[CERPEN] BISNIS KEMATIAN
Usman Hermawan
Usianya hampir genap
lima puluh sembilan tahun. Akibat terjadi pengurangan karyawan Mustahal
diberhentikan dari pekerjaannya di pabrik garmen. Uang pesangon tujuh puluh
juta rupiah dibiarkannya tersimpan di bank. Sambil mencari-cari peluang usaha untuk
sementara dia secara sukarela bekerja di masjid kampung sebagai marbut, tidak
menerima upah. Bahkan dia bersedia merogoh kocek sendiri untuk sekadar membeli
bahan dan alat kebersihan. Intinya dia hanya ingin punya kesibukan. Dia tidak
hirau terhadap komentar orang yang bernada merendahkan.
Setelah
berkali-kali melaksanakan salat istikharah barulah dia mendapatkan kemantapan
hati untuk kemudian membuka usaha yang berhubungan dengan kematian. Selanjutnya
mulailah dia menyiapkan kios di sayap kiri rumahnya dan berbelanja beragam barang
yang biasa digunakan untuk kematian di
kampungnya, seperti kain kafan, tikar
pandan, kapur barus, setanggi, payung hitam, minyak wangi, dan lain-lain. Persediaan
tersebut diperkirakan cukup untuk dua puluh paket kematian. Seperti biasa, dari
tahun ke tahun, orang yang meninggal dunia
berkisar antara dua puluh sampai dua puluh lima orang.
“Banyak amat, Pak?”
tegur istrinya.
“Siapa tahu, besok
atau lusa ada yang membutuhkan barang-barang ini. Yah, siapa tahu ...”
“Pak!”
“Maksudku, aku
ingin usaha kita maju. Siapa tahu, bisa.”
“Mudah-mudahan, Pak.
Eh, berarti kita berharap ada orang yang meningal?”
“Janganlah
sekali-sekali berharap dan berpikirbegitu, Bu.Semoga Allah memberikan
rezeki melalui usaha ini.”
Istrinya
mengangguk, paham.
Mustahal sangat
serius dengan usahanya itu.Dia pergi untuk menemui seorang kenalannya, pedagang
bunga di Rawabelong. Bila suatu saat ada yang memesan bunga dia tinggal telepon
dan minta diantar. Namun diatidak bisa janji akan sering belanja bunga karena
warga di kampungnya tidak begitu biasa menabur bunga di atas makam.
Waktu senggang banyak
dimanfaatkannya menghafal doa-doa untuk berjaga-jaga kalau-kalau suatu saat
diperlukan. Pengetahuannya tentang tatacara pengurusan jenazah pun di-up grade dengan cara belajar kembali
kepada kiyai As’ad, guru ngajinya.
***
Sebuah taksi
berhenti di depan rumahnya. Siapa gerangan yang datang? Seketika Mustahal
senang begitu melihat putri sulungnya beserta dua anak dan suaminya. Mereka hendak
berlibur. Hampir tiga tahun Marni tidak pulang. Mustahal segera meraih sang cucu
dari gendongan ibunya. Istri Mustahal menyusul menyambut mereka dengan hangat.
Marni mulai menunjukkan muka masam begitu tahu sang ayah berjualan
barang-barang terkait kematian. Dia enggan bicara.
Setelah
menahan-nahan akhirnya Mustahal bicara juga, “Apa yang membuatmu tak nyaman,
Marni?”
“Bapak ini
bagaimana sih, enggak banget gitu loh! Pokoknya besok kami pulang, tidak mau
berlama-lama di sini. Malas!”
“Jangan buru-burulah.
Di sinilah dulu barang seminggu. Kami masih kangen.”
“Tidak. Kami sudah
memesan tiket pesawat, mau pulang.”
“Marni, bapak sudah
pertimbangkan masak-masak. Inilah usaha yang terbaik untuk bapak laksanakan. Insya Allah ini bisa menjadi ladang amal.”Bicara
Mustahal tenang dan merendah.
“Tidak mesti dengan
cara itu, Pak. Kalau Bapak mau bersedekah berikan saja uangnya kepada yang
berhak. Beres.”
Hening sesaat.
“Lantas, supaya
dagangan Bapak laku, apa doa Bapak? Bapak berdoa supaya ada orang yang mati bukan?”
