[cerpen] Guru Kecil




Usman Hermawan

WINARTI namaku. Gadis dengan seratus persen percaya diri, meski uang saku nyaris tak pernah surplus. Gaya sedikit metropolis. Ibu jawa, bapak Palembang. Tinggal di bilangan Kalideres. Ngontrak! Kalau pulang sekolah turun dari angkot persis di depan rumah bagus milik pengusaha garmen. Jujur, kalau berdasarkan penampilan aku layak dianggap sebagai  penghuni rumah itu. Padahal tempat tinggalku terselang tiga rumah di belakangnya. Rumah petak yang kutinggali sebetulnya agak tak layak jika di sebut sebagai rumah. Itu sebabnya tak sembarang teman boleh datang ke rumahku sekadar untuk jaga gengsi. Namun selagi tak ada masalah dengan rumah itu kami sekeluarga enjoy saja menikmatinya, toh itu bukan milik kami.
 Letak sekolahku hanya beberapa puluh meter dari rumah sakit kusta yang konon pernah terbesar di Asia, Sintanala. Rumah sakit itu kini tidak hanya melayani pengobatan kusta. Riskanlah kalau aku bicara kusta. Mengenai sekolah saja, waktu kelas satu SPG (Sekolah Pendidikan Guru, setara SMA) duduk di bangku paling kanan baris ketiga dari depan, di sampingku Suryani si mojang Bandung ber-pipi koneng dan panon hideung. Rambutku tergerai sebahu, lurus dan pirang. Tak ada siswa putri yang berjilbab. Peraturan  sekolah tidak mengijinkannya. Tak ada pula yang berani coba-coba membangkang. Jika nekat, urusannya bisa runyam. Karena peraturannya begitu, tampaknya guru agama pun tak bisa berkutik mengubah keadaan. Tidak terbersit pula dalam pikiranku untuk mengenakan jilbab. Maklumlah di keluarga pun aku tak mendapatkan support untuk itu.
Kulitku tergolong putih meskipun tak seputih kulit kebanyakan amoy di Karawaci dan Benteng Makasar, kawasan yang dihuni kebanyakan kaum pecinan di Tangerang. Tinggi dan berat badanku ideal. Rambut lurus pirang, hidung sedang, mancung tidak, pesek pun tidak. Wajah, okelah!  Jika skornya dirata-ratakan tak kurang dari angka tujuh.  Sungguh, itu seperti penilaian Sujai’, ketua kelasku, cowok paling ganteng dan agamis di kelas, bahkan mungkin juga di tingkat sekolah. Cowok berambut ikal yang satu ini dingin terhadap lawan jenis, sehingga sampai masa sekolah usai tak pernah aku melihat dia menggandeng cewek. Tak ada teman satu sekolah yang pernah menjadi pacarnya.  Lulu, teman kami sampai nangis-nangis karena cintanya tak terbalas.  Aku mengira, calon ustadz ini tak punya cukup nyali untuk menjalin kasih dengan seseorang yang ditaksirnya. Namun biarlah itu haknya. Kalau boleh jujur, akupun menyukainya. Jiwa kepemimpinan kental mewarnai karakternya. Aku tak punya nyali untuk jatuh cinta kepadanya, takut ditolak. Aku lebih memilih berteman baik saja.
Soal kecerdasan, aku termasuk dalam sepuluh besar,  jauh dari predikat siswa bebal tentunya. Aku persis peringkat sepuluh.  Itu di kelas satu. Di kelas dua dan tiga juga tak jauh dari kisaran peringkat sepuluh setiap semesternya. Dalam kegiatan ekskul wajib, yakni pramuka, di antara sepuluh anggota aku ditunjuk sebagai ketua sangga (regu). Aku selalu berada di garda terdepan dalam menghadapi medan di setiap kegiatan. Dengan begitu artinya aku dan teman-teman lainnya mempunyai hak dan peluang yang sama untuk meraih sukses masa depan yang diharapkan sekaligus juga hidup bernasib guru yang ketika itu masih identik dengan tokoh Oemar Bakri dalam lagu Iwan Fals. Oemar Bakri itu pegawai negeri, bagaimana pula dengan guru yang bukan pegawai? Predikat bergaji kecil yang erat dengan guru terkadang juga melemahkan semangatku untuk menjadi guru di masa depan. Toh sekalipun lulusan pendidikan guru, tidak wajib untuk menjadikan guru sebagai profesiku. Meskipun begitu, lulus dengan hasil maksimal tetap menjadi prioritasku.    
