[Cerpen Usman Hermawan] Musala Haji Bakir
Secara tak terduga Marjudi hadir pada
pengajian malam Jumat pekan keenam.
Sutarman, adik bungsunya senang pengajian rutin yang digagasnya mendapat
dukungan. Sutraman memaklumi jika kakaknya itu sedang berusaha mendapatkan ketenangan
diri. Yang diketahuinya Marjudi dalam keadaan ruwet karena usahanya berdagang
pakaian mengalami kebangkrutan dengan menyisakan sejumlah utang. Konon hal itu
imbas dari menjamurnya bisnis online. “Swalayan
yang segitu besarnya saja sampai bangkrut, apalagi ini cuma kios pasar,” kilah
Marjudi di depan Sutarman suatu ketika, seolah tidak mau disalahkan.
Sementara itu, pengeluaran keuangan
keluarganya cenderung naik. Dua anaknya yang masih kuliah membutuhkan biaya
tidak sedikit. Marjudi nyaris oleng, berbeda sekali ketika usahanya sedang
berjaya. Dia kerap berbolak-balik belanja dagangan ke Pasar Tanah Abang.
“Berjualan pakaian tidak ada ruginya.” Marjudi sangat percaya diri meskipun
usahanya dibesarkan dengan modal utang dari bank.
Marjudi duduk di samping pembawa acara. Para
jamaah dewasa dan remaja duduk di setiap sisi musala, membentuk segi empat.
Ustad Jamhari duduk dekat mihrab, tempat imam memimpin salat. Tiga puluhan
jamaah siap mengikuti pengajian.
Pada awal acara, sebagai penghargaan pembawa
acara berbasa-basi memberikan kesempatan kepada Marjudi untuk menyampaikan
sambutannya. Marjudi ragu, tapi para jamaah memberikan semangat. Mikrofon
diserahkan kepadanya. Marjudi menepis.
“Tidak usah pakai mik. Langsung saja.” Dia memang tidak terbiasa bicara dengan
mikrofon.
“Pakai mik dong Bos biar jelas!” pinta seseorang
disetujui jamaah lain serempak.
Marjudi mengalah. Dipegangnya mikrofon
dengan canggung. Dia meminta izin bicara lalu mengucapkan salam dan terima
kasih atas kesempatan yang diberikan. Suaranya kurang jelas. Jamaah meminta
Marjudi lebih mendekatkan mikrofon dengana mulutnya.
”Sebelum taklim dimulai, langsung saja
saya ingin menyampaikan maksud yang menurut saya penting untuk disampaikan
kepada semua yang hadir pada malam ini, bahwa saya mempunyai hajat. Hajat yang
mana bahwa saya sama seperti orang kebanyakan, yakni bukan orang mampu dalam
hal keuangan. Terutama akibat usaha saya mengalami dadar gulung alias gulung
tikar alias kebangkrutan dan menyisakan utang sebesar Gunung Santri. Untuk
diketahui hadirin bahwa lahan tempat musala ini berdiri adalah jatah saya
sebagai warisan dari orang tua kami. Karena saya dalam keadaan butuh maka saya
akan menjualnya. Bukan bangunan musala yang akan saya jual tapi cuma lahannya,
tanahnya, tempat musala ini berdiri. Bangunannya tentu diwakafkan atas nama
orang tua kami walaupun sejujurnya almarhum orang tua kami tidak mewasiatkan
apa-apa, yang saya tahu yah. Tidak ada sepatah kata pun wasiatnya, termasuk hal
yang terkait musala ini.”
Hadirin terdiam, tidak menyangka Marjudi
akan bicara seperti itu. Marjudi mengulangi ucapannya. “Saya akan menjual lahan
yang ditempati musala ini. Saya mohon
bantuan kepada bapak-bapak dan saudara-saudara agar bersedia berpartisipasi
dengan berinvestasi untuk bekal di akhirat nanti. Sudah saya ukur, luasnya tiga
puluh meter persegi. Harga per meter, sesuai harga pasaran yaitu tiga juta,
tapi saya ikut menyumbang per meter lima ratus ribu. Jadi cukup dibayar tujuh puluh
lima juta rupiah. Bagaimana saudara-saudara setuju?”
Beberapa orang menjawab setuju, yang
lainnya terdiam.
Marjudi tidak puas. “Bagaimana
saudara-saudara? Saya akan menjual hak saya berupa tanah tiga puluh meter.”
“Ah, yang benar Bos?” seseorang
mencetus.
“Benarlah. Nantinya musala ini beserta
lahannya jadi milik umum, bukan milik keluarga Haji Bakir karena telah
diwakafkan. Namanya juga akan diganti, bukan musala Haji Bakir, tapi masih
dalam proses pencarian. Mungkin cocoknya Al Ikhlas.”
