[cerpen] KUBAH
Usman Hermawan
Azan zuhur baru berlalu seperempat jam. Sebuah sedan
merah kinclong berhenti tepat di sisi kanan gerbang masjid Al Ma’mun. Dua
lelaki keluar dari kedua pintu depannya. Keduanya mengesankan seperti majikan
dan sopirnya. Si majikan berkaca mata minus, berjubah krem, bertampang Arab, kulitnya putih,
brewoknya tipisnya bersambung dari jambang kiri ke jambang kanan, ponsel dan
tas kecil tak lepas dari genggamannya. Sungguh, mengesankan bahwa dia bukan
orang susah. Usianya sekitar kepala lima, masih enerjik. Lain halnya dengan
sopirnya, tampak lebih sederhana dan penuh hormat terhadap majikannya, usianya
jauh lebih muda. Perannya seperti merangkap sebagai asisten dan pemandu. Keberadaan mereka mengundang perhatian warga
yang ada di situ, pun mobilnya yang terbilang bagus. Maklum, letak masjid di
dalam kampung, jarang ada orang bermobil mampir untuk sekadar menumpang
shalat. Mobil yang kerap parkir di
sekitar masjid biasanya hanya colt butut bak terbuka yang mengangkut
bahan material bangunan.
Usai shalat berjamaah, lelaki bertampang Arab itu
ditemani sopirnya melihat-lihat keadaan bangunan masjid yang belum selesai.
Beberapa jamaah yang menyadari hal itu bertanya-tanya dalam hati. Tak jelas
maksud laki-laki itu mengamati keadaan bangunan masjid. Namun tak ada yang
berani menanyakan.Mereka justru memilih pergi. Beberapa saat kemudian hanya
tinggal seseorang membereskan karpet dan menyapu lantai. Dialah Sadikun, sang
marbut merangkap muazin utama.
“Pak, pengurus masjidnya siapa?” tanya lelaki itu santun.
“Pak Haji Darwis, Pak.” Jawab Mang Sadikun.
“Saya mau bantu biar pembangunan masjid ini cepat
selesai.”
“Oh, mohon maaf Bapak ini siapa, kalau boleh tahu?.”
“Kenalkan, saya Samboji, Haji Samboji, dan ini rekan
saya Jukirman, orang Bandung.”
“Kalau Bapak mau bertemu Pak Haji Darwis mungkin bisa
saya hubungi.”
“Iya, saya minta tolong.”
Mang Sadikun mengambil ponselnya. Dia menelepon Haji
Darwis beberapa saat.
“Bisa?” tanya laki-laki itu ingin tahu.
“Masih di kantor, Pak. Maaf, Bapak bersedia menunggu sekitar setengah
jam?”
“Ya, saya tunggu.
Kantor Pak Haji di mana?”
“Di KUA, dekat kantor kecamatan, Pak.”
Setengah jam lebih beberapa menit tibalah Haji Darwis
dengan motor matik barunya yang belum dipasang plat nomor. Kadatangan Haji
Darwis disambut akrab lelaki itu. Dipanggilnya pula nama Haji Darwis. “Saya
Haji Samboji, dari perkampungan Arab di Jakarta!” Mereka berpelukan. Sadikun
terheran. Keduanya seperti telah saling kenal. Haji Darwis meminta Sadikun
menyediakan air minum dari warung dekat masjid. Tak berapa lama Sadikun kembali
dengan membawa teh botol dan sepiring kue kering.
“Sepertinya Bapak-Bapak sudah saling kenal?” tanya Sadikun
dengan wajah sumeringah dan berusaha hormat terhadap tamu.
“Sesama muslim kita ini kan bersaudara.”
“Betul.” Haji Darwis mengamini.
“Begini Pak Haji, masjid ini bagus sekali, alangkah
baiknya jika dibangun kubah. Saya mau menyumbang, berapa biaya yang dibutuhkan
untuk membangun kubah masjid ini?”
“Rencananya memang akan kami bangun, tetapi terkendala
dana, Pak. Wah, persisnya belum dikalkulasi, Pak. Tetapi maaf kalau boleh tahu,
mengapa Bapak mesti menyumbang ke masjid kami?”
“Pak Haji, berbuat baik dijalan Allah itu kan boleh di
mana saja. Saya mendapat petunjuk untuk mendermakan sebagian harta saya buat
masjid ini. Ini uang halal, Pak.”
