TIPS MENULIS CERPEN MUDAH, TAPI SULIT yah

 


Usman Hermawan

 

Sejatinya bagi kebanyakan orang menulis cerita pendek (cerpen) bukan perkara mudah, tak semudah membalikkan sebuah buldozer. Jika mudah, tentu saja setiap orang punya karya cerpen. Sebagai bidang keterampilan cara utama yang harus dilakukan adalah dengan sering-sering menulis. Tidak singkronnya antara teori/konsep dengan praktek yang berakibat gagalnya seseorang menyelesaikan sebuah cerita pendek setelah mendapatkan ide cerita, salah satunya karena penulis tidak ngotot dan mudah bosan dan putus asa. Keterampilan dapat dikuasai hanya dengan menulis, menulis dan menulis. Diperlukan suatu “kegilaan” untuk dapat menuntaskan sebuah karya cerpen.

Di leptop saya ada banyak sekali file bahan cerpen yang tidak bisa dilanjutkan penulisannya. Gagal berkali-kali cukup melelahkan dan bikin malas. Ternyata penyebabnya adalah saya tidak punya bahan cerita yang utuh.

Dari lebih dari seratus cerpen yang saya selesaikan dan menjadi layak publikasi, dengan proses penyelesaian yang “berdarah-darah”, bahkan salah satunya ada yang terpublikasi di Majalah Horison, karena saya telah melakukan hal berikut ini:

1.     Bersedia menjadi pendengar ketika orang lain bercerita tentang suatu masalah dari a sampai z. Dengan begitu saya jadi punya bahan untuk dituliskan, pemolesan sana-sini untuk menyempurnakan cerita dilakukan pada saat menulis. Gosip, isu, kabar burung, bahkan fitnah bukan mustahil bisa menjadi bahan cerita.

2.     Menulis dengan hati. Hati kecil, hati nurani yang kita miliki, pasti  berpihak kepada kebenaran. Ketika dua orangpemuda berkelahi memperebutkan seorang gadis, lalu  ada yang menang dan yang kalah, lalu hati nurani kita lebih condong melanjutkan cerita bahwa si gadis tidak memilih salah satunya, dan justru memilih pemuda lain yang sebelumnya tidak ditampilkan.

3.     Banyak membaca cerpen karya orang lain dapat membantu meningkatkan kemampuan menulis. Bahkan ada kalanya kita mendapat inspirasi setelah membaca. Misalnya setelah saya membaca cerpen yang tokohnya mengalami sakit dan diopname di rumah sakit. Kemudian timbul ide, bahwa saya pun pernah mengalami hal yang hamper sama, maka saya kemudian menulis tentang pengalaman saya. Mungkin itu bisa disebut sebagai metode kloning atau metode nyontek, tapi walaupun nyontek hasilnya pasti beda.

4.     Berani menuliskan pengalaman pribadi yang membentuk cerpen. Ini cara termudah yang pernah saya lakukan karena saya tahu persis seluk-beluk masalahnya. Mungkin itu sebabnya dalam pelajaran Bahasa Indonesia pada bab cerpen siswa diminta menuliskan cerpen berdasarkan pengalamannya, walaupun ada juga siswa yang gagal karena merasa tidak punya pengalaman. Selain saya juga pernah menuliskan pengalaman seseorang yang saya tahu tanpa harus meminta izin yang bersangkutan, karena biasanya pada cerita yang saya buat mengalami penambahan dan pengurangan.

5.     Memper-lebay konflik. Masalah yang sederhana bisa dibuat lebay. Semisal setetes darah yang sebenarnya biasa saja, tapi dengan pengembangan imajinasi darah tersebut menjadi hal yang amat menakutkan ketika sang tokoh teringat atau membayangkan peristiwa tertentu yang pernah dialaminya, misalnya peristiwa pembantaian ayahnya oleh perampok beberapa tahun lalu.

6.     Mencoba berani dikoreksi pembaca dan disalahkan. Orang yang mengoreksi dan menyalahkan belum tentu bisa mengerjakan yang kita telah kerjakan. Saya memang agak sensitif, ketika karya saya dibilang jelek merasa tidak nyaman. Pernah sebuah cerpen saya “Perempuan Pinangan” tanpa saya prediksi meraih juara pertama pada sayembara  menulis cerpen yang diadakan oleh Oase Pustaka. Karya-karya yang masuk nominasi kemudian dibukukan. Begitu mendapat bukunya, saya bangga dong, lalu saya berikan kepada seseorang untuk membacanya. Selesai membaca dengan serius dia mengatakan, “ Jelek!”  tanpa memberi penjelasan. Kesallah saya. Itulah risiko. Saya menduga sebabnya adalah cerpen tersebut sengaja endingnya menggantung, tidak saya selesaikan secara tuntas. Padahal dalam teori hal itu biasa saja. Saya piker, mungkin dia sebagai pembaca awam, maklumi saja.

