Pesona Burayot, Sebuah Catatan Perjalanan ke Garut
Soal rencana teman-teman berwisata ke Garut, aku katakan bahwa aku tidak bisa ikut karena alasan keuangan. Namun pada waktu berikutnya, seorang temanku Pak Agus menelepon, dia kembali mengajak, aku katakan bahwa aku tak punya cukup uang. “Kalau ada yang menalangi bagaimana?” tawarnya. Sesaat aku berpikir. “Boleh,” kataku. Artinya aku bisa membayar pada saat dananya ada. Yang menarik dari rencana wisata ke Garut, pertama tempat yang akan dikunjungi adalah besar kemungkinan tempat yang belum pernah aku datangi. Kedua, alat transportasinya kereta api, sehinnga memungkinkan perjalanan lebih sensasional. Ketiga, tentu saja jika berangkat bersama aku tidak perlu pusing-pusing mencari alamat, tinggal duduk manis.
Berselang beberapa hari, pada kesempatan rapat
pembahasan disampaikan informasi bahwa perjalanan tidak bisa dengan kereta api
melainkan dengan mobil pribadi. Tidak mengapalah, pikirku. Jadilah ongkosnya
ditalangi. Destinasi yang dituju kawasan Cilawu, Garut. Di depan ada empat hari
libur, yakni Kamis, Jumat, Sabtu, dan Minggu.
Keempat hari itu berada di tengah
kegiatan Penilaian Akhir Tahun (ulangan semester genap). Rencana keberangkatannya
Kamis. Berselang beberapa hari pula
cairlah dana tunjangan kinerja. Maka aku bayarkanlah. Nominal dana yang cair
sebenarnya lebih dari cukup, tapi sebagian terpotong cicilan bank. Terlebih aku
dalam kondisi butuh uang untuk membiayai penyelesaian bangunan kontrakan dua
pintu, sehingga pada waktunya aku tak punya cukup uang.
Tibalah waktunya, Kamis (29/5/2025) pukul lima aku
berangkat dengan motor ke rumah Bu Indah di kawasan Poris. Meskipun aku pernah
ke sana tapi tak begitu hafal sehingga masih harus bertanya dan mencari-cari
hingga akhirnya ketemu. Teman-teman lain telah tiba dan siap berangkat.
Beberapa saat kemudian berangkatlah enam orang Lima orang lainnya berada di mobil lain dan
bertemu di posisi menjelang pintu tol. Sekira pukul enam seperempat mobil masuk
tol. Inilah aku kali pertama aku menumpang di mobil Stargazer milik Bu Indah.
Perjalanan dengan mobil usia muda memang nyaman. Di mobil ini kami berenam,
yakni pemiliknya Bu Indah, sopir Pak Diky, Pak Suryadi, Bu Fadilah, Pak Agus,
dan aku. Sedangkan di mobil Pak Deni, selain beliau sebagai sopir ada pula Pak
Deden. Bu Mumun, Bu Cahoirunnisa, dan Bu Laely. Semuanya sebelas orang.
Keberangkatan pagi dari rumah dimaksudkan agar
terhindar dari kemacetan di perjalanan. Namun istirahat di rest area km 57 arah
Bandung terasa cukup lama. Mungkin itu karena aku tidak melakukan apa-apa,
buang air kecil tidak, jajan pun tidak. Sekira setengah jam kemudian perjalanan
dilanjutkan menuju Garut. Sekira pukul sebelas tibalah di sebuah rumah makan
yang kabarnya sedang viral, yakni RM Een Megawati di Jalan Garut - Tasikmalaya, Sukatani, Kec.
Cilawu, Kabupaten Garut. Untuk masuk ke lokasi harus melewati gang yang jika
mobil berpapasan mengalami kesulitan.
Latar belakang pemandangan sawah dan Gunung Cikuray
yang tampak indah kami manfaatkan untuk berfoto-foto. Tersedia sejumlah gazebo.
