegani karena kedalaman ilmu dan hikmah yang diperolehnya, serta kemampuannya menyindir sambil melucu tanpa melukai perasaan murid-muridnya.

 “Sssst, jangan berisik. Ada kopiahPak Guru!” Seorang murid mengingatkan temannya dengan serius. Tak ada pula yang berani membicarakan keburukanPak Dahlan, semisal susahnya memberi nilai tinggi atau kebiasannya menaik-naikan celana. Mereka khawatir Pak Dahlanmendengarnya. Kopiah itu menjadi saksi bagaimana kegiatan di kelas berlangsung. Mereka seperti benar-benar diawasi sang empunya kopiah.  Sikap berbeda terjadi terhadap guru lain. Ketika mendengar guru lain berhalangan hadir bahkan dengan alasan sakit,  ada saja murid yang berucap syukur. Sedangkan terhadap Pak Dahlan tidak. Itu karena adanya kopiah Pak Dahlan.

 

Mengetahui di kelas tak ada guru tiga murid kelas enam tiba-tiba masuk dengan mengeluarkan terikan yang tak jelas. Mereka sengaja ingin membuat kegaduhan. Mereka baru kembali dari kamar kecil. Seisi kelas sontak terkejut.

“He, jangan berisik!” Sarmin segera menghalau. “Keluar kalian!”

Ketiga murid itu hendak menyerang Sarmin dengan tangan terkepal seperti menantang berpanco.

Sarmin tak gentar. “Eeee,  kalian tidak takut?  Itu ada kopiah Pak Guru!”

Seorang yang berbadan gemuk langsung ciut nyalinya, diikuti kedua temannya. Mereka segera meninggalkan kelas. Beberapa murid beranjak dari kursinya hendak mengusir mereka. Sarmin segera menenangkan. “Sssst, ada kopiah Pak Guru!”

Kelas kembali tenang. Tugas dari Pak Dahlan mereka kerjakan dengan baik. Selanjutnya mereka kumpulkan di samping kopiahitu tanpa ada yang berani menyentuhnya. Setelah semuanya terkumpul Sarmin membawa hasil pekerjaan mereka beserta kopiahPak Dahlan ke kantor dan meletakkannya di meja Pak Dahlan dengan hati-hati. Setelah itu Sarmin pun kembali ke kelas.

“He teman-teman, kita tebak-tebakan yuk! KopiahPak Guru masih di sekolah, besok dia ke sekolah mengenakan apa?”

“Mengenakan batik!”

“Mengenakan helm.”

“Helm yang mana ni? Tanpa memakai helm keningPak Dahlan sudah menyerupai helm!” Mereka tertawa lepas.

“Sssstt jangan berisik, ada Pak Dahlan!”

“Di mana?”

“Di mana-mana.”

Sebagian murid tak kuat menahan tawa.

Ada yang mencoba menyergah, “He jangan begitu dong, nanti kualat tahu rasa!”

 “Doakan saja semogaPak Guru lekas sehat, biar bisa mengajar kita lagi.”

Setelah di kelas tak ada lagi kopiahPak Dahlan, para murid jadi berani membicarakan Pak Dahlan.Pembicaraan mengenai Pak Dahlanpun terhenti begitu terdengar bel tanda istirahat.

***

Sesungguhnya Pak Dahlan tidak sakit. Kondisi ekonomi yang minim memaksanya untuk meninggalkan tugas di sekolah. Dia sedang mengantar penumpang. Pak Dahlan memang sering menyambi sebagai tukang ojek.Honor mengajarnya yang sering telat berdampak signifikan terhadap kesejahteraan keluarganya. Hal itu tidak menjadi keluhannya, tapi dia berupaya mendapatkan pemasukan dengan mengojek meskipun risikonya dia telat datang ke sekolah atau tidak mengajar samasekali.Pak Dirman, kepala sekolah, tidak bisa menindak tegas. Dia memaklumi hal itu. Hanya sekali-sekali dia mengingatkan agar guru jangan terlalu sering membolos, kasihan anak-anak yang ingin belajar serius.

Telah dua puluh tahun menjadi guru honor belum ada perubahan berarti bagi Pak Dahlan dalam hal pendapatan. Pekerjaannya sebagai guru ngaji di rumah nyaris tak mendapatkan penghargaan materi dari para orang tua murid. Namun Pak Dahlan tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Dia meyakini bahwa rezekinya bisa datang dari mana saja.

***

Bel tanda masuk telah berlalu seperempat jam. Kelas tanpa guru. Anak-anak senang dan berharap Pak Dahlan tidak hadir.  Pak Dirman masuk kelas. Dia mengabarkan bahwa Pak Dahlan tidak dapat masuk kelas bahkan untuk waktu yang agak lama, sebulan lebih. Katanya, Pak Dahlan akan berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji.

“Hore tidak belajar!” cetus beberapa anak dengan wajah gembira.

“Sebagai gantinya kalian akan diajar oleh guru agama yang bernama Pak Soleh. Beliau lusa baru bisa datang. Untuk hari ini Pak Dahlan menitipkan tugas. Tolong kalian kerjakan dengan baik.” Pak Dirman meninggalkan kelas.

Untuk mengantisipasi kelas berisik Sarmin mengikuti Pak Dirman, selanjutnya meminta izin meminjam kopiah Pak Dahlan yang kemungkinan tersimpan di laci mejanya. Benar dugaan Sarmin, kopiah hitam itu pun kemudian dibawanya ke kelas dan diletakkan di meja guru. “Ssst jangan berisik, ada kopiah Pak Guru!”

Keberangkatan Pak Dahlan ke tanah suci yang terkesan mendadak pun menjadi buah bibir di kalangan rekan-rekannya sesama guru. Rasa ingin tahu mereka begitu kuat sehingga terungkaplah bahwa keberangkatan Pak Dahlan ada yang mendanai. “Subhanallah!Itulah rezekinya Pak Dahlan!” cetus seorang rekannya. Ternyata Pak Dahlan diajak menunaikan ibadah haji oleh mantan muridnya yang punya show room mobil. Pak Dahlan diminta menggantikan istrinya yang urung berangkat karena kondisi kesehatannya yang tidak memungkinkan. Demi menghargai ajakannya Pak Dahlan pun menuruti. Pak Dahlan tidak meninggalkan kopiahnya di sekolah melainkan dibawanya pulang.

Selama menunaikan ibadah haji, lebih dari sebulan Pak Dahlan tidak hadir di sekolah. Begitu Pak Dahlan masuk untuk kembali mengajar ternyata masih mengenakan kopiah kesayangannya itu. Belum terungkap alasan dia tidak mengenakan kopiah putih yang lazim dikenakan orang yang telah menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Ketika seorang temannya menanyakan hal itu, Pak Dahlan cuma tersenyum, tak jelas maksudnya.■

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesona Burayot, Sebuah Catatan Perjalanan ke Garut

HP Hilang, Susah pun Terbayang

[Catatan Perjalanan] Dari Pasar Lama ke Rumah Sakit