Berkat kepiawaian ibu Tarwati, wali kelas kami di kelas satu, kekeluargaan kelas terjalin harmonis. Perannya sebagai orang tua kedua sangat dirasakan semua warga kelas. Wejangan-wejangannya pun membekas. Kukira, dia mengajar dengan nalar dan mendidik dengan hati. Kesungguhannya membuahkan kecerdasan dan berbagai kearifan sikap kepada para siswanya yang kelak akan turut menentukan moral bangsa. Predikat calon guru menjadi bingkai perilaku kami. Banyak pantangan yang tidak boleh dilanggar oleh seorang calon guru. Calon guru harus jaga sikap, tidak boleh neko-neko. Masak calon guru begitu! Sungguh itu kata-kata yang membatasi kami untuk tidak menyimpang dari tata nilai yang mengharuskan kami untuk selalu belajar menata diri agar kelak menjadi pribadi ideal sebagai guru yang patut digugu dan ditiru. Konon siswa SPG relatif tidak merepotkan guru dibandingkan siswa SMA, STM apalagi. Dengan begitu orang bilang, siswa SPG jinak-jinak. Ada benarnya sih!
Meskipun bangunan sekolahnya seperti kandang burung, tapi kondisi di dalamnya cukup kondusif.  Selama tiga tahun banyak kenangan manis tertorehkan yang tak mungkin kuceritakan satu persatu di sini. Begitu kami lulus, 1989, SPG tidak lagi menerima siswa baru. Bendera SPG masih berkibar. Masih ada dua angkatan di bawah kami. SPG beralih fungsi jadi SMA. Jadi tahun penerimaan siswa baru SMA untuk pertama kali. Kabarnya guru-guru SPG sedikit stres menghadapi siswa SMA yang berbeda karakter dengan siswa SPG, lebih dinamis dan lebih banyak kasus.  
Masa itu informasi mengenai perguruan tinggi sangat minim. Nyaris tak ada brosur perguruan tinggi di sekolah. Lulusan SPG secara vertikal dapat melanjutkan ke perguruan tinggi ilmu keguruan. Sejumlah teman mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi negeri, namun sedikit yang lolos. Sebagian memilih perguruan tinggi swasta, sebagian yang lainnya, menjadi guru SD yang tersebar di seluruh kawasan Tangerang dan beberapa tahun kemudian lulus jadi PNS. Ada pula yang bekerja di luar jalur keguruan. Aku mendengar kabar, sekadar menyebut beberapa nama temanku, si Nurdin jadi penjahit, si Dudung karyawan  pabrik,  si Karman sopir perusahaan, si Marta petani anggrek, si Sukani satpam pelabuhan, dan ada pula beberapa teman yang tak jelas rimbanya disamping satu orang meninggal dunia lebih dulu.
Seiring waktu, kabar sukses teman-temanku lagi-lagi aku dapati dari Talisa yang rajin mencari tahu seputar kabar teman seangkatan.  Talisa sendiri lulus jadi PNS tahun 2010, setelah malang melintang menjadi guru honor menyusul menjadi guru bantu sekolah (GBS) satu program yang didanai pemerintah. Dia bertugas di SD di kawasan Cikokol.
Sejak lulus hingga kini aku tak percaya diri tampil di antara teman-teman seangkatan. Terutama saat reuni, tak ada sukses yang dapat kubanggakan membuat aku enggan untuk hadir. Tak ada jawaban yang melegakan jika mereka bertanya tentang kabarku. Dapat dipastikan kalaupun aku bercerita apa adanya, teman-temanku bisa menaruh iba. Sepertinya garis nasib yang membawaku pada keadaan sekarang ini. Aku bukan perempuan terhormat seperti teman-temanku yang menjadi guru. Iri juga aku melihat keberhasilan mereka. 
Lain mereka lain pula aku, dua bulan menjelang kelulusan aku mulai mengenal Mas Dar. Dia adalah sopir bus antarkota-antarprovinsi. Keroyalannya mampu melumerkan hatiku. Beberapa bulan setelah lulus SPG aku menikah. Dalam tiga bulan pertama aku merasakan kebahagian hidup bersama orang yang kucintai itu. Mas Dar sangat menyayangiku.
Bulan keempat perkawinan aku mulai hamil. Sejak usia kehamilan mancapai empat bulan, Mas Dar mulai jarang pulang selanjutnya bertambah jarang. Tak ada pertanyaan yang berhak aku sampaikan ketika Mas Dar pulang. Dia jadi mudah marah dengan kata-katanya yang tak senonoh. “Jangan sekali-sekali menyusul ke terminal. Kalau nekat, awas!” ancamnya suatu ketika dengan tangan terkepal. Kupatuhi kehendaknya.
