[cerpen] Cinta Teman Sejawat

 


 Jam sibuk lalulintas telah berlalu. Area simpang empat yang biasanya dipadati kendaraan berubah lengang. Kemacetan yang biasa terjadi  di beberapa titik pun telah bubar, sehingga Mardalih dapat memacu sepeda motornya lebih cepat dan bisa datang di Rumah Makan Selera Sultan lebih awal dari perkiraan. Ketika Mardalih tiba beberapa temannya baru tiba beberapa menit yang lalu. Mereka duduk-duduk di tempat yang telah dipesan oleh koordinator yang ditunjuk oleh kepala sekolah. Seiring waktu para guru berdatangan. Sebagiaan besar dari mereka baru kali pertama datang di rumah makan yang  belakangan menjadi perbincangan itu. 

Ada tiga guru baru, satu perempuan  bernama Andira dan dua laki-laki yakni Riko dan Jatman. Kehadiran ketiganya disambut hangat guru-guru lama. Satu guru baru perempuan itulah yang menjadi pusat perhatian terutama dari bapak-bapak. Bukan karena cantik mencolok, tapi karena hanya dia perempuannya yang masih gadis, sedangkan guru lama yang masih lajang adalah Mardalih. Terkesan ada keinginan sebagian guru untuk menjodohkan kedua lajang itu. Namun Mardalih tampaknya tak hirau walau beberapa teman menggodanya lebih serius.

Setelah semua pejabat sekolah lengkap rapat awal tahun pelajaran dimulai. Pada saatnya ketiga guru baru tersebut diberi kesempatan untuk mengenalkan diri. Saat giliran Andira bicara beberapa guru menyebut-nyebut nama Mardalih seakan ingin menjodohkannya, terlebih saat Andira menyebutkan status gadisnya. Seketika suasana riuh. Menyadari dirinya dikaitkan dengan Mardalih, Andira tersipu. Kehadiran ketiga guru baru itu disambut hangat oleh semua guru lama.

Rapat berlangsung cepat. Tak ada diskusi atau tanya jawab yang membahas segala macam persoalan sekolah. Usai pembagian tugas-tugas sesi berikutnya adalah makan bersama. Meskipun guru-guru beserta stap tata usaha yang hadir mencapai enam puluhan orang tapi hidangan yang disediakan dipastikan bakal cukup. Semua yang hadir dijamin bisa kenyang. Soal biaya tanggung jawab kepala sekolah. Tak banyak yang tahu bahwa sebagian besar menggunakan dana pribadinya.

Kendati dibecandai dan dipasang-pasangkan dengan guru baru respon Mardalih datar saja. Yang paling menarik baginya justru hidangan yang menggugah selera makannya. Menunya beragam, ada gumare bakar, bawal bakar, ayam bakar, nasi liwet, capcay, sea food, karedok, otak-otak dan lain-lain. Minumnya jus jambu, jus alpukat, jus jeruk, jus buah naga, tinggal pilih. "Perbaikan gizi!" cetus salah seorang guru berkelakar.

Komando ada di kepala sekolah. Begitu kepala sekolah mulai makan, yang lainnya mengikuti. Dengan cara makan-makan begitu diharapkannya semua personal dapat bekerja sama bagi kemajuan sekolah yang dipimpinnya.

Sesungguhnya Mardalih tak bisa benar-benar tidak peduli terhadap kehadiran Andira, akibat dibecandai teman-temannya, timbullah sedikit rasa penasaran ingin memandang wajahnya. Sesekali dia mencuri pandang. Tak timbul getaran hati terhadapnya. Namun bagi Mardalih menjalin hubungan baik dengan siapa pun adalah keniscayaan, tanpa kecuali dengan Andira yang akan jadi teman sejawatnya, terlebih sama-sama guru honorer.

Sebenarnya, beberapa bulan sebelumnya Mardalih sempat pula membaca surat lamaran Andira ketika mendapatinya di meja kepala tata usaha. Dia meminta ijin membacanya, dibacalah seluruhnya. Dengan begitu dia tahu biodata Andira. Masuknya Mardalih ke ruang tata usaha sekadar untuk menjalin silatrahmi dengan semua stap tata usaha.

Pada hari ketiga masuk sekolah Mardalih masuk ke ruang tata usaha kebetulan ada Andira sedanng meminta buku absen. Terjadilah saling tegur sapa. Dua pasang mata beradu pandang. Seketika Mardalih menemukan pesona pada sepasang mata Andira. Ketertarikannya menguat tak terkira, juga keberaniannya untuk mendekati Andira. Di luar dugaannya bahwa ternyata Andira sangat ramah. Ada kemistri antara keduanya.

 "Boleh minta nomor HP?" pinta Mardalih.

