[Memoar] Ada Ular dalam Saku (bagian 1)

 


 Oleh: Usman Hermawan,

Mengajar bukan mencari uang, maksudnya tidak menomorsatukan pendapatan berupa uang. Kalau mau cari uang berdagang atau bekerja di perusahaan saja.  Itu yang pernah aku katakan dalam sebuah obrolan dengan seseorang guru senior saat melaksanakan pengawasan silang di suatu sekolah. Tak ada komentar, dia hanya senyum biasa saja dan cenderung menjadi pendengar yang baik. Itu terjadi pada tahun kedua aku menjadi guru dan tuntutan keuangan belum begitu menguat.

Biasanya guru muda masih idealis.  Bahkan ketika ada yang menjanjikan uang lima ratus ribu rupiah agar putrinya bisa masuk di sekolah negeri tempat aku mengajar aku tidak tertarik. Alasanku, itu menyalahi prosedur. Kukira itu tidak halal. Selagi bisa menolak, aku tolaklah.

Yang aku harapkan ketika itu adalah mendapatkan jam mengajar yang banyak di lebih dari satu sekolah. Kupikir, keren kali ya, kayak orang-orang. Kiranya hal itu jamak dialami oleh guru baru di masa-masa awal menjalani profesi guru guna mencari pengalaman.

Perolehan uang honor yang banyak tentu menjadi penyemangat yang penting. Namun jika berhitung pendapatan melulu lalu membandingkannaya dengan gaji lulusan SMA yang bekerja di pabrik dengan perolehan gaji UMR, seorang guru bisa kecewa. Gaji guru honor jauh di bawah UMR. Apa yang bisa dibanggakan dan diandalkan dari profesi guru? Tentu ada. Guru berinteraksi dengan anak-anak bangsa. Tugasnya bukan hanya mengajar, tetapi juga mendidik. Pasti terasalah kebanggan saat menjalaninya. Jika disyukuri pasti terasa nikmatnya. Ada kebanggaan juga ketika aku diamanahi menjadi wali kelas untuk pertama kalinya. Jadi aku merasa keberadaanku diakui. Kukira semua teman guru merasakan hal yang sama.

Dalam menjalani berbagai persoalan tugas guru banyak mengandalkan kesabaran. Pekerjaan dan profesi apa pun jika dikerjakan dengan baik dampaknya akan baik. Diyakini hal itu menjadi bagian dari ibadah yang akan diperhitungkan Tuhan sebagai amal baik. Yang cukup membanggakan pada profesi guru adalah jika guru bisa ikut berperan mengantarkan anak didik mencapai cita-citanya dan jasanya diakui oleh anak didiknya. Walaupun hal itu tidak perlu diharapkan  karena yang penting bekerjalah sebaik-baiknya dan carilah pengalaman sebanyak-banyaknya.

Pada saatnya, terkabullah doa dan harapanku. Tahun keempat (1999) menjadi guru honor merupakan masa puncak dalam mengemban tugas mengajar. Jam mengajarku lumayan banyak. Aku mengajar di SMAN 6 Tangerang. Tawaran mengajar dari sekolah terlimpahkan kepadaku. Guru-guru PNS mungkin tidak berminat menambah jam mengajar di sekolah lain. Dengan senang hati aku menerima tawaran mengajar dari Sekolah Perawat Kesehatan (SPK), menyusul SMEA swasta di Jakarta, dan program S1 UNTIRTA di Sepatan dengan peserta guru-guru SD. Dalam sepekan, Minggu sampai Senin, aku mengajar di empat lembaga. Jadilah aku guru sibuk. Meskipun begitu sebenarnya jamnya tidak begitu banyak. Waktunya banyak tersita di perjalanan. Banggalah aku dapat mengajar maksimal, banyak murid, banyak pula teman guru, dan banyak pengetahuan. Namun juga banyak energi dan ongkos yang terkuras.