Pengunjungnya banyak. Tentu saja menunya enak-enak, terutama ketika dimakan
saat lapar, bikin penyuka kuliner
ketagihan. Menu yang kedengarannya unik dan bikin kami penasaran adalah jukut goreng. Jukut goreng terbuat dari selada
air yang digoreng langsung dengan minyak panas. Rasanya gurih. Aku pun
mencicipi. Sebenarnya biasa saja sih. Ayam kampung gorengnya enak, seenak ayam
goreng di tempat lain juga yang dimakan hangat-hangat.
Selesai makan kami berangkat menuju villa Angin
Senja sejarak sekira delapan ratus meter melewati perkampungan dan melalui
jalan kecil. Beralamat di Kampung Cipaku, Mekarsari. Lahannya berada di
ketinggian. Bangunan villa berbentuk L tersambung dengan rumah, di sudutnya
terdapat musala kecil. Satu kamar berada di lantai atas aku dan Pak Agus yang
menempati. Terdapat dua dipan sama tinggi, dan di tengahnya satu lebih rendah
yang bisa dimasukkan ke kolong. Masing-masing bisa memuat dua orang. Kamar
mandinya luas dan bagus, bisa memuat sepuluh orang kalau mau mandi bareng (!).
Ada wastafel dan cermin, kloset duduk, dan shower air panas. Selain rombongan kami ada juga satu rombongan
lain yang mengisi kamar-kamar lainnya. Udaranya sejuk, pemandangan gunung dan
pepohonan tampak dari lantai atas. Tak kutemukan aura horor atau pun mistis di
kamar yang kutempati meskipun di awal Pak Diky enggan menempati karena
menurutnya lembab.
Siang. Kami berangkat ke Nagara Hot Spring Experience alias pemandian air panas di Jalan
Raya Cipanas No.18, Rancabango, Kec. Tarogong Kaler, Kabupaten Garut. Tiba di
lokasi lewat magrib. Area parkir penuh sehingga mobil ditolak tukang parkir dan
terpaksa memutar balik. Mungkin karena sebelumnya Bu Indah telah menghubungi
maka kemudian kami bisa masuk dan untungnya ada juga mobil lain yang keluar.
Tempatnya bersih dan bagus. Di luar terdapat tulisan
larangan bagi pengunjung membawa makanan dan minuman. Pengunjung yang sudah membayar
diberikan gelang plastik yang harus dipakai selama di dalam. Di dalamnya tersedia
toilet dan ruang bilas. Tempat berendamnya terdiri dari satu kolam air hangat
sedada orang dewasa, satu kolam untuk untuk anak-anak di lengkapi dengan layar
lebar berisi video bawah laut, kolam lingkar berdiameter sekitar 2,5 meter suhu
airnya lebih panas, dan satu kolam dilengkapi dengan empat tempat rebahan
sambil berendam. Di antara kolam dewasa
dan anak tersedia banyak meja dan kursi untuk ngopi-ngopi. Makanan dai minuman
bisa dipesan di restonya.
Saat itu orang ramai. Aku ragu untuk berendam.
Airnya jernih. Kupikir-pikir, rasanya rugi jika tidak berendam, sehingga aku
putuskan mencari loker dan menyimpan tas berisi pakaian salin. Begitu turun
terasa panas airnya, tapi lama-lama hangat. Berendam di air hangat dapat
memberi relaksasi bagi tubuh. Selain di kolam yang agak besar itu aku juga
mencoba ke kolam yang bulat dengan airnya yang lebih panas. Seperti yang
tertempel di dinding bahwa air panas di pemandian tersebut berasal dari geyser
dan memiliki kandungan belerang yang bersumber dari Gunung Guntur yang
lokasinya tidak jauh dari situ.
Di kolam bulat kecil aku berendam setengah badan.
Benar, airnya lebih panas. Aku tak kuat jika membenamkan kepala. Tak berapa
lama aku kembali ke kolam yang agak besar. Tentu saja aku tidak sendiri. Tidak tampak manula berpenyakitan di situ. Sementara
itu ibu-ibu semuanya fokus di kolam yang ada kursi rebahannya. Katanya mereka
nyaman.
