Pesona Profesi Guru

 


Usman Hermawan

 

“Amanat pembina upacara, pasukan diistirahatkan.”  Bapak Soedijono, kepala SMP Negeri Curug, sebagai pembina upacara tahun 1986 dalam amanatnya menyarankan, bagi siswa yang kondisi ekonomi keluarganya kurang memadai sebaiknya melanjutkan pendidikan ke sekolah kejuruan. Harapannya setelah lulus bisa mendapatkan pekerjaan. Bagiku hal itu menjadi penguat pilihanku untuk kelak menjadi guru, minimal guru SD.

Selanjutnya aku memutuskan untuk melanjutkan sekolah ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Pendaftaran kolektif ke SPGN Tangerang dilakukan oleh guru matematika, Bapak Unang Koswara. Walhasil, dengan nilai ebtanas murni tiga puluh tiga koma sekian aku lolos seleksi, diterima.

Alasan aku bercita-cita menjadi guru tidak terlepas dari keberadaan lingkunganku. Ketika usiaku sekira empat tahun, di dekat rumahku dibangun SD Inpres. Kemudian pada papan namanya tertulis SD INPRES GURUBUG. Walaupun belum sekolah, aku bersama anak-anak lainnya sering bermain di area sekolah tersebut. Demikian juga saat aku menjadi murid. Guru-gurunya berasal dari berbagai daerah, antara lain Bandung, Garut, Ciamis, Sumedang, Subang, bahkan Blitar, Yogyakarta dan Solo. Kabupaten Tangerang masih dalam wilayah Jawa Barat. Jadi guru-guru kami merupakan kiriman dari Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. Sebagian besar dari mereka kerap berinteraksi dengan orang tuaku. Di mataku, mereka guru-guru yang baik dan teladan, terlebih bahasa Sundanya yang halus dan amat santun. Mereka juga disegani warga.  Bagiku itu adalah pesona.

Aku merasa cocok dengan profesi Guru. Aku ingin menjadi seperti mereka. Keinginanku itu sebenarnya telah ada yang mendahului, yakni anak pedagang kantin. Namanya Nasan. Kukira dia pun mendapat pengaruh dari guru-guru yang tinggal di rumahnya. Dia kemudian menjadi pegawai negeri. Kesannya amat keren. Semasa aku SMP, aku tahu dia punya pacar cantik. iri aku melihatnya. Dalam hati aku berkata, aku ingin melebihi dia. Aku ingin jadi guru SMP.

Selepas SPG, gagal dalam seleksi masuk perguruan tinggi negeri, aku masuk kampus keguruan swasta jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, D3. Kupikir dengan ijazah D3 nanti cukuplah aku jadi guru SMP.  Alasan mendasar aku memilih jurusan itu karena aku menyukai sastra. Semasa kelas tiga SMP, sejumlah puisiku terpublikasi di Radio Sturada Tangerang dibacakan oleh penyiarnya, Nandang Sunandar. Ada tiga kali kesempatan aku mengayuh sepeda balap belian harga seratus ribu (saat harga perhiasan emas 24 karat per gram dua belas ribu tujuh ratus rupiah) ke studio radio di Cikokol. Kubacakan puisiku sendiri. Sensasinya luar biasa ketika itu.

Di masa awal aku jadi mahasiswa, ada kesempatan aku datang ke acara perkemahan di Bumi Perkemahan Kitri Bakti, sekita dua kilometer dari rumahku. Aku bertemu guru SMP-ku, Bapak Madsoleh. Dia menanyakan kuliahku. Kukatakan bahwa aku memilih D3. “Kok D3, tidak S1?” katanya. Aku katakan bahwa aku khawatir tidak cukup biaya. “Duit itu seperti bulu, dicukur tumbuh lagi.” Dia meyakinkan aku. Yang kubayangkan adalah bulu ketiak, bukan bulu yang lain. Seketika timbullah keberanianku untuk pindah ke program S1. Kuperhitungkan segala sesuatunya.