Tentu saja setiap sekolah punya cerita. Pada kesempatan ini aku coba mengingatnya dan aku ceritakan semampunya barangkali ada manfaatnya bagi pembaca. Sejak lulus kuliah dengan mudah aku diterima di SMAN 5 berkat rekomendasi Bapak Edi Suhendar, karena aku alumni sekolah itu ketika masih SPG (Sekolah Pendidikan Guru) dan tidak ada catatan buruk tentunya. SMAN 5 pun kemudian berubah jadi SMAN 6.  Dengan mudah aku pun beradaptasi dengan lingkungan yang sebagian besar guruku waktu SPG. Sungguh menyenangkan dapat bekerja sesuai cita-cita dan jurusan walau gajinya jangan ditanya. Walau sehari jadwal mengajar hanya ada satu jam aku tetap datang ke sekolah meski jarak dari rumah ke sekolah sekitar lima belas kilo. Aku menurut saja. Tak enak jika harus mengajukan keberatan. Aku memahami bagaimana rumitnya mengatur jadwal sekolah dua shift dengan jumlah siswa seribu lebih dan guru lima puluh lebih.  

Harapan tertinggi tentu saja ingin jadi PNS. Setiap kesempatan tes aku ikuti. Ketika ada yang menawari jalur menyogok aku pun tergoda. Karena begitu manis rayuannya. Uang hanya sebagai pelicin, tes tetap diikuti. Walhasil, tidak lolos. Uang pun tidak kembali walau janji berkali-kali janji. Itu melalui teman. Ternyata uang memang tidak berteman. Cukuplah itu menjadi pelajaran. Aku kemudian tidak menaruh minat mengulanginya.  Kepala sekolah memanggil aku ke ruangannya ingin membantu katanya. Dia hanya ingin menunjukkan atau membantu mengantarkan kepada orangnya yang bersedia membantu. “Segini,” katanya seraya mengacungkan tujuh jari yang berarti tujuh juta rupiah. Uang segitu mahal juga ketika itu. Kabarnya memang pasarannya segitu. Aku katakan bahwa aku tidak punya uang segitu. Kuabaikan urusan macam itu. Kunikmati saja kerja ringan sebagai guru itu meskipun gajinya ringan juga. Ambil saja hikmahnya, orang yang punya duit sedikit cenderung rendah hati dan tidak belagu.

Sekolah negeri dengan penerimaan siswa melalui seleksi nilai ebtanas murni dan ada batas minimal tentu membantu meringankan tugas guru. Meskipun begitu ada saja ada saja siswa yang kompetensinya di bawah rata-rata, ditambah dengan jumlah siswa tiap kelas empat puluhan siswa atau lebih. Itu yang lazim disebut dengan kelas gemuk. Kelas menjadi kian tidak ideal. Hal semacam itu merupakan kondisi yang jamak di tanah air pada masa itu dan masa-masa berikutnya. Namun kondisi seperti itu bukan hal yang harus dikeluhkan karena mengeluh juga percuma. Mungkin ada pihak yang memikirkannya. Mungkin dari kelas gemuk itulah inkamnya juga gemuk, sehingga sekian orang guru honor dapat menerima gaji sesuai target.

Sebagai guru honor yang terpenting honor dapat diterima tepat waktu. Mengajar di sekolah negeri aku cukup nyaman. Pada masa-masa itu mengajar merupakan pekerjaan yang menyenangkan. Setiap awal tahun mengukur seragam, tinggal pilih, mau seragam model dinas harian atau mau jas.

Di SPK (Sekolah Perawat Kesehatan), setingkat SMA, aku empat jam pelajaran per pekan. Dua kelas, per kelas dua jam.  Sekolah eksklusif. Rekrutmen ketat. Hanya siswa pintar yang diterima. Mereka tinggal di asrama. Tata tertibnya juga ketat. Adabnya sangat baik. Sebagai guru tamu aku merasa puas dihargai siswa. Semua sopan dan hormat. Setiap kali hadir di kelas selalu disediakan air minum. Saat itu sampai sekarang, di sekolah mana yang gurunya disediakan air minum. Kalau pun ada tapi jaranglah. 

