[cerpen] Jejak Sang Ayah


Usman Hermawan

Situ Cipondoh layaknya Situ Ciburuy dalam tembang Pasundan, laukna hese dipancing. Namun hal itu tak menyurutkan semangat sebagian para pemancing untuk terus membangun kesabaran. Ya kesabaran, seperti halnya aku. Aku bertekat mencari ayah, tak surut sebelum ketemu. Di antara para pemancing di sana tak kutemukan sosok ayah meski berhari-hari kucari. Konon ayah penggila pancing, menguras waktu berminggu-minggu, habiskan rokok berbungkus-bungkus, lupa pulang, sekalinya pulang melenggang dengan tangan hampa. Sayang tak kutemukan jejak ayah di situ.
Di antara koyakan daun teratai pun tak ada jejaknya. Pada siulan angin tak kudapati getarnya. Hingga purnama berulang gontai langkahku. Kabar burung mengenai keberadaan ayah di situ berakhir dengan isapan jempol saja.  
Mungkinkah ayah bermata satu, seperti halnya ibu. Konon satu mata ibu dititip Tuhan di sorga karena kelak ibu akan ke sana mengambilnya. Itu jawaban nenek ketika kutanya perihal ibu bermata satu. Aku ingin ikut ibu ke surga, tapi aku juga ingin ayah menyertai. Aku  dan ibu beserta ayah akan ke sana, bersama. Sebelum purnama memudar kusam kuharap ayah telah kudapati. Namun keraguan kerap menyergap batinku.  Benarkah aku punya ayah?        Mustahil aku lahir ke dunia tanpa ayah yang terlebih dulu menghamili ibu. Aku yakin tuhan tidak memberikan keajaiban kepada ibu seperti yang dialami Maryam yang melahirkan Isa tanpa ayah. Aku yakin pula seburuk-buruknya ayah masih punya naluri yang bisa diajak bicara dalam hening sebelum gelisah kembali menyergap. Kendati aku perempuan, tidak mustahil aku mempunyai kemiripan dengan ayah walaupun sedikit. Semiskin-miskinnya ayah , kalau adanya begitu, kukira dia masih punya rejeki yang dicarinya bahkan yang tak disangka-sangkanya. Kalau  masih hidup,  aku yakin ayah masih tinggal di atas bumi nusantara ini. Bumi  yang  dulu jadi rebutan orang asing untuk diperas kekayaannya.  Tidak mustahil pula bahwa dia masih sudi menginjakkan kaki di tanah Benteng dan sekitarnya. 
Aku yakin ayah masih bisa menangis seperti tangis kebanyakan laki-laki yang terpisah belahan jiwanya. Siapa ayahku, ibu? Pertanyaan itu yang sering kusampaikan kepada ibu sejak aku menyadari bahwa setiap anak punya ayah. Aku menanti barangkali ayah akan datang suatu saat secara tidak terduga, bahkan di hari lebaran. Aku juga menginginkan ayahku pulang membawa oleh-oleh seperti ayah orang lain pulang dari pasar atau sehabis bepergian. Ibu bicaralah padaku, siapa ayahku? Pertanyaan itu pula yang membuat ibu bertambah tak bisa berbicara karena perih hatinya tambah terasa. Aku butuh ayah. Karena ayahkulah kelak yang mesti menghadiri pernikahanku. Atau, jika ibu tak menghendaki kehadiran ayah,  cukuplah aku tahu siapa ayahku. Jika tidak, aku mau cukuplah ayah mengakui aku sabagai anaknya, darah dagingnya yang lahir tanpa dosa dan tanpa minta dilahirkan. Ketidaksempurnaankah yang menjerumuskan ibu ke kubang nestapa, sehingga ibu tak pernah mau  ayah hadir mengisi hidupnya. Apakah memang ayah yang sengaja tak mau bertanggung jawab atas risiko yang ditanggung ibu.  Halimun menyelimuti tatap pandangku.
“Bu, katakan, siapa ayahku?” tanyaku dengan tangan berisyarat. “Katakan, Bu!” ulangku setengah memaksa. Ibu hanya berurai air mata ketika menyadari bahwa aku sangat mendambakan kehadiran ayah. Dialah ibuku. Ibu yang telah melahirkanku. Aku yakin itu. Karena begitulah getaran batin yang kurasakan. Sungguh!  Wajahnya yang lebih tua dari usianya karena banyak didera susah. Ibu bisu sejak lahir. Aku ingin ibu banyak bicara mengenai ayah yang aku rindukan sejak lama. Aku ingin bahasa yang lugas, bukan dengan isyarat suara dan isyarat anggota tubuh yang maknanya nyaris kabur. Ibuku seperti pohon bambu yang berderit  dengan daunnya berkesiah saat dipermainkan angin. Tak jelas betul maksud hatinya. Tak ada yang perlu kusesali atas keadaan ibu yang ditakdirkan  begitu. Aku hanya mendambakan ayah sebagai penopang hidup agar ibuku tak selamanya menanggung beban bagi kelangsungan hidupnya. Ibu sudah terlalu letih bekerja dari pagi hingga sore mengurusi cucian di rumah beberapa majikan.