Dalam balutan cahaya remang tampak jelas ada paha
mulus dari orang berambut putih panjang. Begitu dilihat sampai wajahnya
jelaslah bahwa dia laki-laki berusia pensiunan. Seketika ketertarikan para
lelaki pun sirna. Itu pun menjadi bahan candaan kami, para lelaki. Setelah puas
berendam masuklah aku ke ruang bilas dan salin pakaian. Lebih dari dua jam kami
berada di situ, kemudian keluarlah. Mobil bergerak ke sasaran berikutnya.
Sekian menit kemudian tiba di Rumah Makan Sugema
Raya. Lokasinya di Jalan Suherman, Tarogong, Kec. Tarogong Kidul, Kabupaten
Garut. Di sini tersedia beragam menu yang bisa dipilih sendiri sesuka hati.
Tampaknya menu pavorit yang disukai banyak pengunjung saat itu adalah sop iga
dan sop tunjang (kaki sapi). Aku pun masuk antrean. Sebenarnya aku naksir sop
iga tapi karena butuh waktu lebih lama maka aku memilih sop tunjang. Sepiring
nasi yang kupegang telah kusertai dengan rendang jengkol dan mujair goreng.
Setelah mendapatkan semangkok sop tunjang aku langsung mencari tempat duduk.
Seorang karayawan menghampiriku agar aku mendaftar dulu ke kasir. Oh begitu,
aku tidak tahu. Makanan yang kubawa dicacat dan dihitung untuk dibayar sekalian
setelah selesai makan oleh Bu Indah. Mujair yang kumakan sepertinya digorengnya sudah lama sehingga kurang enak. Namun apa
pun yang sudah ada dipiring mubazir jika tidak dihabiskan. Sop tunjangnya enak.
Selesailah makan. Sop tunjang sama dengan kikil, ya sebagaimana rasa kikil.
Enak ya enak, biasa saja enaknya. Begitu menurutku yang awam soal kuliner. Lain
halnya menurut Pak Agus, istimewa dan sangat enak. Pukul 20.45 kami keluar dari
rumah makan itu.
Untuk memanfaatkan momentum, sasaran berikutnya
adalah warung kopi GULAPADI di Jalan
Bank No.11 Paminggir, Kecamatan Garut Kota. Tepi jalan depan kafe tersebut
banyak mobil parkir sehingga kami parkir agak jauh. Kebetulan di samping mobil
berhenti ada masjid. Pintu pagarnya tertutup, tapi tidak terkunci. Pintu masjid
juga tidak terkunci. Agar lebih tenang, aku dan Pak Agus memilih salat isya dan
magrib dijamak.
Teman-teman telah menuju kafe alias warung kopi
GULAPADI. Kami berdua menyusul. Aku tak punya inisiatif untuk memesan makanan
atau minuman. Bu Mumun menawarkan pilihan minuman. Ditangannya segelas es jeruk
nipis. Aku minta yang seperti itu. Dia kemudian memberikannya kepadaku. Dia
pesan lagi. Seiring waktu bergulir, keluarlah beberapa piring gorengan menemani
obrolan bebas ngalor-ngidul penuh keakraban. Tempat seperti itu bisa dibilang
sebagai warung kopinya orang kotalah. Namun sekadar selingan bagiku singgah di
tempat macam itu bolehlah.
Tiba di villa larut malam. Aku tak mandi lagi.
Selagi belum mengantuk benar kusempatkan mengedit video untuk kemudian diunggah
ke media sosial. Mendekati pukul nol nol (dua belas malam) aku mulai tidur. Aku
terbangun ketika mendengar suara melalui spiker masjid dalam jarak jauh. Pukul
empat. Lalu aku mandi. Airnya dingin. Kucoba putar-putar barangkali ada air
panas. Tetap dingin. Selesai mandi kukenakan handuk dan sikat gigi. Ada rasa penasarana,
apakah ada air hangatnya. Kucoba menggerakan engkolnya, ternyata ada. Kubuka
dan kusangkutkan handuk. Aku mandi lagi dengan air panas/hangat. Tentu lebih
nikmat. Selesai kumandang azan subuh, salatlah aku di kamar itu. Sementara Pak
Agus masih menikmati tidurnya yang nyenyak.
