[cerpen] Misteri Pawang Hujan



Usman Hermawan

Kawan, saya awali kisah ini dengan obrolan saya bersama Pak Madrikun. Itu terjadi setelah lebih dari  lima tahun kami bertetangga. Tembok rumahnya berbatasan persis dengan lahan kuburan milik keluarga mertua saya. Dari rumah petak yang saya tinggali jika ditarik garis lurus tak lebih dari dua ratus meter jaraknya. Orangnya enak, sangat familiar, tutur katanya kerap menyejukkan layaknya ucapan orang bijak berilmu. Pada dirinya saya melihat sosok orang dewasa yang bukan saja karena faktor usia. Sinergi hikmah ilmu dan   pengalaman menjadikannya sebagai pribadi yang matang dan bersahaja. Begitu kesan yang dapat saya tangkap. Orang mengenalnya sebagai pawang hujan.
Sebagai orang yang pernah menjadi guru kiranya dia merasa sedikit ada kesamaan dengan saya, sehingga nyaman saja dia bercerita ihwal kepawangannya yang agak pribadi sekalipun. Karena ketuaannyalah sehingga terhadap saya dia menyebut dirinya bapak. Keahlian sekaligus pekerjaannya bukan lagi sebagai hal yang harus ditutup-tutupi, kendati juga tak perlu dibejer beas, diungkap tuntas  di sembarang tempat dengan sembarang orang. Namun setiap kali orang membicarakan bahwa dia sebagai pawang hujan selalu diucapkan dengan setengah berbisik terkesan riskan.
Perkerjaannya itu seperti layaknya pekerjaan seorang pengobat spiritual yang biasanya tak mau disebut sebagai dukun. Dia bukan seorang kiyai yang ahli dalam ilmu agama, sehingga saya dan mungkin juga banyak orang cenderung beranggapan bahwa pekerjaannya sangat dekat bahkan identik dengan praktek syirik, menyekutukan Tuhan.
“Bagaimana dengan persepsi orang mengenai pekerjaan Bapak?” tanya saya.
“Hanya kepada gusti Allah Subhanahu wataala bapak meminta. Kalau orang mengatakan syirik, dimana letaknya. Kalau tidak salah hadisnya begini: Konon kami tidak melihat gumpalan awan antara kami dan sela-sela gunung Sal'a dan tidak nampak pula awan di atas rumah kami. Tiba-tiba datang gumpalan awan seperti perisai, maka tatkala gumpalan awan tersebut menyebar menutupi sebagian langit maka turunlah hujan. Demi Allah pada hari sabtu kami tidak melihat matahari, kemudian datang seorang pada hari jumat berikutnya untuk menemui Nabi. Tatkala itu Nabi sedang berkhutbah, orang itu mengadu kepada Nabi: Ya Rasululloh binasalah harta kami dan terputuslah jalan-jalan kami. Nabi bersabda:  Memohonlah kamu kepada Allah karena hanya Dialah yang dapat menolak hujan, kemudian Nabi mengangkat kedua tangannya sambil berdoa: Ya Allah jadikanlah hujan ini pindah pada sekitar kami jangan jadikan hujan ini untuk kami. Ya Allah pindahkanlah hujan ini di atas gunung, bukit yang lembab, lembah gunung atau tempat tumbuhnya pohon (hutan).’ Itu hadis riwayat Bukhari-Muslim kalau tidak salah. Bapak tidak bersekutu dengan jin, khadam, apalagi setan. Kalau Gusti Allah tidak berkenan dan menghendaki hujan, ya hujan turun saja. Bapak bisa apa? Bapak hanya sebatas memohon dan ikhtiar sesuai dengan ilmunya. Alhamdulillah, selama ini lancar-lancar saja.”
“Menjaga supaya setiap permintaan  tidak turun hujan dikabulkan?”
“Ya menjaga kedekatan dengan Allah, banyak dzikir.”
Pak Madrikun sendiri, dengan rendah hati menyebut aktivitasnya bukan sebagai pekerjaan. Kalau kebetulan saya mendapatinya baru pulang kerja pawang lalu saya tanya, dari mana? Jawabnya: habis main, biasa! Di KTP pun pekerjaannya bukan pawang hujan, melainkan wiraswasta.
“Kenapa harus wiraswasta?” tanya saya.
“Bapak tidak yakin pegawai kecamatan mau mengetiknya jika pekerjaan bapak sebagai pawang hujan. Biarlah, itu gak penting.Yang penting rejeki dan berkahnya, hehehe.”
 Kerja pawang dilakukannya tidak setiap hari melainkan jika ada pesanan saja. Apalagi jobnya terbatas hanya di lapangan terbuka, khususnya pada pertandingan golf. Satu spesialisasi yang orang bilang sebagai tempat basah karena imbalannya tergolong lumayan besar. Terbukti dari hasil pekerjaannya dia dapat menghidupi keluarganya. Bahkan dua anaknya berhasil jadi sarjana.