“Ayah tampakkan wajahmu apapun wujudnya agar aku bisa mengenalmu. Akulah darah dagingmu yang terus didera rindu. Kunanti di mimpiku jika engkau tak sanggup membawa sosokmu dalam dunia kasat mata. Cukuplah aku tahu siapa ayahku. Aku ingin kepastian bahwa ayahku bangsa manusia yang beradab. Jika pun engkau terjerumus ke jurang nista  aku akan menolongmu semampuku.” Bisikku penuh harap menjelang malam saat menggiring ayam-ayam memasuki kandang kecilnya di bawah pohon jambu.
***
Kota Benteng tak begitu ramah untuk kutiduri. Dingin udara sehabis hujan terasa menggigit kulit.  Pertokoan baru beberapa yang tutup. Lalu lalang manusia dan deru kendaraan bermotor menjadi pertanda bahwa jantung kota akan  terus berdenyut hingga esok pagi dan seterusnya, seperti malam-malam yang lalu. Aku akan terus mencari ayah sampai ketemu. Kutinggalkan ibu. Kutitipkan ibu pada rumpun bambu yang melingkupi rumah kami di Dukuh Pinang. Biarkan angin bertandang membawa dendang lagu shalawat agar ibu tak cepat renta dihimpit sepi atau membeku iseng sendiri. Biarkan pula angin mengirim suara riang anak-anak mengaji di surau bambu ustadz Asnawi. Aku tahu irama burung kecruk dan burung hantu dibarengi paduan suara jangkrik bagi ibu adalah alun orkestra penghidup jiwanya menuju sunyi. Sunyi paripurna yang kelak abadi. Harapku, semoga ibu rasai damainya.
Aku ingin dalam pesta sederhana perkawinanku didampingi ayah dan ibu, selain hadirnya kedua orang tua Kang Hamdan, kekasihku,lelaki sederhana penjaga masjid di kampungnya. Tapi dimanakah ayah? Bagaimana pula wujud ayah? Samakah dengan yang sering kubayangkan? Ayah yang gagah, berkumis tebal, bergelang bahar, cincin bermata batu cempaka dengan tutur kata yang menyejukkan.  Ayah yang melindungiku ketika anjing menyalak, menggendongku ketika kecil, menghentikan tangisku dengan aneka jajanan. Ah, mungkinkah begitu? Tidak. Konon ayah lari ke belantara dunia membawa galau jiwa karena ulahnya sendiri.
Ketika kereta dari Jakarta tiba di stasiun Benteng, setiap gerbong memuntahkan isinya. Kuawasi setiap lekaki yang serupa ayah dalam mimpi atau dalam bayangan tempo hari. Telah kusiapkan syair lagu Peuyeum Bandung dalam iringan kecapi hati.  Aku tak mau mati dijerat rindu yang terlalu. Aku juga tak mau merasai getir masa lalu. Meski ayah telah menoreh aib, menikam nurani,  menebar petaka, dan membangun neraka bagi hidupnya juga bagi aku dan ibu. Aku akan terus mencari, dimana ayah. Kucari ayah di wajah setiap lelaki. Jangan pernah menyerah untuk suatu kebaikan, kata ustadz Asnawi. Itu menjadi energi bagiku untuk terus mencari ayah.
Sorot lampu kereta membelah gundukan bayangan pohon asem dan bagian belakang gedung pertokoan. Rel gemuruh, beberapa pedagang asongan masih meneriakkan dagangannya. Ratusan kaki menapaki peron kerontang berdebu, hingga penumpang terakhir. Pandanganku tertuju pada seorang lelaki. Ayah, kau kah itu? Lelaki renta berbaju-celan lusuh, rambut masai, wajah ramewos dan gulinyar bak gorengan. Ah, sebegitukah engkau? Mana kejantananmu yang konon dulu beringas menggagahi ibu. Engkaukah yang menjerumuskan ibu ke jurang derita? Beberapa saat aku membatin. Dia serupa ayah dalam penggambaran bahasa isyarat  ibu. Tapi aku tak yakin. Kubiarkan dia berlalu.
   Di bantaran Cisadane yang konon dibangun atas biaya pemerintah negeri bekas penjajah, tempat warga membuang kesah hanya kutemui sepi. Di sana pula kudapati diriku terdampar seolah kalah walau sebenarnya aku tak akan pernah menyerah. Yang kucari adalah ayah. Cisadane saat buram  airnya adalah cermin pecah nasib anak tanpa ayah seperti aku. Di badanku aku ingin berumah. Sebelum raga diundang tanah. Aku ingat waktu lalu, perayaan pecun di sini begitu meriah. Kupandangi setiap lelaki gagah, barangkali ayah. Mungkinkah ayah bermata sipit? Namun tak pernah ibu isyaratkan begitu.