Aku mencari tahu cara pindah program. D3 kampusnya di Pasar Rebo. Saat itu aku masih pergi pulang dengan jarak yang cukup jauh. Kampus S1 di Kebayoran. Jaraknya dengan stasiun kereta Kebayoran agak dekat, masih bisa ditempuh dengan jalan kaki. Kebetulan aku pernah bermukim di pesantren milik Kiyai Saefudin dekat stasiun Parungpanjang. Dengan demikian, setelah pengajuan pindah program dikabulkan dan aku masuk di kampus Kebayoran pulangnya ke pesantren. Tinggal di pesantren dan pergi pulang kuliah naik kereta. Meskipun satu jam perjalanan cukup melelahkan tapi biayanya sangat murah. Ongkos kereta per bulan untuk mahasiswa dan pelajar dua ribu enam ratus rupiah, diberi  Kartu Langganan Sekolah (KLS). Kereta penuh, ketinggalan kereta, atau tak ada lagi kereta yang lewat karena sudah malam aku naik kereta barang atau kereta gerobak. Uang sepuluh ribu rupiah dari orang tua cukup untuk sepekan dan ongkos pulang ke rumah, tentunya dengan pola hidup hemat. Itu berlangsung dua tahun, 1989-1991. Selanjutnya aku kost di sekitar kampus sampai masa kuliah berakhir.  

Setelah lulus kuliah aku diterima mengajar di SMAN 5 Tangerang (yang kemudian berganti angka menjadi 6). Sekolah tersebut merupakan alih fungsi dari SPG tempatku bersekolah. Sebagai guru baru tentu aku sangat bersemangat. Aku kerap membawa pulang tugas siswa yang tidak selesai dikoreksi disekolah. Soal gaji guru honor, jangan ditanya. Mengajar 18 jam dapat gaji tujuh puluh dua ribu. Andai tinggal di kontrakan biasa, per bulan lima puluh ribu. Sisanya tentu tak memadai untuk memenuhi kebutuhan pokok.

Dalam tahun kedua menjadi guru aku menikah. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga banyak dibantu mertua. Meskipun begitu kami terlalu sering mengalami defisit keuangan. Karena tak ada uang untuk membeli susu, pernah anak pertamaku diberi air tajin, yakni air rebusan beras yang agak kental.

Menjadi PNS adalah impian semua guru honor. Aku gagal pada tes pertama CPNS. Tahun berikutnya menjelang dibukanya pendaftaran aku bertemu dengan seorang teman lama beda sekolah sebutlah namanya Sarkum. Dia menawari aku menggunakan jalan pintas, yakni dengan uang pelicin. Katanya, dia telah membantu beberapa orang hingga lulus jadi PNS. Aku tertarik hingga kemudian menyerahkan sejumlah yang. Walhasil, aku gagal lagi. Uang yang dijanjikan akan dikembalikan jika tidak lulus, tidak kembali dan hanya diberi janji. Saat kekurangan uang aku menagih bagai pengemis, dibayarlah dengan janji manis. Hal itu terjadi beberapa kali sampai aku menyerah dan berusaha melupakannya.

Dalam tahun ketiga, kepala sekolah memanggil aku ke ruang kerjanya. Dia menawarkan bantuan untuk mempertemukan dengan seseorang jika aku mau menemuh jalur sogok. Biayanya tujuh juta rupiah. Menurut kabar angin segitulah pasarannya. Aku katakan bahwa aku tidak sanggup. Sebenarnya aku tidak berminat. Dalam hati, jangankan tujuh juta, lima ratus ribu pun jika itu sogok aku tak sudi. Aku jadi seidealis itu. Seorang ustaz setengah dukun pun menawari cara halus agar lulus tes CPNS, aku tidak percaya. Aku lebih banyak berdoa semoga lulus walau kemudian yang terjadi kegagalan.

Dalam tahun keempat jam mengajarku banyak, tersebar di empat lembaga, selain SMAN 6 Tangerang, aku mengajar juga di SMEA Perti Jakarta Barat, SPK Sintanala, dan kelas ekstensi UNTIRTA di Sepatan  untuk guru-guru SD tiap hari Minggu. Hasil seluruhnya, kurang dari lima ratus ribu per bulan, masih lebih banyak capeknya daripada uangnya.

