[Catatan Perjalanan] Dari Pasar Lama ke Rumah Sakit
Siapa yang tak kenal Pasar Lama di tengah Kota Tangerang? Kota Tangerang dan Pasar Lama tak bisa dipisahkan. Belakangan yang terjadi adalah dibukanya pasar kuliner di badan jalan Ki Samaun, sepanjang Pasar Lama. Kabar itu telah aku tahu sejak beberapa tahun. Namun aku belum pernah datang malam hari. Maklum terhadap kuliner aku cenderung biasa-biasa saja.
Saat kondisi aman, yakni bensin di mobil cukup,
walau uang hanya beberapa ratus ribu kira-kira cukuplah, kesehatan baik,
kesempatan ada. aku ajak anak dan istri ke sana, Sabtu (14/6/2025). Maksudku hanya demi menggembirakan mereka
sekaligus menikmati malam Minggu dengan suasana yang berbeda. Bakda magrib
berangkatlah.
Tiba di depan Masjid Agung Al Ittihad kondisi
lalulintas lambat merayap. Kebetulan ada area kosong dan ada juru parkirnya. Aku
parkir mobil di jalan Kisamaun depan masjid tersebut. Sebagian besar bahu jalan
dimanfaatkan parkir mobil. Segaris dengan stasiun seluruh tepian jalan dipadati
sepeda motor penumpang kereta. Baik sepeda motor maupun mobil ada yang keluar
dan masuk area parkir, sehingga lalulintas kerap tersendat. Para juru parkir
sibuk dengan pekerjaannya. Orang ramai berlalu-lalang. Kebisingan tak
terhindarkan. Mulai dari putaran jam Damatex lapak pedagang bertebaran. Mereka
menjual beragam kuliner jajanan, seperti cilor, cilung, dan segala macam jenis
makanan kekinian yang belum pernah aku temukan di tempat lain. Kedua anakku
mulai menunjuk-nunjuk jajanan kesukaannya. Aku menemani saja, sambil
menggendong si kecil Amarilis. Kakaknya, Naira, pun punya pilihan. Aku berusaha
mengimbangi langkah istriku dengan mengamati setiap lapak yang dilewati barangkali
ada yang cocok untuk dibeli.
Ketika aku terangsang ingin jajan pilihanku adalah
sate. Ketika mendekat ke tukang sate ternyata hanya ada sate ayam. Aku mau sate
kambing, ternyata tak ada. Istriku kemudian memilih nasi dengan lauknya ayam,
tapi antre. Caranya mendaftar, membayar di kasir, dapat nota, duduk, dan menunggu nasi plus ayam disajikan. Sepertinya
bukan pedagang kecil. Karyawannya beberapa orang. Setelah menunggu beberapa
saat disajikanlah pesanan kami. Ayamnya presto, mirip dengan ayam bakar Cak
Albi di Bonang, tapi yang ini tidak dibakar. Namun tempatnya yang darurat dan
orang-orangnya yang sepertinya sipit agak mengurangi seleraku. Lain halnya
dengan istriku. Sementara itu kedua anakku makan makanan jajanan pilihannya.
Setelah makan kami sedikit berkeliling dan kembali
ke arah semula. Aku menemukan tiga pedagang jami racik. Seperti yang pernah
dibicarakan, bahan-bahannya seperti kunyit, temulawak, dan lain-lain diproses
di situ dan bisa langsung diminum. Aku belum tertarik untuk minum jamu. Ketika
aku menunjukkan kepada istriku, katanya kalau mau bikin saja di rumah.
Anakku, Naira ingin pipis. Kami masuk ke area Masjid
Agung. Mereka bertiga ke toilet wanita, aku ke tempat wuru pria. Aku berpapasan
dengan seroang laki-laki Arab tinggi kecil. Dia langsung berkata, “Kurik!” Aku
tak mengerti. Dia mengulang ucapannya seraya menunjukkan sesuatu mungkin rokok
sehingga aku jadi paham bahwa yang dimaksudkannya korek api. Kataku, “Saya
tidak merokok.” Dia berkata sedikit. “Oh no.”
Sebeelum masuk te tempat wudu aku membaca tulisan
yang menunjukkan bahwa di situ ada pesantren. Benarkah? Selesai salat aku
mendapati beberapa anak santri berjalan menuju lantai atas sepertinya hendak
mengaji.