“Meninggal dunia,
Marni.”
“Sama saja!”
“Tidak begitu juga
Marni. Soal orang meninggal dunia itu urusan Tuhan. Perkara keluarganya mau
membeli kain kafan kepada siapa, terserah saja. Itu hak mereka.”
“Tapi Bapak juga
berharap mereka membeli kepada Bapak, bukan?”
“Itu urusan mereka,
lagi pula bapak bukan satu-satunya yang berjualan perlengkapan kematian seperti
ini. Di pasar juga ada.”
“Ah, susah bicara
dengan Bapak! Sekarang rumah ini auranya jadi seram, Pak, seram, angker, hih!”
“Itu hanya
perasaanmu saja. Mungkin kamu keseringan nonton tayangan tentang makhluk halus.
Bapak merasa biasa saja.”
“Cobalah ganti
usahanya dengan jualan gas, air galon, atau warung sembako. Ini malah berjualan
perlengkapan kematian! Selain pembelinya sepi karena tidak setiap hari ada yang
mati di sekitar sini, juga suasana rumah ini jadi seperti kuburan.”
“Kamu kan lama gak
pulang ke sini, mungkin perlu adaptasi dalam beberapa hari.”
“Tidak. Aku mau
pulang.”
“Kalau itu maumu
bapak tidak bisa menghalang-halangi, tapi apa tidak sebaiknya kamu
pertimbangkan. Anak-anakmu masih ingin berada disini barangkali.”
“Tak ada yang perlu
dipertimbangkan. Aku akan kembali setelah bapak tidak berjualan barang-barang
horor seperti itu lagi.”
“Masa iya segitu saja
horor.”
“Sudahlah Pak.”
Sang menantu
memilih diam,tidak mau ikut campur urusan ayah dan anak itu. Diatak mau ambil
risiko disemprot istrinya jika berpihak kepada bapak mertua.
Setelah semalam
menginap, pagi-pagi benar mereka sudah berkemas, tak peduli kedua anaknya masih
ingin tidur.
“Kamu tersingung
karena sikap bapakmu?”
“Aku mimpi buruk Bu,
dikejar-kejar setan kuburan. Ini pasti ada hubungannya dengan dagangan bapak.”
“Pikiranmu terbawa
mimpi, Marni.”
“Mungkin hantunya
yang masuk ke mimpiku Bu.”
“Kamu itu Marni,
keras kepala.”
“Sudahlah Bu, aku
pamit.”
Sebuah Avanza yang
telah dipesan secara online tiba
menjemput keluarga Marni. Dalam waktu singkat mereka hilang dari pandangan,
***
Sepeninggalan
putrinya, istri Mustahal merasa kehilangan. Demikian pula istrinya.“Pak, apa
tidak sebaiknya kita ganti usaha, berjualan sembako mungkin, agar tak sepi
pembeli dan Marni bisa lebih sering datang.”
“Kapan-kapan juga
Marni datang Bu. Dia pasti akan kangen dengan kita. Jangan dimasukkan ke hati
sikap kekanak-kanakannya.”
“Bapak kesal juga
bukan?”
Mustahal menghela
napas dalam-dalam dan melepasnya. “Andai saja semasa dia remaja kita yang
mengasuhnya, mungkin tidak seperti itu sikapnya. Semoga suaminya diberikan
kekuatan dan kesabaran dalam menghadapinya.”
“Iya Pak. Mungkin
itu akibat salah asuhan dari neneknya. Sudahlah, jangan disesali.”
***
Lambat laun usaha
Mustahal diketahui banyak orang, tapi tetap saja sepi pembeli. Orang yang
meninggal dunia di kampungnya tak bisa diprediksi. Tiap bulannya kadang ada
kadang tidak, kadang pula ada tiga orang dalam sepekan. Namun itu pun shahibul musibah tidak selalu membeli peralatan kematian ke kiosnya.
Karena sangat jarang pembeli, Mustahal sering meninggalkan kiosnya. Waktu
luangnya lebih banyak digunakan untuk melaksanakan tugas marbut masjid. Ketika
muazin utama berhalangan dialah yang menggantikannya, meskipun kualitas
vokalnya mulai gemetar.
