Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2019

[cerpen] Guru Kecil

Gambar
Usman Hermawan WINARTI namaku. Gadis dengan seratus persen percaya diri, meski uang saku nyaris tak pernah surplus. Gaya sedikit metropolis. Ibu jawa, bapak Palembang. Tinggal di bilangan Kalideres. Ngontrak! Kalau pulang sekolah turun dari angkot persis di depan rumah bagus milik pengusaha garmen. Jujur, kalau berdasarkan penampilan aku layak dianggap sebagai   penghuni rumah itu. Padahal tempat tinggalku terselang tiga rumah di belakangnya. Rumah petak yang kutinggali sebetulnya agak tak layak jika di sebut sebagai rumah. Itu sebabnya tak sembarang teman boleh datang ke rumahku sekadar untuk jaga gengsi. Namun selagi tak ada masalah dengan rumah itu kami sekeluarga enjoy saja menikmatinya, toh itu bukan milik kami.   Letak sekolahku hanya beberapa puluh meter dari rumah sakit kusta yang konon pernah terbesar di Asia, Sintanala. Rumah sakit itu kini tidak hanya melayani pengobatan kusta. Riskanlah kalau aku bicara kusta. Mengenai sekolah saja, waktu kelas satu SPG...

[cerpen} Menanti Panggilan

Usman Hermawan Salim termenung. Pikirannya menerawang membayangkan hiruk-pikuk orang bertawaf,   seperti yang pernah dilihatnya di layar televisi. Para tamu Allah dari seluruh penjuru dunia dengan beragam perbedaan tumplek di baitullah,   mengelilingi kabah tak henti-hentinya .   Fantasinya tergoda ingin masuk dalam pusaran itu, pusaran orang-orang yang sukses menerabas berbagai kendala di tanah air masing-masing untuk kemudian   memenuhi panggilan gusti Allah. Cerita dari orang-orang yang baru pulang menunaikan ibadah haji turut menggenapi fantasinya perihal kagiatan di tanah suci. Hasratnya menggelora. Cita-cita tertinggi Salim adalah naik haji. Itu tertanam sejak usia belasan. Perasaan iri tak dapat ditepisnya ketika seorang   teman sebayanya   diberangkatkan naik haji oleh orang tuanya. Terlebih sepulang dari tanah suci   temannya itu bercerita banyak hal mengenai pengalamannya menunaikan rukun Islam kelima itu. Sayang, tak ada harapan...

[cerpen] Misteri Pawang Hujan

Gambar
Usman Hermawan Kawan, saya awali kisah ini dengan obrolan saya bersama Pak Madrikun. Itu terjadi setelah lebih dari   lima tahun kami bertetangga. Tembok rumahnya berbatasan persis dengan lahan kuburan milik keluarga mertua saya. Dari rumah petak yang saya tinggali jika ditarik garis lurus tak lebih dari dua ratus meter jaraknya. Orangnya enak, sangat familiar, tutur katanya kerap menyejukkan layaknya ucapan orang bijak berilmu. Pada dirinya saya melihat sosok orang dewasa yang bukan saja karena faktor usia. Sinergi hikmah ilmu dan    pengalaman menjadikannya sebagai pribadi yang matang dan bersahaja. Begitu kesan yang dapat saya tangkap. Orang mengenalnya sebagai pawang hujan. Sebagai orang yang pernah menjadi guru kiranya dia merasa sedikit ada kesamaan dengan saya, sehingga nyaman saja dia bercerita ihwal kepawangannya yang agak pribadi sekalipun. Karena ketuaannyalah sehingga terhadap saya dia menyebut dirinya bapak. Keahlian sekaligus pekerjaannya bukan...

[cerpen] Jejak Sang Ayah

Usman Hermawan Situ Cipondoh layaknya Situ Ciburuy dalam tembang Pasundan, laukna hese dipancing. Namun hal itu tak menyurutkan semangat sebagian para pemancing untuk terus membangun kesabaran. Ya kesabaran, seperti halnya aku. Aku bertekat mencari ayah, tak surut sebelum ketemu. Di antara para pemancing di sana tak kutemukan sosok ayah meski berhari-hari kucari. Konon ayah penggila pancing, menguras waktu berminggu-minggu, habiskan rokok berbungkus-bungkus, lupa pulang, sekalinya pulang melenggang dengan tangan hampa. Sayang tak kutemukan jejak ayah di situ. Di antara koyakan daun teratai pun tak ada jejaknya. Pada siulan angin tak kudapati getarnya. Hingga purnama berulang gontai langkahku. Kabar burung mengenai keberadaan ayah di situ berakhir dengan isapan jempol saja.   Mungkinkah ayah bermata satu, seperti halnya ibu. Konon satu mata ibu dititip Tuhan di sorga karena kelak ibu akan ke sana mengambilnya. Itu jawaban nenek ketika kutanya perihal ibu bermata sat...