Dengan cepat Andira memberikannya. Terjadilah saling tukar nomor HP. Jalan komunikasi mulai terbuka. Mardalih mulai mengirim pesan, menanyakan hal-hal kecil sebagai bentuk perhatian. Andira menanggapi positif. Selanjutnya, komunikasi melalui HP berlangsung tanpa kendala hingga sampailah pada niat Mardalih untuk datang ke rumah Andira. Penting bagi Maralih mengetahui rumah Andira. Agar jika suatu saat ada keperluan tak harus mencari-cari. Namun Andira mengajak bertemu di Modern Mall.

Mardalih membawa mobil pinjaman milik kakaknya. Bertemulah keduanya di mal tersebut. Setelah mendatangi satu toko untuk membeli sesuatu Andira minta diantar ke Pusat Servis Samsung di kawasan Jalan Candra untuk menyervis HP-nya yang bermasalah.  Dengan senang hati Mardalih menyanggupi. Tak sampai setengah jam masalahnya teratasi. Dalam perjalanan mengantar pulang Andira, setelah mencermati reaksi-reaksi positif Andira, Mardalih menyatakan cintanya dan berniat akan memperistrinya jika Andira bersedia. Walhasil, Andira menerima dengan senang hati. Sepasang lajang yang sudah cukup usia itu saling jatuh cinta. Bunga-bunga asmara menghiasi hati keduanya.

Andira turun dekat rumahnya. Mardalih tak diperkenankan mampir ke rumahnya. Kira Mardalih, mungkin Andira belum siap menerimanya di rumahnya. Mardalih berniat dalam waktu dekat akan berkunjung ke rumah Andira sekalian mengenalkan diri kepada orang tuanya.

Sepekan berlalu, Minggu siang, di tepi jalan dekat rumah Andira, Mardalih menelepon. Andira kaget, tidak mengira Mardalih akan datang. Mardalih sengaja ingin membuat kejutan sekaligus menguji apakah dirinya diperkenankan bertamu. Meskipun sepertinya agak terpaksa, Andira mempersilakan Mardalih datang.

"Maaf yah, begini keadaannya. Rumahnya jelek, berantakan pula." Andira grogi.

"Tidak apa-apa. Santai saja."

Ayah Andira sedang pergi, sedangkan ibunya ada. Mengetahui kedatangan Mardalih, ibunya muncul. Mardalih mengenalkan diri.

"Oh ini orangnya. Aku sudah tahu, kamu Mardalih bukan?"

"Betul Bu."

"Maaf yah, Andira, anak pertamaku, tidak akan dijodohkan dengan guru, apalagi guru honor. Aku bekerja di TU SMP.  Jadi aku tahu persis prosfek guru honor sekarang. Untuk jadi PNS selain lama juga tidak gampang. Paling tidak, Andira harus punya suami pengusaha atau pekerja kantor perusahaan yang gajinya pasti. Tapi kalau mau berteman kalian berteman saja sebagai sesama guru."

"Ibu. Kok ibu begitu!" Andira menyelak.

"Kamu diam."

Mardalih tertunduk. "Begitu Bu yah. Tadinya saya bermaksud ingin memperistri Andira. Kami bukan remaja lagi sehingga menurut hemat saya tidak perlu berlama-lama kami menjalin hubungan. Selain, saya diminta segera menikah agar tidak dilangkahi adik saya yang akan segera menikah."

"Itu urusan kamu. Andira sudah ada calonnya, tinggal menunggu waktu yang tepat untuk dipertemukan. Ayah calonnya masih di luar negeri. Mungkin dalam waktu dekat akan pulang."

Mardalih terdiam.

"Ibu, kok aku tidak tahu." Andira mencetus.

"Nanti juga tahu. Orang tua akan mencarikan jodoh terbaik bagai anak kesayangannya. Kamu tenang saja."

"Ada-ada saja ibu ini." Andira terbawa emosi.

"Aku tidak melarang kalian berteman, tapi cukup berteman, bukan pacar, apalagi calon suami."

"Baiklah Bu." Bicara Mardalih lirih.

Suasana tidak kondusif, Mardalih memilih pamit. Kesedihan menghiasi wajah Andira. Mardalih kemudian menyadari bahwa ibu Andira berteman dengan ibu Maemunah, stap tata usaha di sekolahnya. Apa-apa yang diketahui ibu Maemunah tentang dirinya tersampaikan kepada ibu Andira.

***

Kendati tak ada kata putus jalinan cinta tak sehangat ketika saat saling menerima. Mardalih ingin mundur teratur kendati Andira mengaku bahwa cintanya hanya untuk Mardalih. Bulan berganti kabar perjodohan Andira dengan seseorang pilihan orang tuanya belum juga terdengar. Melalui ibu Maemunah, ibu Andira berpesan agar Mardalih tidak mendekati anaknya.