“Maaf, saya tidak berprasangka buruk terhadap Bapak.”
“Saya ikhlas.”
“Pak Haji Samboji ini, bukan di sini saja
menyumbangkan dananya, Pak. Masjid Al Azom yang di pusat kota itu juga disumbangnya,”
sela sang sopir meyakinkan.
“O, ya ya ya. Alhamdulillah. Semoga Bapak mendapat
kelancaran rejeki dari Allah Subhanahu wataala.”
“Dua ratus juta rupiah cukup?”
Haji Darwis kaget. “Jumlah itu cukup besar. Mungkin
lebih dari cukup. Kalau tidak salah beberapa hari lalu insinyur Ahmad, arsitek
masjid ini, menyebut angka seratus tiga puluh juta rupiah.Kalau Bapak
menyumbang lebih, insyaallah akan kami gunakan untuk penyelesaian bagian yang
lainnya.”
“Terus terang, saat ini saya punya uang di bank empat
ratus juta rupiah. Rencananya separuhnya akan saya hibahkan untuk pembangunan
masjid ini, kalau panitia atau pengurus masjid di sini tidak keberatan.”
“O, tentu tidak, Pak. Dengan senang hati kami siap
menerima, insyaallah akan kami laksanakan dengan baik amanah Bapak.”
“Bapak ada rekening di bank swasta? Maksudnya,
sumbangan Bapak akan dimasukkan ke rekening saya? ”
“Betul. Saya tidak bawa uang cash.”
“Ada, tapi saya perlu tanya kawan-kawan pengurus yang
lain.”
Haji Darwis kembali meminta bantuan Sadikun untuk
memanggil pergurus lainnya. Beberapa saat Kemudian datanglah ustadz Sadunih
bendahara pembangunan masjid itu. “Pak Haji tidak usah repot-repot kalau mau
transfer pakai rekening Pak Haji saja. Orang mau menyumbang jangan dipersulit.”
Merasa mendapat dukungan, Haji Darwis bertambah siap
rekeningnya ditumpangi uang sumbangan dua ratus juta rupiah. Dia bayangkan
angka di buku rekeningnya akan berubah menjadi empat ratus dua juta rupiah.
Semula saldo tabungannya dua juta rupiah. Uang itu telah berbulan-bulan
mengendap di bank, tak sempat ditambahnya. Menyusul dua pekan lalu ditambahnya
dua ratus juta rupiah. Uang sejumlah itu diperolehnya dari hasil penjualan
tanah.
“Hari ini sudah sore, bank tutup. Besok kita ketemu di
bank saja, bagaimana Pak Haji Darwis?”
“Ya, setuju.”
“Bapak bisanya jam berapa?”
“Saya pagi ke kantor dulu. Bagaimana kalau bakda
dzuhur?”
“Oke!”
Kabar bahwa pembangunan kubah masjid akan dibiayai
oleh seorang berketurunan Arab begitu cepat sampai di telinga warga. Dua ratus
juta yang dijanjikan. Itu bukan jumlah yang sedikit. Perbincangan mengenai hal itu terjadi malam
harinya di teras masjid Al Ma’mun. Narasumbernya ustadz Sadikun. Bebagai
pertanyaan dilontarkan warga kepada ustadz Sadikun. Demi memuaskan keingintahuan
warga, tak ada pilihan lain bagi ustaz Sadikun kecuali menjawab semampunya. Terselesaikannya pembangunan masjid adalah
dambaan semua warga yang dalam beberapa tahun terakhir dimintai iuran. Demikian
pula dengan panitia. Mereka harus terus menghimpun energi untuk menggalang
dana.
***
Terbayang di benak Haji Darwis indahnya masjid Al
Ma’mun jika kubahnya selesai dibangun. Sisa uang sumbangan mungkin akan
digunakan untuk menyelesaikan interior masjid agar jamaah bertambah nyaman.
Saat idul fitri nanti diperkirakan pembangunan masjid Al Ma’mun yang
diketuainya telah rampung. Sungguh suatu keadaan yang menggembirakan. Inilah
jalan yang tak disangka-sangka, ada orang yang bersedia menyumbangkan hartanya
begitu banyak. Dua ratus juta! Tiba di
sebuah bank Haji Darwis disambut laki-laki
yang mengaku bernama Haji Samboji. Haji Samboji sendirian. Meskipun baru
bertemu kedua kali ini, Haji Samboji begitu familiar. Ditepuk-tepuknya pundak
Haji Darwis. Haji Darwis senang bukan main.