Sabtu pagi, teman-teman asik bernyanyi karaoke dan
bermain ke sawah. Bagi yang masa kecilnya tidak terbiasa bermain di sawah tentu
menjadi sensasi. Bagiku yang semasa kecil banyak berada di sawah sebenarnya
lebih sebagai mengenang masa dulu, tapi karena sandalku ada yang memakai
jadinya aku tidak ikut. Mereka berfoto-foto di sawah dengan tanaman padinya
yang hijau.
Pukul sembilan kami chek out meninggalkan Villa Angin Senja. Perjalanan menuju
destinasi wisata Balong ditempuh melalui rute arah pulang. Tiba di lokasi pukul
sebelas lewat. Sejumlah mobil telah terparkir di sebagian area parkir. Memasuki
area wisata ada pintu gerbang kecil bertuliskan BALONG. Lokasinya berada di
wilayah desa Rancabango, Tarogong Kaler, Garut.
Untuk sampai di pusat objek wiasta jalannya menanjak
dengan belasan anak tangga. Pada ketinggiannya terdapat kafe dengan dua deret
panjang meja dan kursi yang saat itu terisi para pengunjung yang menikmati
minuman dan makanan ringan, lalu berjalan ke bawah melalui sejumlah anak
tangga. Ada danau alias balong. Danau berlatar belakang pemandangan Gunung
Guntur itulah yang menjadi pusat perhatian pengunjung. Para pengunjung barada di
dataran pinggir danau dengan sejumlah pohon berdaun rindang. Suasananya teduh
dan nyaman. Tersedia spot-spot foto berbayar dengan fotografernya. Pemandangannya
sungguh indah, terlebih menikmatinya sambil ngopi. Sebagian orang ngopi-ngopi
di tepi danau. Kami berpencar. Tak semua teman bisa kulihat. Aku mengambil foto
beberapa cepretan setelah itu pergi.
Suara-suara solawatan dari sepeker masjid bersahutan,
waktu jumat kian mendekat. Aku gelisah. Kesempatan salat jumat terancam hilang
karena jarak masjid cukup jauh. Sepertinya hal yang kurasakan dirasakan juga oleh
Pak Agus dan Pak Diky, sehingga kami mencoba mendekati gerbang portal parkir
dan mencari informasi keberadaan masjid. Dalam obrolan dengan penjaga portal
sedikit informasi kami dapatkan bahwa objek wiasta Balong dibangun oleh
sutradara preman pensiun. Itu milik pribadi.
Setelah bertanya dapatlah informasi, ada dua masjid
yang bisa dijangkau, tapi keduanya tidak dekat. Lurus atau belok kiri. Lebih
dekat belok kiri, katanya. Kami memilih yang belok kiri. Jaraknya sekira lima ratus
meter. Berjalan kaki lumayan capeklah. Ada seorang anak yang juga hendak ke
masjid. Dari anak itulah diketahi bahwa itu Kampung Cipanas.
Pak Agus dan Pak Diky keluar masjid lebih dulu. Aku
tertinggal. Aku mencoba memilih jalan lain yang tembus ke jalan raya. Ketemulah
mereka. Kami mampir di warung untuk minum kelapa muda. Untuk menghabiskan
kelapa perlu waktu yang agak lama di situ. Sampai rombongan menelepon kami
belum selesai. Begitu tiba di parkiran satu mobil telah berangkat ke rumah
makan yang katanya sedang viral di kawasan Pasar Baru kota Garut. Menghabiskan
satu buah kelapa dan sebungkus kerupuk terasa penuh perutku.