Madrais yang menjabat sebagai bendahara
pengajian bertanya, “Maaf saudara
Marjudi, almarhum bapak Haji Bakir telah mewakafkan musala ini otomatis dengan
tanahnya, walaupun mungkin dia tidak mengatakannya? Mungkin yang benar seperti
itu. Ini baru mungkin yah. Entah sebenarnya bagaimana.”
“Betul begitu.” Hadirin menyatakan
setuju dengan pandangan Madrais.
“Oh tidak begitu saudara-saudara.
Tanahnya merupakan bagian saya, luas bagian saya seluruhnya hampir sama dengan
bagian kedua adik saya. Kalau tanah yang ditempati musala ini tidak termasuk ke
bagian saya, jadinya tidak adil dong bagi saya.
Masa iya saya sebagai kakak mendapat bagian lebih kecil dari adik saya.
Masuk akal bukan?” .
“Apakah hal itu telah saudara
musyawarahkan dengan adik-adik saudara?”
“Tentu. Mereka setuju. Boleh tanya adik
saya Sutarman dan Casmadi.”
Sutarman mengangguk. Jamaah pun tak ada
lagi yang mencoba mendebat meski dalam hati masih merasa kurang puas. Seorang
jamaah berbisik, “Sudahlah, kita setuju saja daripada ribut.”
“Baiklah kalau begitu. Saya akan bantu
menggalang dana sebisanya, yang kita mulai pada jamaah dulu. Jadi bapak-bapak
boleh menyumbang untuk satu meter, setengah meter, atau seperempat meter
persegi, atau berapa sajalah, semampunya. Semoga menjadi amal saleh yang akan
mendapat balasan di akhirat. Bukan begitu saudara-saudara?” Suara Madrais
meninggi.
“Betul.”
“Jangan seiklasnya, nanti bisa ada yang
menyumbang dua ribu, lima ribu, atau sepuluh ribu. Tidak bakal tercukupi.
Mungkin minimal lima ratus ribu boleh dicicil. Nanti akan saya bagikan amplop
untuk diisi. Setornya boleh ke langsung kepada saya atau saudara Madrais.”
“Baiklah.”
Marjudi menutup pembicaraannya. Mikrofon
dikembalikan kepada pembawa acara.
Sebagian jamaah menunjukkan wajah kurang
simpatik, tapi tak ada keberanian menentang kehendak Marjudi. Sebagian jamaan
berbisik-bisik mengungkapkan keberatannya.
Pengajian dimulai. Mikrofon diserahkan
kepada Ustaz Jamhari. Dia enggan menanggapi keinginan Marjudi. Dia hanya
memotivasi jamaah agar rajin bersedekah. “Semoga sedekah kita diterima Allah
Subhanahu wataala. Amin.”
Jamaah turut mengamini. Ustaz Jamhari
membuka kitab dan memulai pembahasan materi taklimnya seperti biasa. Jamaah
menyimak. Pada sesi tanya jawab Marjudi aktif bertanya. Bahkan ada
pertanyaannya yang di luar pokok bahasan. Jamaah lain pun terpancing untuk
bertanya dan menanggapi. Namun tak ada yang menyinggung soal penjualan tanah
musala.
***
Dalam
beberapa tahun terakhir semasa hidupnya
Haji Bakir lebih banyak salat sendiri di musala yang dibangunnya puluhan
tahun lalu. Mulai dari mengumandangkan azan, iqomah, dan jadi imam tanpa jamaah
dialah yang melakukannya. Orang-orang, bahkan anak-anaknya seakan tidak
tertarik untuk bermakmum kepadanya. Mereka lebih memilih salat di rumah atau berjamaah
di masjid jamik yang jaraknya lumayan jauh. Haji Bakir lebih sering salat
sendiri bukan karena enggan salat berjamaah di masjid jamik tetapi lebih karena
dia tidak ingin musalanya mati, tanpa adanya aktivitas salat. Hanya tiap jumat
dia ke masjid jamik. Dia pernah merasa kesal terhadap menantunya yang
mengusulkan agar musala itu dirobohkan dan dijadikan tempat usaha seperti
warung atau diubah jadi rumah kontrakan.
Musala Haji Bakir pernah berjaya ketika dia
masih muda serta aktif mengajar ngaji anak-anak tetangganya. Dampak dari
berbagai perubahan jaman musala Haji Bakir mengalami antiklimaks. Jika Haji
Bakir sakit dan tidak bisa menunaikan salat maka di musala itu tak ada yang
salat.
Karena nyaris tak ada jamaah Haji Bakir
cenderung mengabaikan tempat berwudu
hingga tak dapat digunakan. Jika hendak salat dia berwudu di keran depan rumahnya.
Demikian juga jika ada orang lain yang hendak berwudu.