Aku menunggu agak lama, setelah itu muncullah anak
dan istriku. Ternyata istriku salat di sana. Kami pun menuju mobil. Keluar dari
area masjid, peris di trotoar Amarilis terjatuh dan menangis. Dia tersandung
sebatang ranting kayu. Kami masuk mobil. Ongkos parkir sepuluh ribu rupiah.
Masih terbilanag wajar jika dibandingkan dengan ongkos parkir liar di Tanah
Abang suatu ketika yang mencapai delapan puluh ribu rupiah.
***
Paginya, Minggu, Amarilis panas. Dikompres dengan by by paper dan diberi obat parasetamol
panasnya tak kunjung reda. Sementara itu kakaknya, Naira, juga mulai panas. Dia
sakit juga. Kondisi Amarilis makin lemah. Naira juga sama. Obat yang ada tidak
segera menyembuhkannya. Senin, kami membawanya ke Puskesmas. Kami berempat berobat. Keluhanku sakit
pinggang. Meski begitu tenggorokanku mulai tak nyaman. Cerita istriku, kata dokter
jika kondisi Amarilis tidak membaik dalam dua hari agar dibawa ke rumah sakit.
Hingga hari kedua ternyata Amarilis makin mengkhawatirkan.
Baira juga belum ada perunahan. Kami niatkan untuk merawat Amarilis, tapi Naira
tidak bisa ditinggal walau kondisinya tidak darurat. Jika hanya Amarilis yang
dirawat dan dijaga mamanya, Naira pasti ingin ikut. Maka kami pastikan Naira juga harus dirawat.
Jumat (20/6/2025) sekira pukul delapan kami
membawanya ke IGD (Instalasi Gawat Darurat) Rumah Sakit Mitra Keluarga di
Kampung Anggris, sekira dua kilometer
dari kediaman kami. Kedatangan kami disambut baik. Beruntung dua anak kami
sudah dibuatkan kartu KIS/BPJS sehingga soal itu tidak ada masalah.
Keduanya direbahkan di kasur perawatan ruang IGD.
Kami menanti tindakan medis. Waktu terasa berjalan lamban. Mengikuti arahan
petugas, aku ke bagian pendaftaran. Ada media layar sentuh. Sentuh: daftar, BPJS,
Rawat Inap, keluarlah nomor antrean. Itu dua kali aku lakukan, untuk dua anak.
Menunggu beberapa saat hingga tiba gilirannya tampak di layar monitor.
Dijelaskan oleh petugas, ruang pewaratan kelas 1
yang menjadi jatah anakk kami penuh. Demikian juga kelas 2 dan 3. Pilihan
lainnya adalah dirujuk ke rumah sakit di Jabodetabek. Aku kembali ke ruang IGD
mendiskusikan hal itu dengan istriku. Hasilnya: bingung. Pertolongan pertama
kepada kedua anak kami yakni dengan dipasang infus. Percakapan kami tak segera mendapat
solusi. Kata suster bisa juga jika mau up
grade ke ruang VIV dikenakan biaya. Jika pilihan dirujuk tidak diambil maka
jasa layanan di ruang IGD itu dikenakan biaya.
Kami berada dalam posisi nyaris “skak-ster”. Intinya
satu: uang. Tukang yang kerja di rumah distop karena kehabisan uang. Mobil
tidak berani untuk pergi jauh karena bensinnya tinggal sedikit, seandainya
masuk tol saldo e-money tidak
mencukupi. Meskipun begitu aku katakan kepada istri dan kepada petugas
administrasi untuk dirujuk saja.
Di tengah kekosongan uang alhamdulillah rezeki dari
wali murid saat pembagian rapot yang mencapai 675 ribu amat membantu untuk
sekadar menutupi berbagai kebutuhan kecil. Sisanya tinggal sebagian, tapi jauh
dari memadai jika untuk jaga-jaga jika jadi dirujik ke rumah sakit yang lebih
jauh.
Aku berpikir bagaimana cara mendapatkan uang dengan
kondisi punya angsuran. Bahkan perhiasan masih di pegadaian. Dananya digunakan
untuk biaya material dan pengerjaan kontrakan yang bahkan belum tuntas juga. Saat
itu meminjam ke koperasi pasti tidak bisa karena angsurannya belum lunas. Namun
kukira bisa jika pinjam sementara karena keadaan darurat dengan jaminan
tunjangan sertifikasi yang akan cari sekitar sebulan lagi. Itu satu-satunya
cara yang paling bisa dilakukan, karena pinjam kepada saudara apalagi orang
lain sepertinya mustahil. Ekspektasinya antara lima sampai sepuluh juta.