Kabar bahwa lahan di
ujung kampung, di bawah sutet, akan
digunakan untuk pemakaman telah sampai ke telinganya sejak beberapa bulan lalu.
Dia tidak menaruh harapan karena tidak akan berimbas kepada usahanya. Kabarnya
pula orang yang akan dimakamkan di situ berasal dari sejumlah kompleks
perumahan, bahkan dengan jarak yang lumayan jauh.
Suatu malam,
Mustahal dikejutkan oleh kedatangan kepala kampung dengan membawa surat berkop
Dinas Pertamanan dan Pemakaman kabupeten yang ditujukan kepadanya. Isinya
meminta kesediaanya untuk menjadi petugas lapangan yang tugasnya menjaga dan
melayani orang-orang yang hendak menguburkan jenazah.
“Wah, salah orang
barangkali, Pak Okib.”
“Ini atas usulan
saya Pak Mus. Tak ada yang lebih pantas selain Pak Mus yang mengemban tugas ini,
karena yang saya tahu, Pak Mus bisa baca doa panjang-panjang, he-he-he. Untuk
Pak Mus, semoga nanti ada gajinya. Barangkali saja saya kecipratan rezekinya,
he-he-he... ”
“Masih ada yang lebih
berilmu daripada saya Pak Okib, Kiyai As’ad misalnya, atau siapalah. .”
“Oh tidak bisa.
Beliau sibuk dengan urusan pesantrennya. Mohon terimakan Pak Mus.”
“Wah, bagaimana
yah!”
“Ayolah Pak Mus.
Insya Allah ini pekerjaan mulia dan halal.”
“Saya kira warga
lain masih ada yang bersedia, Pak Okib.”
“Ini akan menjadi
lahan basah, Pak Mus. Banyak pemasukannya.”
“Ah, jangan begitu
Pak Okib.”
“Maksud saya, insya
Allah ada rezekinya dan membawa kabaikan bagi siapa saja kalau Pak Mus yang
menangani. Karena Allah, mohon terima Pak Mus. Katanya akan segera di-SK-kan.
Saya siap membantu kapan saja jika diperlukan.”
“Baiklah kalau
begitu. Saya terima.”
“Lebih bagus
begitu, Pak Mus.Besok sudah bisa mulai
bekerja.”
***
Jumlah makam makin
banyak. Sekali waktu ada pihak keluarga yang meminta Mustahal memesankan nisan.
Mustahal pun menyanggupi. Mulailah dia berhubungan dengan pembuat nisan.
Selanjutnya ada pula warga kampung yang datang ke rumahnya meminta dipesankan
nisan. Ini menjadi sumber penghasilan tambahan baginya.
Suatu sore, musim
hujan, kabar duka melanda warga kampung tetangga. Musibah longsor menelan
korban jiwa. Bakda isya, seseorang mendatangi rumah Mustahal untuk membeli kain
kafan. Maklum, jam segitu kios yang menjual kain kafan di pasar dipastikan
tutup.
“Untuk tujuh orang
Pak Mus. Lima dewasa, dua anak-anak.”
Ketika pembelinya
hendak membayar untuk harga tujuh paket, Mustahal menggratiskan satu paket.
“Saya bawa uang
cukup kok, Pak Mus.”
“Pak Amil izinkan
saya bersedekah, mohon terimakan.”
“Baiklah, terima
kasih kalau begitu. Semoga Allah memberi pahala kebaikan bagi Bapak.”
“Amin.”
***
Sebuah mobil AVP warna silver tiba dan
terparkir di depan rumah Mustahal. Dengan sopirnya Mustahal tidak kenal, tapi
begitu penumpangnya turun Mustahal langsung mengenali. Lelaki berkumis tebal
dengan parawakan tinggi tegap dengan kulit bersih bernama Haji Mubarak.
Mustahal mengenalnya sebagai keluarga almarhum Haji Rasudin yang makamnya
diurusinya. Karena seringnya laki-laki itu berziarah ke makam ayahnya, Mustahal
menjadi kenal baik. Maksud kedatangannya kali ini untuk menanyakan kesediaan
Mustahal menerima hibah mobil yang masih tampak bagus itu. Jika Mustahal
bersedia mobil itu akan dimodifiksi menjadi ambulans.
