[cerpen} Menanti Panggilan



Usman Hermawan

Salim termenung. Pikirannya menerawang membayangkan hiruk-pikuk orang bertawaf,  seperti yang pernah dilihatnya di layar televisi. Para tamu Allah dari seluruh penjuru dunia dengan beragam perbedaan tumplek di baitullah,  mengelilingi kabah tak henti-hentinya.  Fantasinya tergoda ingin masuk dalam pusaran itu, pusaran orang-orang yang sukses menerabas berbagai kendala di tanah air masing-masing untuk kemudian  memenuhi panggilan gusti Allah. Cerita dari orang-orang yang baru pulang menunaikan ibadah haji turut menggenapi fantasinya perihal kagiatan di tanah suci. Hasratnya menggelora.
Cita-cita tertinggi Salim adalah naik haji. Itu tertanam sejak usia belasan. Perasaan iri tak dapat ditepisnya ketika seorang  teman sebayanya  diberangkatkan naik haji oleh orang tuanya. Terlebih sepulang dari tanah suci  temannya itu bercerita banyak hal mengenai pengalamannya menunaikan rukun Islam kelima itu. Sayang, tak ada harapan bagi Salim untuk dapat dibiayai naik haji oleh orang tua yang keadaan ekonominya serba kekurangan juga tak ada harta berharga yang dapat diuangkan. Namun dia tetap berharap kelak dapat mencium hajar aswad meskipun secara matematik nyaris mustahil. Belum lagi jika tak mendapat panggilan dari gusti Allah, karena andai pun punya banyak uang bukan jaminan seseorang bisa berangkat ke tanah suci. Beberapa orang yang berpunya di lingkungannya  tidak juga menunaikan haji. Itu karena belum ada panggilan, hematnya. Itu sebabnya dia selalu berdoa agar gusti Allah  suatu saat memanggilnya dan agar dia sendiri diberikan kemampuan untuk mendengar dan menyambut  panggilan itu. Dia yakin banyak jalan menuju Mekah, seperti yang diugkapkan ustadz Madroji guru ngajinya dalam suatu taklim. Keinginannya menunaikan ibadah haji sempat meledak-ledak ketika usianya mendekati dua puluhan.   Itu setelah  secara kebetulan dia dimintai menemani ustadz Madroji bersilaturahim di rumah koleganya yang baru pulang menunaikan ibadah haji.   Keinginan tinggal keinginan, jalan belum terbuka. 
Kakek Salim sebenarnya dulu tergolong berada, tanahnya luas. Sampai-sampai untuk mengurusi kekayaanya  mengerahkan tujuh orang bujang, kuli. Namun setelah nenek Salim meninggal dunia  kakek Salim kerap kawin cerai dengan berbagai alasan. Uang yang terhamburkan diperolehnya dari hasil penjualan aset-asetnya. Sampai si kekek meninggal dunia nyaris tak ada harta yang diwariskan kepada ayah Salim yang merupakan anak semata wayangnya. Ayah Salim pun hidup dengan kondisi pas-pasan.  Dengan demikian tak ada harta turunan yang Salim terima dari ayahnya.  Hampir seperempat lahan kompleks perumahan yang jumlah rumahnya mencapai ratusan berdiri di atas lahan yang dulunya milik kakeknya.
Keinginan Salim untuk bisa naik haji tak pernah pupus. Kendati untuk mencapai kecukupan biayanya  seperti jauh panggang dari api. Meski begitu dia yakin, gusti Allah punya kuasa untuk memutuskan dirinya mendapat panggilan berhaji atau pun tidak. Hanya saja,  dia ingin menjadi orang yang layak mendapat panggilan. Sehingga ketika memenuhi panggilan itu dirinya tidak merasa malu kepada gusti Allah lantaran terlampau banyak dosa dan noda. Salim selalu berusaha menjaga shalatnya. Sebisa mungkin shalat lima waktu dikerjakannya di masjid meskipun kadang-kadang ibadah keluarganya di rumah agak terabaikan. 