Lain waktu kujajaki wajah para pengayuh becak di sekitar Sintanala. Beberapa di antaranya bekas penyandang kusta. Mungkinkah ayah bekas penyandang kusta? Tak ada wajah ayah seperti yang kubayangkan. Sebagian besar di antara mereka ternyata  kaum urban dengan kualitas hidup rendah. Wilayah edar becak yang dibatasi memperkecil peluang mereka menangguk rejeki. Sepertinya kecil harapan bagi mereka untuk hidup berkecukupan. Namun, ah, Tuhan maha pemberi rejeki.
“Mau jenguk pasien, Neng?” suara laki-laki tiba-tiba.
“Hh, tidak!” jawabku kaget.
“Cari siapa?”
“Seseorang.”
***
Kali Sabi ungu tua airnya. Kemarin cokelat. Entah apa lagi besoknya. Jika hujan deras tentu banjir. Pondok Arum di hilirnya sesekali terendam. Warganya belingsatan. Mobil, motor diungsikan. Saat tak musim  hujan, tenang warganya. Kucari ayah di situ.
“Neng, jalan buntu!” Suara itu tanpa rupa.
“Aku mencari ayah!” balasku.
“Siapa ayahmu?”
“Tak bernama!”
“Ciri-cirinya?”
“Bergelang bahar, cincin berbatu cempaka, berbadan kekar, kumis melingkar."
“Pekerjaannya?”
“Entah.”
“Penggaruk sampah, atau penjaga pintu air?”
“Entah!”
***
Tujuh purnama telah berlalu. Tiba di stadion Benteng, terasa sekujur tubuhku rentak. Gerimis membesar. Basah dan dingin tubuhku. Tak ada pertandingan tadi siang. Tak ada sisa keramaian.  Satu dua orang saja kudapati mencari perlindungan dari  guyuran hujan dalam temaram lampu merkuri. Arus lalulintas satu arah di luar pagar tak begitu ramai. Kumandang adzan isya beberapa saat berlalu. Malam kian jauh.
“Marni!” seseorang memanggilku di kejauhan. “Marni!” ulangnya lebih keras.
Tak kuacuhkan, tapi kemudian kuingat-ingat suara itu. Sepertinya aku mengenalnya. 
   “Marni!”  Dia mendekat. Dalam waktu singkat lelaki itu sudah berdiri persis di depanku.
   “Paman!” Spontan aku menyapanya.
   “Sudah ke mana-mana paman mencarimu.” Suaranya gemetar kedinginan.
Aku diam menahan gigil.
   “Apa yang kau cari? Kasihan ibumu.”
   “Aku mencari ayah.”
   “Kau tahu siapa ayahmu?”
   Aku geleng kepala.
   “Lelaki tua yang biasa berdiri di perlintasan kereta api yang di sana, itulah ayahmu. Kau pernah melihatnya? Sekarang entah dimana. Tak pernah lagi paman melihatnya.”
   Aku ingat lelaki itu. Rambutnya telah memutih. Wajahnya tirus. Pakaiannya compang- camping.  “Ya, aku mengenalnya, tapi benarkah?” Aku nyaris tak percaya, namun sesak juga dadaku.
“Demi Tuhan, Marni!”
Oh, lelaki tua itu tewas sebulan lalu, tertabrak kereta api saat beraktivitas. Jasadnya terseret puluhan meter, hancur berantakan. Sedangkan kereta terus melaju ke arah Jakarta tanpa hirau pada jerit ngeri orang-orang yang menyaksikannya. Teringat itu, pedih jiwa-ragaku.  
 “Kenapa tidak paman katakan sejak dulu?” sesalku.
“Ibumu melarangnya.”
Dadaku seperti dihantam petir. Tangisku tak tertahankan, pecah.  Oh, lelaki itu kerap kujumpai. Setiap kali kereta melintas, tangannya melambai menyetop setiap kendaraan yang lewat karena  kereta api akan melintas. Dia lelaki tak waras. Sejak kapan dia tak waras?  Mungkin ayah tengah diganjar akibat ulahnya di masa lalu. Ya Tuhan ampuni kesalahannya, desahku getir.  Aku nyaris semaput beberapa saat. Rebah di tanah.
“Pulanglah Marni, ibumu menanti!” seperti bisik ayah menyapa batinku. Aku bangkit perlahan.  Terduduk.
“Maafkan paman, Marni!”
Aku terdiam, mengumpulkan kesadaran yang terburai. Paman memberiku air minum. Beberapa saat kemudian paman  mengulurkan amplop kecil, lusuh. Namun dia tampak ragu. “Ini titipan Hamdan. Dia yang memberikannya langsung saat hendak mencarimu ke arah berlawanan dengan paman.”
Aku takut, tapi kemudian perlahan kubuka juga: Semuanya sudah  jelas Marni. Akang terima Marni apa adanya. Kedua orang tua akang telah setuju. Pulanglah. Akang akan segera melamarmu. Kita segera menikah.
“Benarkah ini dari Kang Hamdan, Paman?”
Paman mengangguk serius. Kabar gembira itu melegakan dadaku. Malam bergerak bagai nyanyian. Syahdu. Menggetarkan.[] 

Komentar

Postingan Populer