“Saya hanya
melaksanakan wasiat almarhum, Pak Mus.”
“Selama ini, warga
kampung sini mengangkut jenazah ke pemakaman menggunakan kendaraan bak terbuka.
Dulu digotong. Orang sudah enggan melakukannya. Saya sempat mengusulkan kepada
pengurus masjid, tapi tidak direspons.”
“Pak Mus saja yang
mengelola ambulans ini nantinya. Tapi mohon maaf bukan mobil baru.”
“Oh, tidak apa-apa.
Saya pernah berangan-angan, akan lebih baik jika ada ambulans serba guna di
kampung ini guna membantu kesulitan warga akan angkutan. Tidak saja untuk
mengangkut jenazah, melainkan mengantar warga ke rumah sakit, bahkan bisa untuk
ngebesan.”
“Nah, berarti saya
tidak salah mempercayakan mobil ini kepada Pak Mus.”
“Insya Allah akan
saya jalankan amanah ini.”
“Saya minta waktu
sekitar sepekan untuk menata bagian dalamnya agar bisa digunakan untuk
mengangkut keranda seperti mobil ambulans pada umumnya.”
“Terima kasih atas
pekercayaan yang Bapak berikan. Insya Allah akan saya laksanakan amanah ini
dengan semestinya.”
Berkat pengalaman
mengemudikan mobil ketika bekerja di pabrik garmen, Mustahal tidak mengalami
kesulitan dalam mengemudikan mobil ambulans yang dikuasakan kepadanya. Keberadaan
mobil ambulans itu dikabarkan Mustahal kepada jamaah Jumat. Bagi warga yang
memerlukan mobil ambulans tersebut dipersilakan menggunakannya. Untuk membantu
dana operasional dipasangnya kotak amal di dalamnya. Orang boleh memberi uang seikhlasnya.
Bagi warga yang tidak mampu Mustahal menggratiskannya. Terlebih jika dia yang
mengemudikannya. Ambulans itu terparkir di samping masjid. Kuncinya dia yang
pegang. Mustahal pernah menyerahkannya kepada ketua DKM, tapi ditolak dengan
alasan tak mampu mengoperasikannya.
***
Tiga setengah tahun
telah berlalu. Bakda isya. Sebuah taksi biru berlogo burung elang berhenti di
depan rumah Mustahal. Seorang perempuan, yang tak lain adalah Marni, turun
disertai dua anak. Sejumlah barang bawaan pun diturunkan.
Mendengar suara
mobil Mustahal keluar rumah. “Marni!” Seketika Mustahal kaget.
“Bapak.” Marni
segera menghampiri dan mencium tangan bapaknya, diikuti kedua anaknya.
“Ayo.” Mustahal
segera mengangkat barang bawaan Marni.
Taksi pun pergi.
Marni bergegas masuk menemui ibunya. Tangis Marni pecah. Dalam hati Mustahal
bertanya-tanya, khawatir ada sesuatu yang tak beres dengan putrinya. Mustahal
menahan diri seraya menantikan kejelasannya.Sampai dua hari berikutnya barulah
istrinya menjelaskan bahwa kedatangan Marni adalah kedatangan untuk menetap
sementara. Pasalnya, Marni berkonfik dengan suaminya, tapi Marni tak
menjelaskan musababnya.
Sepulangnya
Mustahal dari masjid usai menunaikan salat subuh, Marni mendekat.
“Pak, aku mohon
izin untuk menetap di rumah ini.”
“Rumah ini seram
Marni.” Mustahal menyindir.
“Sekarang tidak
kok, Pak, bahkan adem.”
“Mudah-mudahan kamu
bisa berlama-lama di sini.”
“Insya Allah, Pak.”
Hal yang sebenarnya
telah diceritakan Marni kepada ibunya bahwa kenyataan pahit harus dihadapinya.
Marni memilih berpisah dengan suaminya karena tidak siap dimadu. Suaminya telah
menikah lagi dan dikaruniai satu anak. Mustahal belum mengetahui hal itu. Pikirannya
sedang terpusat kepada urusan pemakaman korban jatuhnya pesawat Emprit Air siang nanti. Dia telah menugasi
Oman dan Acim selaku bawahannya untuk menggali tiga lubang kuburan.[]
Komentar
Posting Komentar