Walaupun baru kelas pertama mereka sangat dewasa. Sikapnya terhadap pelajaran pun sangat positif. Menurutku nyaris tak ada cela pada mereka. Aku pun bangga menjadi bagian dari guru yang berkontribusi terhadap para calon pewawat kesehatan. Selain pintar mungkin sebagian besar mereka dari keluarga mampu secara sekonomi. Pokoknya mereka luar biasa jika dibanding dengan siswa di sekolah-sekolah pada umumnya. Ya, karena mereka diasramakan dan terancam dikeluarkan jika berkasus. Mereka juga dibimbng dan diawasi pembimbing asrma.

Suatu hari, dalam bulan Mei 1998. Aku pulang sehabis mengajar sekira pukul sepuluh. Jalan di Tangerang yang aku lalui lengang, tapi seperti sehabis ada rombongan yang lewat. Sesampainya di rumah baru aku tahu bahwa telah terjadi kerusuhan di Perumnas. Pertokoan yang sedang top saat itu yakni MITRA kabarnya dibakar massa, menyusul pembakaran Super Mall Karawaci dan seterusnya. Jadi, pada masa itulah aku mengajar di SPK itu.

Di luar kelas tentu ada hal yang berbeda. Sebagai guru tamu ya layaknya tamu pada umumnya. Tidak ada jatah tempat duduk untukku di ruang guru. Intinya, suasananya bedalah. Yang juga berbeda adalah soal penggajian. Sebab utamanya adalah meningkatnya kebutuhan. Pada saat itulah soal uang tidak bisa diabaikan. Berharap hari ini gajian ternyata meleset. Kejadiannya lebih dari sekali. Walaupun aku maklum dengan penyebabnya, tapi semangatku menurun. Setelah dipertimbangkan, aku cukupkan sampai di situ, meskipun diberitahukan bahwa sekolah tersebut akan berubah menjadi akademi dan ada kemungkinan aku bisa menjadi pengajarnya jika mau bertahan di situ.  Aku tetap pada pilihan mengakhiri mengajar di situ. Aku bersyukur telah mendapatkan pengalaman spesial yang tidak kudapati di tempat lain.

Di sekolah SMEA swasta, belakang kampus UNTAR Jakarta, plus minusnya tetaplah istimewa dan spssifik. Sampai puluhan tahun kemudian tak ada aku temukan siswa yang orang tuanya meninggal dunia esok harinya menagih uang takziah kepada guru. Karena uang takziah dari siswa belum semuanya terkumpul maka belum diserahkan kepadanya. Mengapa siswa itu sampai menagih, bukankan bagi kebanyakan orang hal itu tabu? Mungkin ada alasan tertentu yang melatarbelakanginya yakni masalah ekonomi. Sepertinya banyak siswa latar belakang keluarganya tidak berkecukupan. Hal itu pula yang kuduga berkaitan dengan psikologi siswa yakni banyaknya siswa yang latah. Setiap kelas ada yang latah. Hampir tidak kutemukan siswa latah di sekolah lain. Apakah latah menular? Mungkin. Himpitan ekonomi, lingkungan yang kumuh dan padat manusia, rendahnya pendidikan orang tua, diduga berkaitan erat dengan perilaku siswa.

Pada suatu acara, guru dan siswa kumpul di satu ruang. Siswa membawa beberapa botol minuman diletakkan dekat guru. Seorang teman mengambilnya dan hendak memasukkan sedotan ke mulutnya. Seketika seorang siswa mencegahnya, “ Pak maaf bukan buat bapak.” Aku kaget dan pura-pura tidak mendengar. Kasihan temanku, seperti dipermalukan. Itu juga momen langka yang sensitif. Keadaanlah yang menyebabkan hal itu terjadi.