Seorang adikku telah mengisyaratkan bahwa dia pun tidak punya cukup dana.
Itu sebabnya kemudian aku mengirim pesan kepada
ketua koperasi sekolah dengan mengabarkan kondisi belum mendapat kamar
perawatan, semua ruangan penuh dan harus dirujuk ke rumah sakit lain, dengan
harapan ada pengertian untuk kemudian mengizinkan saat aku sampaikan permintaan
pinjaman dana sementara nantinya.
Sepertinya kecemasanku akibat kami tidak kebagian
ruang dan harus dirujuk yang ujung-ujungnya uang itu tak terpahami. Aku berpikir yang terburuk yakni jika harus
dirujuk. Jika di wilayah Tangerang tidak ada ruang dan harus ke Jakarta tentu
perlu pegangan biaya. Uang yang ada tidak cukup. Kepada siapa aku harus
meminjam uang? Takut kecewa akibat tidak diberikan pinjaman aku urungkan niat
meminjam. Sebab pengalaman telah mengajarkan hal itu. Jika harus mengemis-ngemis
aku enggan.
Kabar kedua anakku dirawat segera tersiar di grup WA
sekolah. Ucapan empati dan doa bermunculan. Namun itu tak Namun keadaan kian
meruncing. Tak ada solusi soal uang. Waktu bergerak terasa lambat. Kesulitan
terasa begitu nyata. Aku kemudian berubah pikiran. Kalau boleh menunggu lama di
ruang IGD lebih baik menunggu. Sebab seandainya anakku batal dirawat lalu
dibawa pulang pun kukira tak cukup uang untuk membayar jasa perawatan di IGD
itu. Aku tak tahu, secemas apa hati dan pikiran istriku. Tentu dia berharap aku
punya solusi. Namun kemudian ucapannya sedikit melegakanku. Katanya, orang lain
juga ada yang sudah lama dirawat sementara di IGD. Di situ memang ada beberapa
orang pasien yang tengah ditangani. Bahkan ada yang tak sadarkan diri dengan
mulut menganga seperti sedang sakaratul maut.
Ya kukira memang sebaiknya menunggu, barangkali saja
ada pasien yang keluar dari ruang perawatan sana.Aku katakan juga kepada
petugas administrasi bahwa danaku sedang kosong berharap dia memaklumi.
Waktu magrib tiba. Aku pergi ke masjid Kampung
Anggris, pinggir jalan raya. Di tepi jalan banyak kendaraan terparkir. Halaman
masjid dipadati sepeda motor. Ada juru parkir perempuan dengan wajah tertutup
sekaligus menjaga keamanan kendaraan. Mungkin dia akan salat belakangan. Jamaah
cukup banyak.
Selesai salat aku kembali ke ruang IGD. Ada kabar
gembira. Ada ruang kosong di kelas 3. Katanya sedang disiapkan. Alhamdulillah.
Beberapa saat kemudian aku diminta ke bagian pendaftaran. Ada dokumen yang
ditandatangani.
Dibantu dua perawat, Amarilis dan Naira disatukasurkan lalu
dirorong menuju ruangan 412 di lantai 4. Masing-masing terpasang infus. Di
ruangan itu ada dua pasien. Dua kasur telah siap ditempati. Di situlah Naira
dan Amarilis ditempatkan. Alhamdulillah. Tenanglah kami. Masih ada kemungkinan
anak kami dipindah ke kelas 1. Aturannya, satu pasien satu penunggu, sehingga
aku dan istri boleh menunggui dua anak kami. Diumumkan juga jam besuk pukul 5-7
malam.
Aku pulang mengantarkan mobil, setelah isya kembali
dengan motor. Aku ikut menginap. Suplai air minum cukup, demikian juga dengan
jatah makan pasiun. Sebagai penunggu pasien memang lumayan tak nyaman. Kami
tidak membawa alas. Sekalipun dengan alas, lantainya amat dingin. Temperatur AC
terlalu dingin, kami tidak bebas
mengatur. Maklum satu ruang untuk tiga
pihak pasien. Suara tangis pasien anak lain sekali-sekali terdengar. Kamar
kecil ada satu. Namun semua itu masih kami syukuri, daripada harus dirawat di
rumah sakit yang lebih jauh bisa lebih merepotkan.