***
Tangerang sehabis hujan. Awan kelabu. Udara sejuk. Di atas kali Cisadane dan taman Pintu Air ribuan burung walet membentuk pusaran laksana para tentara rakyat kembali dari medan juang merayakan kemenangan.   Anakku, Nasir, terperangah menyaksikan burung-burung itu. Dia seperti ingin terbang memasuki pusaran. Dia ingin berkawan, bermain hingga magrib tiba. Aku memahaminya bahwa dia rindu ayah. Ia ingin bermain dengan ayah, ayah yang seperti tak tahu jalan pulang, ayah yang seperti lupa akan anaknya yang mulai belajar berjalan. 
Angin dari utara menghembuskan bau anyir dari pesisir,  menyindir nasibku yang terusir dari hati lelaki yang menjadi belahan jiwa.   Mas Dar telah berubah, perubahan yang telah kukhawatirkan sejak mula, semasa pacaran. Aku melepas penat di taman pintu air sambil memandang ke jalan raya barangkali Mas Dar melintas di sana. Tempat ini sedikit berbeda dengan dulu ketika masa-masa SPG. Aku teringat Sarmin teman sekelasku yang sempat menjadi pacarku seumur jagung. Dia menyatakan cintanya di sini. Mengingat ekspresinya aku jadi ingin tertawa.  Wajahnya memerah, ucapannya seperti tercekat di tenggorokan, dia grogi luar biasa. Namun aku hargai keberanian dan keterus-terangannya. Kalau saja aku jadi hidup bersamanya mungkin tak seperti ini garis hidupku. Tapi sudahlah, tak ada gunanya sesali nasib.
“Eeeeeh, Winarti?” tiba-tiba suara perempuan mengejutkanku. Tak kusangka teryata dia adalah ibu Tarwati, guruku di SPG.
“Iii iya Bu,” jawabku tergagap.
“Ngapain di sini?”
“Main Bu, sambil cari suami.”
“Kemana suamimu? Kerja dimana?”
“Gak pulang-pulang. Dia sopir.”
“ Ini anakmu?”
“Iya.”
“Duuuuh, kasihan dibawa-bawa kesini. Di sini banyak debu nanti sakit!”
Kondisi anakku tak seperti kebanyakan anak lain. Badannya kurus. Itu pula yang mengundang iba ibu Tarwati.
“Jaga kondisinya, jangan sampai sakit. Maaf  ya ibu gak bisa bantu. Ni sekadar buat beli susu saja!” Ibu Tarwati menyisipkan sejumlah uang, sesaat kemudian berlalu.
Tak dapat kutampik pemberiannya. Jujur, saat itu aku tak punya cukup uang untuk kebutuhan sehari-hari.
***
Mas Dar seperti hilang ditelan bumi. Tak pernah ada kabar tentang keberadaannya hingga anakku mulai masuk SD. Belakangan baru kudapati kabar bahwa dia pindah ke Sumatera bersama istri dan anaknya. Tak jelas, apakah aku sebagai istri pertama atau kedua. Meski ketika akan menikahi aku dia mengaku masih perjaka. Kini sulit dipercaya.  
Semenjak dia tak pulang-pulang, hidupku sungsang balik. Hidup bersama anak balita  tanpa bantuan suami terasa berat. Aku sempat jadi kuli cuci sekadar untuk memenuhi kebutuhan perut. Belum lagi derita batin. Meski aku berusaha melupakannya, tapi tetap saja saat-saat tertentu kepikiran juga. Suami yang sempat menjadi belahan jiwa pergi menyisakan kekhawatiran. Meski begitu aku berusaha untuk tegar menghadapinya. Meski nyaris mustahil aku tak tinggal diam. Aku masih mencari-cari barangkali Mas Dar, dimana saja.
Hampir seminggu sekali aku mendatangi terminal Kalideres. Sekali waktu menjelang lebaran  udara sehabis hujan agak terasa sejuknya. Terminal disesaki bus. Deru mesin memekakkan telinga. Keluar masuk bus berlangsung lambat. Turun-naik penumpang  terjadi pada setiap bus. Mesti tak yakin akan kudapati Mas Dar kuarahkan pandangan pada sebuah bus antarkota- antarprovinsi.  Meskipun pada akhirnya Mas Dar tak kudapati sebagaimana biasa aku berharap ada belas kasihan dari beberapa teman Mas Dar sekadar uang jajan anakku.
“Win, Winarti! Kamu Winarti kan?” suara laki-laki itu mengejutkanku.
Aku menoleh,”Hai siapa?” sesaat aku jengah,”Sujai’!”
“Masih ingat aku?”
“Pastilaaaaaah!”
“Bagaimana kabarmu?”

“Ya begini ini!”

Pertemuanku dengan Sujai’ mengubah jalan hidupku kemudian. Aku ditawarinya mengajar di sekolah swasta yang dikelolanya. Anakku diterima  belajar dan tinggal di pondok pesantren keluarganya.  Aku kini guru, guru kecil dengan segenap keterbatasan. Aku banyak belajar dari profesi ini.  Aku  menemukan diriku dalam kebersahajaan hidup. Bahkan kemudian di usia kepala tiga aku berjodoh dengan ustadz Muzaki, lelaki duda yang ditinggal mati istrinya.[]

Komentar

Postingan Populer