Kesibukan itu berlangsung hanya setahun. Empat lembaga itu aku tinggalkan. Aku pindah ke SMA Islamic Centra di Perumnas Tangerang. Sekolah yang didirikan oleh walikota Jakaria Machmud itu memasuki tahun ketiga. Selain mengajar kesibukanku  menjalankan usaha fotokopi dan ATK. Setelah tiga tahun mengajar di Islamic Centre, karena merasa jenuh jadi guru aku berhenti, tidak lagi mengajar. Aku mencoba fokus mengurusi usaha. Saat itu dibuka pendaftaran untuk seleksi GBS (Guru Bantu Sekolah). Aku tak mendaftar, kebetulan perpanjangan KTP-ku belum selesai.

Tidak menjadi guru ternyata jenuh juga dan serasa ada yang hilang. Mengetahui bahwa guru penggantiku keluar, aku kembali ke SMA Islamic Centre.  Aku jadi guru lagi. Waktu lainnya aku manfaatkan untuk mengurusi usaha. Di tengah kesibukan mengajar dan berdagang, panggilan telepon masuk dari Yayasan Islamic Village. Aku mengajukan lamaran mengajar dua tahun lalu. Aku bimbang, antara menerima atau tidak. Datanglah aku ke sekretariatnya menemui Pak Imam. Dari hasil obrolan dengan Pak Imam, aku memutuskan menerima. Ku pikir sayang, susah untuk bisa diterima mengajar di sekolah itu. Jadilah aku guru SMA di Islamic Village. Jarak dari pintu rumahku ke gerbang sekolah tak sampai seratus meter, sangat dekat. Kepala sekolahnya, Edi Subarka, aku kenal baik. Harusnya aku dites, tapi itu tidak. Dia percaya terhadap kemampuanku, katanya. Setelah menerima honor pertama dan kedua, ternyata walau sekolahnya terkesan elite tapi honor gurunya kurang lebih sama dengan di SMP PGRI dekat balai desa. Kukira tidak sesuai dengan ketatnya aturan yang diterapkan kepada guru. Namun adanya jam yang bentrok dengan jam mengajarku di Islamic Centre membuat kinerjaku tidak maksimal sehingga memutuskan mengundurkan diri setelah catur wulan pertama selesai. 

Untuk persiapan mengikuti tes CPNS aku meminta bantuan Pak Toni, karyawan SMA Islamic Centre, membuatkan KTP kota. Tak berselang berapa lama aku mengikuti tes GBS tahap dua. Ketika hendak mengerjakan soal tes aku baru sadar ahwa aku salah mengisi data pada saat pengisian formulir pendaftaran. Hal itu aku sampaikan kepada pengawas ruangan. “Hmmm bapak mah! Nanti saja di tes CPNS.” Kira-kira begitu responnya spontan. Walhasil, tidak lulus. 

Berkat usaha fotokopi kecukupan keuangan aku manfaatkan untuk kuliah S2. Ketika kuliah belum selesai aku mengikuti tes CPNS 2004. Hasilnya, aku lulus tanpa keluar uang sogok sepeser pun. Setelah delapan tahun jadi guru honor dan berkali-kali gagal akhirnya berhasil juga. Itu pun pada tahap pasrah dan mengikuti tes lebih bersifat iseng dan tidak terlalu berharap karena nyaris mustahil bisa lulus, biasanya juga gagal. Pengumumannya Desember 2004, selanjutnya mendapat SK tahun 2005 dengan tempat tugas di SMPN 11 Larangan, masih dalam wilayah Kota Tangerang.  Mungkin hal itu disesuaikan dengan tanggal lahirku yakni 11. Jarak dari tempat tinggalku 20 km, ditempuh dengan sepeda motor, lumayan jauh.  Aku tak kuasa untuk menolak walau keinginanku mengajar di SMA.