Paginya aku pulang. Sebelum keluar dari portal
parkir, struk parkir dipindai, muncul nominal yang harus dibayar, yakni 20.000, lalu pindai
kartu e-moneyl. Untung ada
saldonya, sehingga portal terbuka. Aku bisa melakukannya sendiri karena
sebelumnya pernah dipandu ketika keluar dari Samsat Kelapadua. Jadi kalau mau,
lancar keluar-masuk rumah sakit harus punya kartu e-money yang saldonya memadai.
Ketika aku masih di rumah mendapat kabar bahwa anak
kami telah dipindahkan ke ruang perawatan kelas 1, kamar 425. Alhamdulillah,
kukira pasti lebih baik. Aku bersyukur. Bakda isya aku kembali ke rumah sakit.
Ternyata betul, satu ruang tanpa orang lain, sehingga lebih leluasa. Kasur
tetep dua. Tak ada jatah kasur untuk penunggu pasien. Penunggu dibolehkan
membawa alas untuk digelar di lantai, tapi tidak boleh membawa kasur lipat.
Jika bukan kasur pasti tak nyaman untuk ditiduri, lantainya dingin. Kami
memilih tidur di ujung kasur pasien. Kepala sampai punggug di kasur, kaki di
bangku. Dengan posisi tidur yang tidak ideal bertambah sakitlah pinggangku. Malam
itu intensitas batuhku meningkay. Ya, aku mengalami batuk pilek sejak
kemarinnya.
Minggu. Aku pulang masih pagi. Pintu lobi terkunci.
Jalan keluuar melalui pintu IGD. Motor terparkir di basement. Begitu sampai
pada pindai kartu e-money portal tak
mau terangkat. Karena bising kendaraan suaranya yang behrahasa Inggris makin
tak jelas. Ternyata saldonya kurang. Aku tak bisa keluar. Di situ tak ada
petugas. Aku bingung. Di belakang ada orang yang mau keluar. Aku mencoba
meminta bantuan dengan menyiapkan uang tunai 20000, tapi tak digubris. Dia bisa
keluar.
Ternyata ada tombol bel untuk memanggil petugas.
Sayang semua petunjuknya berbahasa Inggris. Aku pencet-pencet, keudian
munculkan petugasnya. Aku maunya simpel saja, kuasongkan uang 20000. Dia tidak
langsung menerima. Dia menaykanan gopay, dana, aku tak punya. Aku mencoba
memakai qruis. M-Bankinku hanya dari Bank Banten. Kucoba. Ternyata tidak bisa.
Setelah gagal barulah dia mau menggunakan kartu miliknya dan aku memberinya
uang. Dia menyarankan agar kalau aku kembali agar sudah mengisi kartu e-money.
Aku berobat ke Puskesmas. Hari sabtu itu juga Naira
mendapat rapor kenaikan kelas, naik ke kelas dua, melalui tetangga. Malamnya
kembali ke rumah salit dan menginap untuk ketiga lakinya. Ya, serasa mengisi
liburan di vila bersama keluarga. Untung kedua anakku, terlebih Naira. Mereka
memegang HP menonton video dan animasi.
Paginya, Senin, aku pun pulang. Kartu e-money kembali terdebet 20.000.
Akativitasku di rumah mengerjakan apa saja yang bisa aku kerjakan, termasuk
tidur. Aku kembali ke rumah sakit sore
dengan membawa mobil karena telah dikabari akan boleh pulang. Beberapa saat
setelah tiba diruangan aku diminta ke bagian administrasi ruang perawatan. Ada
yang ditandatangani. Tanggal kontrol 30, sepekan kemudian. Kami pulang dengan
mobil.
Mungkin karena bertepatan dengan masa libur sekolah
atensi dari teman-teman guru disampaikan melalui grup WA. Dari keluarga dan
tetangga memang luput. Mungkin, selain mereka tidak tahu juga itu merupakan hal
yang agak biasa bagi keluarga kami. Kesulitanku tak ada yang tahu. Tapi
begitulah, bahwa setiap orang harus mandiri tanpa harus bergantung kepada
siapapun, termasuk mandiri soal keuangan. Semua orang membutuhkannya. Boro-boro
untuk orang lain, untuk diri sendiri saja kerepotan. Aku pun memaklumi.[]
Komentar
Posting Komentar