Saat KBM, terutama kelas dua yang jumlahnya antara lima belas sampai dua puluh lima, selain bebarapa ada yang latah, respon terhadap guru dan pelajaran pun lemah. Bel masuk telah beberapa menit berlalu. Aku masuk kelas. Siswa duduk tidak teratur. Ada yang mengemot permen gagang, ada yang makan jajanan. Salamku tak dibalas. Lalu aku biarkan mereka. Mereka tidak peduli. Aneh. Berbanding terbalik dengan sikap siswa SPK tadi. Aku menahan sabar. Ya, itu memang tantangan, tapi memerlukan energi untuk menghadapinya. Berbeda dengan kelas satu yang siswanya mencapai empat puluh. Mereka heterogen.

Jaraknya lumayan jauh dari Kelapa Dua Tangerang ke Grogol, pergi dan pulang naik bus lewat tol. Berangkat tergesa-gesa agar tidak terlambat dan pulang di jalan macet sering berdiri karena bus penuh, suatu rutinitas yang lumayan melelahkan. Ditambah pula dengan keterbatasan uang saku. Kadang aku harus membawa nasi dari rumah, seperti anak SD, dengan lauk telur goreng. Jika telur tak punya, cukup berbekal nasi, lauknya beli di sekitar sekolah atau pedagang kantin. Saat pulang perut dalam kondisi tekor. Bus macet. Bediri. Oh, cukup mengenaskan jika dikenang. Itulah pengalaman, tapi cukup berharga.

Ada lagi kisah yang membuat aku sengsara. Kebetulan aku sedang akan merintis usaha fotokopi dengan pinjaman modal dari mertua. Seorang teman guru berinisial R menipuku. Aku butuh mesin fofokopi. Dicaloinya. Salahnya aku terlalu percaya. Di awal dikatakannya bahwa kepala sekolahnya di sekolah lain akan menjual mesin fotokopi di Tomang. Dibawanya aku dengan mobil sewaan, kukira ke Tomang (Jakaarta Barat) tapi ke Cakung (Jakarta Timur). “Nih kepala sekolahnya, ” begitu tiba di tempat tujuan.

Aku mengira pemilik mesin fotokopi itu seorang kepala sekolah. Ternyata dia pun mengira aku sebagai kepala sekolah. Hal itu diketahui belakangan, setelah mesin mulai aku operasikan mengalami masalah serius dan aku komplain. Aku membelinya delapan juta, sedangkan kata penjualnya dia menjual seharga empat setengah juta. Akau tertipu. Duh, bodohnya aku. Sesaklah dadaku, istriku pun menderita. Dalam hati aku memaki dalam hati, biadab bapak guru R yang beralamat di jalan Cibodas Perumnas 1 itu. Panjanglah liku ceritanya sampai setahun kemudian mesin tersebut dijual seharga satu juta seratus ribu. Begitu cerita singkatnya. Aku percaya, bahwa ada hikmahnya kejadian itu.

UNTIRTA kelas Sepatan dengan sasaran peserta guru-guru SD untuk menyelesaikan program S1 jurusan Bahasa Dan Satra Idonesia. Aku kebagian mengajar mata kuliah teori sastra. Jadwalnya setiap hari Minggu. Di antara mahasiswanya ada teman sekelasku ketika di SPG, yakni Aryati. Ada kakak kelasku, yang aku tak hapal nama-namanya.

Aku jadi belajar lagi. Mencari bahan tentang teori sastra, bahkan yang belum pernah aku dapati di kampus harus aku lakukan. Dengan begitu bertamlah pengetahuanku. Salah satunya materi tentang mimesis atau mimetik, yakni teori sastra yang berpandangan bahwa karya seni maupun karya sastra merupakan bentuk tiruan alam atau kehidupan manusia.  .....


  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesona Burayot, Sebuah Catatan Perjalanan ke Garut

HP Hilang, Susah pun Terbayang

[Catatan Perjalanan] Dari Pasar Lama ke Rumah Sakit