Pak Madrikun mulai mawang secara sungguh-sungguh sekitar usia dua puluh limaan, setelah mengundurkan diri dari tugasnya sebagai guru SD di bilangan Kalideres. Statusnya sebagai pegawai negeri sipil dilepasnya. Sebagai keputusan yang menurutnya tidak keliru. “Pekerjaan apapun punya konsekuensinya sendiri-sendiri,” ucapnya mantap. Pengunduran dirinya dipicu oleh sikap atasannya yang tidak berkenan di hatinya. Gara-gara terlambat tiba di tempat tugas  kepala sekolah yang menjadi atasannya itu memperingatkan dengan nada yang bukan saja menggurui tetapi juga menurutnya sombong dan menyakitkan. “Ini tempat kita bergantung hidup. Periuk nasi kita. Dari sini kita mendapat penghidupan. Mestinya saudara bersungguh-sungguh menjalankan tugas mulia ini. Kalau begini Saudara bisa dipecat. Mau jadi apa Saudara? Jadi gembel bisa!” ungkapnya menirukan.
“Sungguh keputusan yang berani, Pak.”
“Nekat saja. Ah, memangnya dia yang memberi rejeki buat bapak? Kayak orang tidak bertuhan saja. Di luar pekerjaan itu bapak masih bisa mencari nafkah, dalam hati bapak kesal ketika itu.” Sejenak dia membatin, ingatannya menerawang ke masa lalu. Diambilnya rokok kretek dari sakunya, lalu mengeluarkannya sebatang. Saya ditawarinya. “Terima kasih, tidak merokok,” tampik saya. Dipilin-pilinnya sebatang rokok itu, dimasukan ke mulut, dan disulutnya. Diisapnya dalam-dalam. “Hah….!” Keluarlah asap dari kedua lubang hidung dan mulutnya.  “Bapak masih muda ketika itu, emosian. Gede ambek. Dalam hati bapak bertekad, ‘gua akan buktikan bahwa gua mampu cari duit tanpa harus bergantung pada orang lain.’ Ilmu pawang saja bapak tekuni.  Hasilnya, Alhamdulillah, sampai sekarang ini.”
 “Kok bisa?” Saya sedikit menelisik.
Seperti tersedak, berat mulutnya untuk bicara. “Wah ceritanya panjang.” Dia kembali mengisap rokok.  Saya sabari sampai dia cerita. “Begini ringkasnya. bapak pernah punya guru, anggap begitulah, orangnya tua, tinggal di pulau kecil di Kepulauan Seribu. Dulu bapak suka mencari kerang laut, kadang-kadang memancing. Penjelajahan bapak dari pinggiran Jakarta sampai ke sebuah pulau kecil, dengan perahu kecil. Entah pulau apa namanya. Karena hujan, bapak berteduh di sebuah rumah, gubuklah. Penghuninya dia sendiri.  Bapak memanggilnya Engkong, belakangan diketahui Juman namanya. Si engkong ini hidup sendiri, entah di mana keluarganya. Dia bilang, ‘Segalanya harus dengan ilmunya, ilmu itu harus kita pelajari dengan sungguh-sungguh.’ Waktu itu bapak ditawari wiridan, tapi bapak bilang, apa perlunya wiridan macam itu. Katanya, ‘Jangan salah Dek, ini ilmu. Dengan ilmu ini mungkin saja Adek bisa membantu orang lain yang membutuhkan pertolongan suatu saat nanti. Ilmu ini sekaligus buat bekal hidup.’ Semula bapak ragu, tapi akhirnya bapak berbalik pikir, siapa tahu ada gunanya. Nah, selanjutnya bapak terima tawaran si Engkong, bahkan meminta supaya diajari. Itu sebelum Bapak jadi PNS.”
 “Manteranya bagaimana, Pak?” tanya  saya sedikit lancang.
“Ada deh, he he he... Bukan mantera, tapi rafalan doa. Kita cuma minta kepada Gusti Allah , agar di kawasan yang kita minta tidak diturunkan hujan. Sebatas hajat  kita saja.”
“Supaya dialihkan ke tempat lain maksudnya?”
“Tidak begitu. Bagaimana kalau hujan diturunkan di tempat saudara kita, lalu kebanjiran, kasihan kan? Soal hujan mau diturunkan di mana saja itu urusan Allah  Yang Kuasa. Kita hanya memohon agar di tempat yang kita butuhkan tidak diturunkan hujan sesuai dengan yang kita perlukan. Alhamdulillah, setiap permohonan bapak dikabulkan.”
“Ada ritual khusus sebelum mawang?”
“Tidak ada. Biasa saja. Banyak wirid dan doa saja setiap selesai shalat lima waktu. Shalat hajat, shalat tahajud, dan shalat sunah lainnya, perbanyak wirid lebih afdol. Tawakal kepada Allah. ”
 “Nah, bagaimana kalau ada dua job di tempat berbeda dalam waktu yang bersamaan?”