Mobil parkir di lokasi berbeda. Kami pojok luar
timur laut, mobil lainnya di barat seberang rel kereta api. Titik kumpul di
Rumah Makan Mang Iki. Letaknya pinggir rel. Di luar bangunan semua meja terisi
demikian juga di dalam. Antrean terbilang panjang. Kami menunggu sampai orang
lain selesai makan dan beranjak. Lama-lama kami mendapat tempat duduk juga,
tapi memang lama. Air teh dibagikan. Pelayannya sibuk melayani pembeli yang
lain. Berulang-ulang kami memberi kode agar pesanan kami atas nama Bu Indah disegerakan.
Kerupuk kulit bermerek Dorokdok jadi sasaran. Setelah hampir dua jam muncullah
nasi dan tempe. Ayam yang dipesan sepertinya masih sedang digoreng. Sebagian
dari kami mulai makan meski hanya dengan tempe goreng. Perutku yang tadi terasa
penuh dengan air kelapa mulai terasa lapar karena kelamaan menunggu. Sekira sepuluh menit kemudian ayam goreng
muncul, masih panas. Ayam kampung. Seenak apa sih? Sesungguhnya, menurutku,
biasa saja, sebagaimana ayam kampung goreng lainnya. Tempatnya yang sempit dan
kumuh berakibat tidak nyaman dan tidak menggoda kami untuk kelak kembali makan
di situ. Meskipun demikian, setidaknya rasa penasaran karena sedang viral telah
terbayarkan.
Di lokasi pinggir rel itulah terbersit renungan dalam
pikiranku bahwa memang kami lebih tepat memakai mobil pribadi, sehingga
pergerakan jadi bebas. Jika dengan kereta api hanya bisa berkeliling sekitar
stasiun. Jika harus menyewa mobil tentu saja tidak efektif dan tidak efisien.
Usai makan kami kembali ke mobil masing-masing. Baberapa
meter dari rumah makan Mang Iki kami menyaksikan orang berbahagia menghibur
diri. Satu orang bernyanyi lahu Darah Muda, dua orang berjoget dengan gerakan
yang unik, ekspresif namun lamban. Ketiganya berusia pensiunan.
Sesuai kesepakanat kami berhenti di pusat oleh-oleh
Chocodot Djieun di Jalan Otista. Aku tidak masuk karena percuma, tak ada niat
membali. Di sampingnya ada musala, kami salat. Datag tukang hasil kerajinan
kulit. Ada tas selempang, sabuk, topi. Aku hanya membeli gantunga kunci
berbahan kulit seharga dua puluh ribu rupiah. Yang lain ada yang membeli topi
dan tas.
Kue burayot yang sejak tiba di kawasan Garut menjadi
perbincangan karena dikonotasikan dengan buah jakar yang juga biasa disebut
burayot mampu mengundang rasa penasaran, Bentuknya bulat lonjong, sedikit
keriput, dan warna kecokelatan. Burayot berarti bergelantungan. Dalam
perjalanan pulang Pak Diky menghentikan mobil. Dia ingin membeli kue
burayot. Burayot merupakan makanan
tradisional khas sunda dari Garut. Bahan bakunya tepung beras, gula merah, dan
minyak kelapa. Varian rasanya cokelat, wijen, keju, jahe, dan kacang tanah. Aku
mencicipi satu dari Pak Diky, rasanya manis seperti kue cincin yang jamak
ditemui di Tangerang dan sering kumakan sejak kecil. Popularitas kue burayot
terangkat kukira berkat teknik pemasaran yang tepat dalam konteks pariwisata
Garut dan umumnya jawa barat.
Setelah itu mobil kembali melaju hingga menembus
waktu magrib dan istirahat di km 57. Kami menunaikan salat magrib. Setelah itu
teman-teman berpencar, mungkin ada yang masuk ke toko oleh-oleh. Setelah cukup
lama dan azan isya lewat dari setengah jam barulah kami kembali star menuju
Tangerang.
Jadi sepanjang perjalanan bahkan setelahnya, burayot
menjadi kata yang paling banyak diucapkan dalam konteks serius dan candaan. Apa
yang terbayang ketika Anda mengucapkan atau mendengar kata burayot? Hanya Anda
dan Tuhan yang tahu.[]
Komentar
Posting Komentar