Untuk memelihara niat dan semangatnya, setiap kali ada kesempatan  mengantar orang berangkat haji Salim  tak pernah absen. Sebisa mungkin dia dapat terangkut untuk dapat merasakan sensasi batiniah berada dekat kerumunan para calon jemaah haji yang akan berangkat ke tanah suci. Sudah belasan kali dia  datang ke asrama haji Pondok Gede untuk mengantar dan menjemput orang naik haji. Biasanya sepulang dari Pondok Gede Salim membeli oleh-oleh yang biasa dibeli orang-orang yang pulang berhaji seperti sorban, peci haji, kurma, kismis dan kacang Arab. Bahkan belakangan Salim telah memperoleh hibah kain ihram dan berlatih memakainya.
Belakangan  ini  calon jamaah haji tak lagi harus diantar-jemput ke Pondok Gede melainkan langsung ke terminal bandara. Setiap kali mengantar calon jamaah haji dia nyaris tak dapat menahan gejolak batinnya untuk meneriakkan kalimat talbiyah seakan dialah calon jamaah haji itu. Mulutnya terus bergumam, “Labaik allahuma labaik, labaikala syarikalaka labaik!” Begitu pula saat penjemputan. Dia rela mencarter mobil untuk menyertai keluarga penjemput. Dapat bersalaman dan berpelukan dengan jamaah haji yang baru tiba adalah target utamanya, dengan harapan beroleh berkahnya. Dia percaya bahwa doa orang yang baru pulang menunaikan haji mustajab. 
Meski tak ada yang menganjurkan, Salim kerap membaca kalimat talbiyah pada setiap wiridnya bakda shalat. Dia memendam kerinduan yang sangat untuk dapat berkunjung ke baitullah. “Ya Allah, ya Rabb, dengan kuasamu, perkenankan hamba menunaikan haji ke baitulah,” doanya.
Sayangnya,  sampai bertahun-tahun ikhtiar menabung  tak juga  sampai pada jumlah separuh ongkos naik haji pun. Uang yang terkumpul selalu saja terpakai untuk berbagai keperluan.
“Lim, ibadah haji hanya bagi yang mampu. Jangan memaksakan diri. Segala sesuatunya tak baik jika dipaksakan,” ujar Rasidi tetangga samping rumahnya.
“Kang, saya hanya berusaha, memaksimalkan ikhtiar. Kalau pada akhirnya gusti Allah berkehendak lain, itu lain soal,” tukas Salim.
“Ingat umur Lim. Kalau ke Mekah hanya untuk mengantarkan nyawa lantas pulang tinggal nama kasihan keluargamu. Kemana mereka harus ziarah kubur. Ke Ma’la di Mekah atau ke Baqi di Madinah? Berat di ongkos Lim. Tangerang – Mekah atau Madinah mesti naik pesawat. Belum lagi pengeluaran ini itu yang tak terhitung jumlahnya, saat di tanah air ataupun di sana.”
“Mati bisa di mana saja kang.”
“Aku cuma sedang berpikir waras. Kita orang dewasa, bisa berhitung.”
“Maksud akang berpikirku tidak waras?”
“Aku tidak mengatakan begitu.”
Salim tersinggung, selanjutnya dia memilih diam. Diamnya memendam kekesalan.
Kerja kerasnya berbisnis barang-barang kerajinan dari bambu di masa lalu menyisakan ratusan meter tanah sebagai harta kekayaannya. Meski tidak tergolong luas, tapi jika dilelang cukuplah untuk memenuhi pembayaran ongkos naik haji. Namun tak begitu mudah Salim melepas tanah yang diperolehnya dengan susah payah itu. Selain adanya rasa sayang juga karena belum mendapat harga penawaran yang cocok dari calon pembelinya. Letak tanahnya yang kurang strategis berakibat rendahnya harga jual.  
***
Di luar, gosip miring tentang sisi miring perbuatan Salim tak terelakkan.
“Apalah artinya shalat jungkir balik macam Salim,” celoteh Saibun.
“Bun, jangan sembarangan ngomong! Tidak ada yang salah pada shalat Salim. Sebagai makmum, shalatnya sama saja dengan yang lainnya. Ustadz Madroji juga tak pernah memberi teguran, karena memang tak ada yang menyimpang.” sergah Dulsomat tenang.
“Aku saksinya. Saksi korban!”