Haji Samboji mengeluarkan buku cek dari handbag-nya,
diperlihatkan kepada Haji Darwis. “Buku rekening Bapak dibawa, bisa saya
lihat?” pinta Haji Samboji seraya beradu tatap.
Sesaat Haji Darwis ragu, tetapi kemudian
memberikannya.
“Ini atas nama Bapak Haji Darwis yah?” Haji Samboji
membuka lembar demi lembar.”Nah, ini saldonya dua ratus juta sekian. Banyak
duit Pak Haji ini!” Haji Samboji menepuk-nepuk pundak Haji Darwis.
“Alhamdulillah.” Haji Darwis meluruskan kopiyahnya
yang miring tersentuh tangan Haji Samboji.
“Uang saya ada empat ratus juta rupiah, Pak Haji. Saya
memberikan sumbangan dua ratus juta rupiah ikhlas. Sisanya dua ratus juta untuk
cadangan saya. Itu uang hasil jual rumah di kawasan Kwitang.
“Kenapa dijual?”
“Sudah bosan,lagi pula tidak ada yang mengurus.”
“E, mohon maaf Pak Haji. Buku rekening saya tertinggal di mobil. Mobilnya dibawa sopir sedang isi
bensin. Biar lebih cepat. Ambil uangnya dari buku rekening Bapak saja yah.
Tolong. Saya minta tolong. Nanti saya ganti. Uang saya ada empat ratus juta.
Pakai uang Bapak dulu. Nanti saya ganti, benar.”
Haji Darwis mengiyakan. Lembar pengambilan diambilkan
Haji Samboji. Dibimbing Haji Samboji, Haji Darwis mengisinya, lengkap dengan
tanda tangan. Setelah diberikan oleh kasir, uang dua ratus juta rupiah dipegang
oleh Haji Samboji. Haji Samboji menelepon sopirnya.
“Pak Haji
tunggu di sini,” pinta Haji Samboji, “Saya ambil buku rekening di mobil.”
Tanpa berpikir Haji Darwis mengiyakan. Dengan cepat
Haji samboji keluar dari bank.
Detik demi detik terus berlalu. Para nasabah bank satu
demi satu menyelesaikan urusannya. Tak terasa, berjam-jam Haji Darwis menanti
Haji Samboji. Yang dinanti tak juga kembali. Tubuhnya menggigil kedinginan.
Rasa lapar pun menyergap lambungnya. Badannya lemas.
“Pak, maaf, bank mau tutup.” Seorang petugas satpam
mengingatkan Haji Darwis.
Tak ada nomor ponsel yang diberikan Haji Samboji kepadanya.
Haji Darwis mengadukan masalahnya kepada petugas satpam. “Wah, kalau begitu
Bapak ditipu itu,” tandas seorang petugas satpam. “Sebaiknya Bapak lapor saja
ke polisi!”
Menyadari
dirinya diperdaya, Haji Darwis lemas. Nafasnya sesak. Pandangannya berkunang-kunang. Dia nyaris pingsan. Kubah
masjid Al Ma’mun yang telah dibayangkannya mendadak mengempis, memeot, seperti
kerupuk tercelup air. Sesaat kemudian ponselnya
berdering. Ustadz Sadunih menelepon, menanyakan ikhwal sumbangan dari Haji
Samboji. “Saya tertipu Tadz! Tolong jemput saya di sini, di bank,” balas Haji
Darwis, menyusul seorang petugas satpam tadi memberinya segelas air minum.
Haji Darwis
duduk terkulai di teras bank seraya merenungkan kronologi pertemuannya dengan
Haji Samboji. Haji Samboji seperti tahu bahwa dirinya mempunyai rekening dengan
saldo dua ratus juta lebih, yang berarti juga seperti tahu sejak awal bahwa dirinya
belum lama ini menjual tanah. Langit yang mendung sejak tadi segera menurunkan
hujan dengan derasnya, menggenapi sungkawa Haji Darwis. Dambaannya merampungkan
pembangunan kubah masjid Al Ma’mun kandas, juga rencana memasukkan anaknya di
fakultas kedokteran kian kabur.[]
Komentar
Posting Komentar