Sepeninggalan Haji Bakir karena tutup
usia, disusul dengan kematian istrinya, musala itu sempat terlantar dalam
beberapa bulan. Atas inisiatif Sutarman, anak bungsunya, musala mulai dibenahi hingga
layak digunakan kembali. Jika sebelumnya dikenal dengan Musala Haji Bakir,
selanjutnya diberi nama menjadi Musala Al Mukminun. Nama itu diperolah dari
Ustaz Zamhari dan tertulis di papan nama. Pengajian dilaksanakan setiap malam
Senin.
***
Kehadiran Marjudi pada setiap pengajian
membuat suasana pengajian bertambah sedikit lebih hidup. Namun dia juga tidak
lupa mengingatkan jamaah untuk berpartisipasi menyumbang dana untuk berpartisipasi
membayari lahan musala yang dijualnya.
Sebagian orang bersikukuh dengan
pandangannya bahwa lahan musala itu tidak seharusnya dijual karena sudah
sepaket dengan musala yang diwariskan almarhum Haji Bakir. Hal itu mestinya
dipahami oleh anak-anaknya, terutama Marjudi. Dengan begitu, semoga Haji Bakir
akan dijemput oleh amal wakafnya di akhirat.
Marjudi seperti ketagihan memegang
mikrofon. Dia kerap menyampaikan pemberitahuan bahwa akan dilaksanakan
pengajian. Setiap kesempatan pengajian Marjudi meminta waktu untuk mengingatkan
jamaah agar bersedekah untuk lahan musala.
Hingga lima bulan berlalu, telah ada
tiga calon anggota legislatif (caleg) DPRD kabupaten yang hadir pada waktu yang
berbeda. Mereka berasal dari partai yang berbeda pula. Ketiganya menyumbang
dana sesuai yang diminta Marjudi. Di hadapan para jamaah mereka menyampaikan
janji manis dan meminta dipilih dalam pemilu nanti. Salah seorang di antara
mereka menjanjikan akan merenovasi musala menjadi lebih bagus dan akan memasang
paving blok pada jalan kecil dekat musala jika dirinya menang.
Berkat sumbangan dana dari mereka dan
sebagian kecil dari jamaah lunaslah pembayaran lahan musala. Marjudi meminta
jamaah partisipasi untuk mengajak keluarga masing-masing memilih salah satu
dari caleg tersebut pada saat pemilu.
Pekan-pekan berikutnya Marjudi tak lagi
muncul pada setiap acara pengajian dengan alasan sibuk. Bagi sebagian hadirin timbullah
kesan bahwa hadirnya Marjudi dalam acara pengajian hanya saat ada maunya.
Sampailah pada satu malam, kesehatan
Marjudi terganggu. Marjudi mengalami pusing yang berat, tensi darahnya tinggi,
dan badan panas sehingga tidurnya terganggu. Paginya ketika bangun tidur Marjudi
kaget mendapati dirinya dalam keadaan lemas, tak bisa berdiri. Dia lumpuh. Bicaranya mengalami kesulitan. Dia menangis. Hal
itu juga mengejutkan seluruh anggota keluarga besarnya. Pihak keluarga segera mencarikan
mobil sewaan dan membawanya ke rumah sakit. Untuk naik ke mobil pun Marjudi
dibopong. Dokter menyatakan bahwa Marjudi menderita stroke. Tiga hari dirawat
di rumah sakit tidak menjadikan kondisinya kembali sehat seperti sedia kala.
Kaki dan tangannya masih lemas.
Kabar bahwa Marjudi mengalami stroke
segera tersiar di lingkungan tempat tinggalnya. Ada yang berempati ada pula
yang justru nyinyir. “Kualat!” Mereka mengaitkannya dengan tindakan Marjudi
menjual lahan musala. Perdebatan kecil pun terjadi di banyak kesempatan ketika
orang berkumpul.
***
Menyadari dirinya dalam kesulitan
keuangan Marjudi enggan diajak berobat ke rumah sakit. Atas usulan dari
Casmadi, Marjudi dibawa ke tempat Kiyai Syukron di Pasir Babat untuk menjalani
pengobatan dan terapi. Ongkos sewa mobil dan isi amplop ditanggung Casmadi.
Esok harinya perubahan signifikan dialami
Marjudi. Dia mulai bisa berjalan meskipun sambil berpegangan dan tertatih.
Mulutnya masih sedikit miring dan bicaranya pelo. Di atas kursi bersandaran dia
merenungi nasib. Matanya meleleh. Tangis pun tak terbendung. Seperti biasa,
istrinya selalu berusaha menguatkan.
Ucapan Kiyai Syukron masih kepikiran
oleh Marjudi, bahwa setiap penyakit ada obatnya dan ada musababnya. Marjudi pun
mengaitkan penyakitnya itu dengan
tindakannya menjual tanah yang ditempati musala. Keyakinannya antara iya dan
tidak. “Jika penyakit hamba ini disebabkan
oleh kesalahan hamba menjual tanah itu, ampuni hamba ya Allah.” Bicara Marjudi
lirih.[]
Komentar
Posting Komentar