Masa kuliah empat semester berakhir, tinggal masa pengerjaan tesis. Kelulusanku telat yakni pada semester ke tujuh akibat kesulitan dalam mengerjakan tesis. Namun ada untungnya. Aku segera mengurus izin belajar ke dinas sehingga ijazahnya dapat digunakan untuk angka kredit pada kenaikan pangkat. Dalam hal itu tak ada kendala berarti. Gelar berubah dengan sendirinya, tanpa pengujian, tidak seperti guru-guru lainnya yang dikumpulkan dan ditanya-tanya bergantian.

Dua tahun aku berdinas di SMPN 11 Larangan. Pada penghujung tahun kedua aku mengajukan mutasi. Ternyata, tanpa diduga sekitar dua belas guru lainnya dimutasi bukan karena permintaannya, mungkin karena kebanyakan guru. Untuk mengantisipasi terjadinya gelombang protes, dua kali kepala dinas  datang memberikan pengarahan. Ternyata  memang ada yang keberatan walaupun pada akhirnya mutasi juga.

Aku ingin mutasi ke SMA. Seorang teman guru mengenalkan aku dengan pegawai di dinas, Bapak Warintik (bukan nama sebenarnya). Dialah yang menangani urusan penempatan guru SMA. Namun urusan belum beres teman guru itu malah minta dikirim pulsa. Terpaksa aku kirim. Aku menghadap Bapak Warintik. Disuruhnya aku mencari lowongan. Tentu tak mudah. Lowongan ada di SMA 15 yang akan didirikan, belum jelas waktunya. Aku mencoba menghadap kepala SMAN 14 yang pernah mengajarku waktu sekolah SPG. Aku dipingpong. Kata orang dinas ke kepala sekolah, kata kepala sekolah tergantung dinas. Kalau dinas sudah memutuskan dia tidak bisa menolak. “Tunggu saja di pos.” Begitu yang kudengar. Tidak jelas pos mana, apakah infonya akan dikirim via pos atau atau aku diminta menunggu di pos satpam. Saat itu ada dua orang pelamar sedang diwawancarai oleh wakasek, sehingga kemudian aku berasumsi, mungkin yang dimaksudkannya via pos surat.

Daripada tidak mendapat kejelasan aku pun kembali ke dinas menghadap Bapak Warintik. Aku minta mutasi ke SMAN 15 saja walaupun sekolahnya belum ada. Selesai urusan itu, aku pun memberi uang tips sebelum diminta. Memberi uang tips seperti itu jamak terjadi, jika pun tidak memberi pastilah diminta. Ketika tiba saatnya, jadilah aku guru SMAN 15 Kota Tangerang, bertempat di SMAN 4. Itu tahun  2007. Karena masalah waktu yang bentrok, aku memilih mengundurkan diri dari SMA Islamic Centre. Tugas sebagai guru PNS dilaksanakan sebagaimana mestinya. Menyusul ada pendaftaran untuk mengikuti program sertifikasi guru. Beruntung aku bisa masuk dan mengikuti PPG dan akhirnya lulus, sehingga kemudian mendapatkan tunjangan sertifikasi. Itu satu keberkahan.   

Dua tahun kemudian SMAN 15 Kota Tangerang  ke gedung baru di Kecamatan Periuk. Jarak dari rumah ke sekolah tiga belas kilometer, dengan 18 belokan dan sekitar 67 gajlukan alias polisi tidur dan banyak bagian jalan berlubang yang memperlambat laju sepeda motorku sehingga waktu tempuh mencapai 45 menit. Jika tidak karena benar-benar berhalangan aku tetap datang ke sekolah.

Sampai tulisan ini disusun pangkatku mencapai IV b. Sesuai umur dan peraturan yang berlaku, insyaallah aku pensiun tahun 2030. Berprofesi sebagai guru PNS menjadi jalan hidupku sekaligus karunia yang besar yang patut disyukuri. Ibarat bercocok tanam, tinggallah merawat dan memetik buahnya. Namun, kukira, menjadi PNS atau pun tidak, bahkan pekerjaan halal apa pun sangat nilainya bergantung pada individu yang menjalaninya, dan setiap pencapaian tentu ada perjuangannya. Dan seperti kebanyakan guru, aku pun puas dan bangga jika anak didikku kemudian berhasil mencapai cita-citanya.[]


Komentar

Postingan Populer