“Bisa suruh orang lain. Siapa saja bisa.”
“Betulkah?”
“Bapak pernah mendelegasikan tugas mawang kapada tukang ojek. Apa yang dia bisa, Alfatihah, qulhu, atau  yang lainnya. Mana saja enaknya. Alhamdulillah, tidak ada masalah.”
“Semudah itu?”
“Tanya tuh si Uding, tukang ojek, kalau gak percaya!”
Percakapan kami terpenggal karena istri saya memanggil-manggil minta dibantu menjemurkan pakaian. “Bantu sana, nanti ngambek repot. Bapak juga mau pergi, ada sedikit urusan,” ujar Pak Madrikun mengakhiri pembicaraannya dan langsung pamit.  
   ***
Dua hari menjelang idul fitri tahun lalu saat saya membersihkan kuburan ayah martua. Pak Mardikun Muncul dari pintu rumahnya. Saya berharap, semoga dia mendekat. Saya ingin melanjutkan pembicaraan mengenai perpawangan untuk melengkapi cerita ini.
“Sedang  tak ada job hari ini, Pak?”
“Prey.”
Dia hendak menawari saya rokok, tapi kemudian dia sadar bahwa saya tidak merokok. “Iyalah guru mah jangan merokok. Bapak juga sudah terlanjur saja, tapi tidak banyak sih, paling-paling setengah bungkus sehari. Bahkan kalau sedang di lapangan bapak tidak merokok sama sekali. Bapak merokok cuma iseng.”
“Kalau sedang tugas tidak boleh merokok, Pak?”
“Bukan begitu. Supaya bisa lebih konsentrasi saja.”
“Belakangan dapat job di mana,  Pak?”
“Ya… di beberapa lapangan golf.”
Cadynya cantik-cantik dong, Pak?”
“Biarkan sajalah. Itu mah punya orang lain. Cady Bapak mah di rumah, sudah peot, hehehe…” 
“Kalau boleh, ajak-ajak saya dong, Pak.”
“Mau lihat cady?  Nanti Dek Suman tergoda, bisa berabe!”
“Insyaallah, tidaklah. Cady yang di rumah lebih cantik daripada yang di lapangan hehehe.”
***
Malam Senin. Hape jadul saya berdering. Satu nomor asing masuk. Meskipun ragu akhirnya saya angkat juga. “Dek Suman, ini Bapak.” Tanpa menyebut namanya, saya langsung mengenali. “Bapak ada ‘syuting’ di Golf BSD besok pagi. Kalau mau ikut bakda subuh nyamper ke rumah bapak!”
“Maksud Bapak mawang? Maaf, sayang sekali yah Pak, saya giliran menjadi pembina upacara di sekolah. Selanjutnya, ada jam mengajar. Maaf lo Pak, barangkali lain waktu saja.”
“Ya, tidak apa-apa.”
Sejak itu saya tidak lagi berkomunikasi dan bertemu Pak Mardikun. Konon dalam seminggu, ketidakpulangannya dianggap hal bisa oleh keluarganya. Mungkin Pak Madrikun menginap di rumah koleganya. Ada kalanya dia diminta mawang di luar daerah sehingga tidak pulang dalam beberapa hari. Kali ini Pak Madrikun tidak bisa dihubungi keluarganya. Hapenya tidak aktif.  Kian lama kekhawatiran keluarganya kian memuncak, panik. Mereka mencari Pak Madrikun kemana-mana, siang-malam. Polisi sudah dilapori. Di rumahnya sempat digelar yassinan, dihadiri orang se-RT yang dimaksudkan agar Pak Madrikun pulang dengan selamat. Di majelis taklim pun kaum ibu diminta menghadiahkan surat alfatihah bagikeselamatan Pak Madrikun.  Tak ada ritual yang aneh-aneh agar Pak Madrikun pulang.
Sementara di gardu ronda spekulasi sejumlah warga berlontaran dengan argumentasi masing-masing.
“Paling juga beliau kepincut cady, kawin lagi, sekarang sedang menikmati bulan madu di atas awan!”
“Apa mungkin bagi orang setua Pak Madrikun, Kang?”
“Pak Madrikun manusia normal, sama seperti kita-kita!”
“Manusia normal tidak selalu begitu, tergantung orangnya kali!”
“Dunia pawang itu dunia warejit, dunia dukun, tidak mustahil  Pak Madrikun kalah tanding dengan sesama pawang!”
“Tapi bisa juga diperdaya oleh kliennya yang tidak puas, Kang!
“Kemungkinan Pak Madrikun diciduk mahluk luar angkasa, sejenis alien, juga bukan suatu keniscayaan.”
“Ah, saya mah tidak mengerti. ”
Kawan, hingga memasuki kemarau panjang berbulan-bulan keberadaan Pak Madrikun masih misterius. Bisnis aneka kripik yang dijalankan keluarganya jadi terganggu.[]

Komentar

Postingan Populer