Mardalih tidak merasa perlu berjuang keras untuk mendapatkan Andira yang dalam penilaiannya sederhana saja, berbeda jauh dari yang ibunya sanjungkan. Kehilangan Andira tidak akan membuatnya terluka dalam. Tanpa menyepelekan kebaikan Andira, ketertarikannya terhadap Andira menurun akibat kesombongan ibunya.

Tuntutan di keluarga kian menguat. Orang tuanya tak mau Mardalih dilangkahi adik laki-lakinya. Adik perempuannya telah lebih dulu menikah. Tuhan kemudian memudahkan jodoh Mardalih. Dalam libur semester Mardalih berjodoh dengan saudara saudara jauhya, Siti Sofiyah, lulusan pesantren tahfiz quran. Kendati diperantarai tapi keduanya saling mencintai.

Hanya kepala sekolah dan seorang wakilnya yang diundang untuk menyaksikan ijab kabulnyaa di kediaman mempelai wanita. Tak ada acara resepsi melain hanya pertemuan keluarga besar kedua belah pihak.

Saat sekolah kembali aktif ada suasana berbeda di ruang guru. Tangis Andira pecah. Guru-guru berbisik-bisik membicarakan kisah cinta yang kandas antara Mardalih dan Andira. Nasi telah menjadi bubur. Permintaan maaf Mardalih telah disampaikan kepada Andira, namun Andira tak dapat menyembunyikan kekecewaannya kendati dia menyadari bahwa kegagalan cintanya bukan kesalahan Mardalih.

Seiring waktu berjalan, ibarat sinetron seri, Andira kejar tayang. Melalui Susanty, siswa yang diajarnya, Andira dikenalkan dengan pamannya yang konon pekerjaannya sebagai pemilik perusahaan pengembang perumahan di Kota Hujan. Dua bulan berselang Andira dikabarkan menikah.

Mardalih menjaga jarak. Rasa cinta yang pernah ada ditepisnya jauh-jauh demi menjaga cintanya dengan sang istri. Hubungannya dengan Andira tak lebih sebagai teman sejawat, sama dengan teman-teman guru lainnya.  

Tanpa harus mencari tahu, kabar keberadaan rumah tangga Andira sampai juga ke telinga Mardalih, termasuk pekerjaan suami Andira sebagai mandor bangunan. Andira tinggal bersama suaminya mengontrak rumah di kawasan Cimone. Begitu punya anak satu kembali tinggal bersama orang tuanya di Kalideres karena suaminya pulang jarang pulang karena tempat kerjanya pindah lebih jauh. Kakak peremppuan ibunyalah yang membantu merawat anaknya.

Kendati hampir setiap hari bertemu, dalam satu ruangan pula, antara Mardalih dengan Andira nyaris tak saling bertegur sapa. Panggilan sayang yang dulu pernah ada telah lenyap. Jika pun terpaksa harus bertegur sapa, hanya sebatas sesama guru. Ketika kebetulan jadwal mengawas ujian seruang berdua, Mardalih meminta kepada panitia untuk pindah ke ruang lain.

Memasuki tahun keenam usia perkawinannya Andira menggugat cerai suaminya. Gugatannya dikabulkan hakim pengadilan agama tanpa dihadiri pihak tergugat. Mengetahui hal itu Mardalih biasa saja.

Bagai tanaman yang baru dipindahkan, daun-daunnya layu. Begitullah Andira. Namun seiring waktu Andira kian tampak segar, terlebih setelah gajian. Sejumlah teman kerap bercanda seolah ingin menjodohkan Mardalih dengan Andira. Seakan mereka lupa bahwa Mardalih telah beristri dan beranak dua.

Di mata Mardalih, Andira tampak kian menarik, makin cantik. Namun kabar bahwa Andira kerap berganti ganti pacar selalu sampai ke telinganya, bahkan sampai ditunjukkan kepadanya foto Andira dalam pelukan laki-laki. Ada rasa kasihan Mardalih terhadap mantan pacarnya itu. Mardalih memahami bahwa Andira ingin segera punya suami, namun kesannya Andira menjadi perempuan gampangan dan cenderung liar. Meskipun rasa cinta sebenarnya masih ada dan dia yakin Andira masih menyimpan rasa cinta, tapi tak mungkin dirinya memperistri Andira.   

"Lihat ni yang terbaru." Seorang teman memperlihatkan foto Andira dipeluk laki-laki di akun media sosialnya.

 "Apa urusannya," tampik Mardalih.

Dia enggan dilibatkan meskipun dalam hati ada rasa cemburu. Diredamnya perasaaan itu kuat-kuat. Ada keinginan di hati Mardalih untuk menasihati Andira agar menjaga perilaku tapi apalah daya karena Andira bukan lagi siapa-siapanya.[]

Komentar

Postingan Populer