“Korban apa? Apa hubungannya dengan pelaksanaan shalat Salim?”
“Begini Kang, orang yang mengamalkan shalat mestinya tidak melakukan perbuatan yang munkar, yang zhalim, yang merugikan orang lain. Kalau tidak percaya, tanya sama si Bakri, Nek Enung, dan Marzuki. Aku dan mereka sama-sama dirugikan.”
“Makin tak jelas ini, apa maksudnya?”
“Kami adalah orang-orang pemilik tanah yang berbatasan dengan lahan milik Salim. Di mana pun lahan miliknya, jika memungkinkan maka patok batas tanah digesernya sehingga tanahnya menjadi lebih luas. Sejengkal saja patok di geser, berapa meter tanah orang dicurinya? Berapa rupiah juga untuk harga tanah sekarang?”
“Kenapa saudara tidak menentangnya?”
 “Siapa yang berani sama orang bengis macam dia. Kami memilih mengalah. Tidak mau ribut-ribut. Biarlah gusti Allah yang membalasnya. Itu sebabnya rencananya berangkat haji ngulur terus. Kalau dia berangkat haji bisa kesasar di sana! Kalau tidak, iris kupingku!”
“Jangan menyumpahi, doakanlah agar dia menyadari kekeliruannya. Doakan pula agar niatnya menunaikan haji kesampian.”
“Apa untungnya buatku?”
“Mendoakan dan memaafkan orang, insyaallah ada pahalanya.”
“Astagfirullahalazim!”
Saibun menyadari kekeliruannya bersikap arogan.
“Jika tidak mau protes, ikhlaskanlah. Itu lebih baik.”
***
Salim mengemasi atribut haji miliknya. Dia berharap namanya dicatat Allah sebagai calon tamu yag akan berkunjung ke baitullah.
“Assalamualaikum!”
Dari luar rumah salam seseorang mengejutkannya.
 “Waalaikumusalam!” balas Salim menghentak.
Salim keluar menghampirinya. Ternyata yang datang dua orang. “Kami petugas proyek pembangun menara penyedia layanan seluler. Saya Tanto dan ini rekan saya, Aleks. Tanah Bapak akan kami kontrak untuk sekian tahun ke depan?”
“Oh, benarkah?” Salim melongo.
“Bagaimana, Bapak setuju?”
Salim ragu, tak begitu paham maksud dari kedua tamunya.
“Begini Pak, di tanah Bapak akan kami bangun menara seperti yang di desa sebelah. Bapak kenal Haji Sajan? Nah seperti yang di tanah beliau itu?”
“Berapa harga kontraknya?”
“Standar Pak. Samalah dengan Haji Sajan itu.”
“Cukup buat naik haji?”
“Insyaallah cukup. Kalau Bapak setuju, pembayarannya dilaksanakan bulan depan, menyusul pembangunan menaranya. Bagaimana?”
Salim mengangguk tanda setuju. Wajahnya sumringah dengan senyum lebar. Fantasinya mendadak melesat ke pesawat pengangkut jamaah  calon haji yang akan mengantarkannya ke tanah suci. Baitullah seakan terbentang di depan mata. Matanya berbinar-binar. Gambar kabah di dinding rumahnya dipandangi dengan saksama.
Sebulan kemudian. Salim menandatangani surat perjanjian kontrak. Sejumlah uang masuk ke rekening tabungannya. Ditambah dengan saldo tabungannya yang lalu jumlahnya jauh melebihi ongkos naik haji.
“Saya setor sekarang Pak.” Salim menyerahkan buku tabungannya kepada petugas bank.
“Langsung lunas, Pak?” tanya petugas bank.
“Biar tenang, Pak.”
“Berarti Bapak bisa berangkat insyaallah empat tahun lagi.”
“Tidak bisa tahun ini, Pak?”
“Sekarang aturannya begitu, Pak.”
 Salim tak sabar ingin segera menginjakkan kaki di tanah suci. Dia ingin mimpinya segera terwujud. Labaik allahuma labaik! Kalimat talbiah terus  gemuruh di  dadanya.  Namun Salim abai, tak menyertakan istrinya untuk keberangkatannya nanti.[]



Komentar

Postingan Populer