7.     Beberapa teknik membuka sudah saya lakukan dari deskripsi sampai ucapan tokoh, termasuk yang disarankan oleh sang Guru, Gol A Gong, kstsnys mulsilsh dengan kata kerja, maksudnya kalimat aktif. Misal: Marto mengangkat kertas kresek yang dibawanya untuk ditunjukkan kepada ibunya.

8.     Menggali kearifan lokan. Dalam suatu workshop, saya pernah bertanya kepada nara sumber Made Aryantha, penulis buku Mandi Api yang fokus menulis tentang Bali. Saya katakan menulis kearifan lokal Bali itu enak karena Bali sudah punya banyak kearifan lokal yang bernilai. Lah saya yang di Tangerang bingung! Dalam hati saya, apa yang mau diangkat, kisah Cina Benteng, atau kisah poligami? Jawabannya tidak memuaskan, katanya itu bergantung pada bisa-bisanya kita menggalinya dan memanfaatkan yang ada.

9.     Menulis untuk dibaca. Saya baru bisa menulis cerpen saja. Menulis novel tak kunjung jadi.Energinya tak memadai. Saya sadari bahwa jam terbang saya dalam membaca novel sangat minim. Karena untuk dibaca orang lain dan belum tentu nanti saya bisa merevisi jika ada kekurangan, maka saya mengerjakan cerpen saya  dengan sangat serius. Pengeditan saya lakukan berulang-ulang sampai saya yakin mencapai nol kesalahan. Titik komanya tak ada yang salah. Terlebih sebagai guru bahasa Indonesia selayaknya bisa cermat dalam hal teknis berbahasa tulis.

10.  Saya punya mata air ide. Anggaplah begitu. Kalau saya tidak salah tangkap, pernah Ibu Wahyu mengatakan, agar saya tidak terus menulis khawatir idenya habis. Ternyata tidak begitu. Saya sering terganggu dengan ide yang muncul tapi materi ceritanya tidak utuh.  

11.  Pemaksaan. Mengapa guru-guru bahasa Indonesia diajak menulis cerpennya susah amat, sehingga agenda membuat buku antologi cerpen gagal? Guru mengerti banyak teori tentang cerpen yang bisa dijejalkan kepada siswa. Siswa disuruh  menulis cerpen berdasarkan pengalaman pribadinya diberi waktu dua pekan. Walhasil, ya tergantung gurunya.  Kalau sikap gurunya keras dan tegas sehingga siswa takut lalu terpaksa menulis. Jadilah cerpen, walaupun satu atau beberapa dari sekian siswa ada cerpen curian yang hanya diganti nama. Itu ketahuan setelah dicek di google. JIka taka da orang lain yang memaksa, maka diri sendirilah yang memaksa.

12.  Menulis cerpen bukan berkhayal, tetapi berpikir imajinatif. Mengandalkan kekuatan imajinasi saja tidak cukup. Penulis harus punya berbagai referensi faktual. Untuk mendapatkan informasi yang cukup ada kalanya penulis harus melakukan riset kecil-kecilan dengan datang ke tempat yang berkait dengan cerita yang akan digarap.

13.  Yang penting menulis. Saya menulis cerpen baru sebatas memenuhi kebutuhan diri sendiri, juga tidak begitu produktif. Durasi pengerjaan saya beragam, paling cepat sehari semalam. Paling lama tahunan. Sesungguhnya tidak ada orang membuat cerpen hanya lima menit, pasti sebelum berniat menulis materinya sudah diperoleh sejak lama. Kalau menulis masih kita anggap sulit, itu karena kegiatan sehari-hari guru tidak menulis seperti wartawan atau editor surat kabar. Guru dituntut banyak bicara karena kalau gurunya tidak bicara siswanya bingung. Walaupun ada kalanya siswa masih bingung walaupun gurunya sudah banyak berbicara. Wajar jika kemudian guru lebih terampil berbicara, daripada menulis cerita antara 1000 sampai 2000 kata.

Sudah dulu yah! Intinya kalau ingin cerpennya cepat jadi, sebelum menulis cerpen penulis harus sudah punya cerita lengkap yang akan dituliskan. Perkara menulisnya susah itu bisa diatasi dengan banyak melakukan menulis. Demikian, semoga bermanfaat.[]

Komentar

Postingan Populer