[cerpen] MEY




Usman Hermawan

Karena diharuskan memakai nama Indonesia untuk pencantuman di ijazah, menjelang lulus sekolah dasar papanya mencarikan nama baru. Jadilah namanya Megawati, tanpa embel-embel. Nama aslinya  Ong Lian Mey, biasa dipanggil Mey. Kendati telah berganti nama, orang-orang dekat tetap saja memanggilnya dengan panggilan Mey. Ada yang mengira bahwa dia lahir bulan Mei, bukan, melainkan Maret, sehari setelah pohon-pohon di kebun papanya dieksekusi karena terkena proyek saluran udara tegangan tinggi alias sutet. Akibat adanya sutet itu pula kemudian rumahnya harus pindah ke lokasi yang lebih aman, tanpa mendapat biaya pemindahan.  
Selepas sekolah kejuruan Mey dipertemukan dengan seorang pemuda warga keturunan Tionghoa oleh kakak perempuannya. Pemuda itu dari keluarga berada, ayahnya pemilik toko kelontong di Pasar Anyar. Wajahnya lumayan tampan, bermata sipit, putih, atletis, tutur katanya santun.  Pemuda itu  juga punya toko onderdil sepeda motor di Karawaci. Kedua orang tua Mey setuju, tetapi mereka menyerahkan sepenuhnya kepada Mey. Namun Mey tak tertarik. Mey menolak. Kekecewaan tampak jelas di wajah mama-papanya. Mey tahu itu. “Maafkan Mey, mama!” tepis Mey lirih. Mey telah lebih dulu menjalin  cinta dengan Samsudin,  lelaki duda yang  meminatinya sejak Mey duduk di bangku sekolah dasar.  Kedua orang tuanya tahu hal itu. Kendati kedua orang tuanya melarang berhubungan dengan Samsudin, Mey tak bergeming.
***
Dengan maksud agar terhindar dari godaan Samsudin, Mey disembunyikan di rumah Ahun, kakak pertama, di kawasan Cisauk.  Mey dilarang berhubungan dengan Samsudin. Sejumlah aturan diterapkan Ahun terhadapnya. Keberadaan Mey di rumah Ahun menjadi tanggung jawab Ahun dan istrinya. Meski begitu, Ahun tak bisa dengan ketat mengawasi Mey.
Senin pagi. Ahun telah berangkat kerja, sedangkan istrinya mengantar anaknya sekolah. Tiba-tiba Mey dikejutkan oleh kedatangan Samsudin. Mey tak mengira, ternyata Samsudin tahu tempat persembunyiannya. Mey tak kuasa menampik kedatangan lelaki yang dirinduinya itu. Kegembiraan sekaligus perasaan waswas karena takut dimarahi sang kakak menyergap batin Mey seketika.
Ternyata betul, belum surut ketakjubannya atas kedatangan Samsudin yang terbilang nekat Mey dikejutkan oleh kepulangan Ahun yang juga di luar dugaannya.
“Mey!” teriak Ahun tiba-tiba.
Mey mendadak panas dingin. Samsudin gelagapan. Sesaat timbul ide Samsudin untuk bersembunyi. Dibantu Mey, Samsudin naik ke loteng.
“Mey!” teriak Ahun lagi.
“Iya Koh, sebentar!”
Setelah yakin bahwa Samsudin telah berada di loteng, Mey membukakan pintu untuk Ahun. “Kok, tumben Koh, gak jadi kerja?” tanya Mey dengan dada berdegup.
“Keretanya anjok di Parungpanjang. Naik angkot juga percuma, kesiangan.” Ahun membuka sepatu, tanpa memperhatikan ekspresi wajah Mey yang ketakutan.
Ahun urung berangkat kerja. Tempat kerjanya di kawasan Jakarta kota tak mudah dijangkau dengan kendaraan umum selain kereta api, terlampau jauh. Ahun memilih santai di rumah. Karena tak ada yang dikerjakan beberapa saat kemudian Ahun menghidupkan pesawat televisi. Sayang, gambarnya renyek, tak jelas dan bergoyang-goyang. Sinyalnya tak bagus. Dia yakin bahwa ada yang tak beres dengan antenanya yang dipasang di loteng.
Ahun mengambil tangga lipat. “Mey, tolong liatin tv-nya, aku betulkan antena.”
Mey menuruti permintaan Ahun. Mey tak tahu bahwa ternyata atenanya terpasang di loteng. Mengetahui Ahun naik ke loteng, Mey panik, ketakutan luar biasa. Tiba-tiba timbul inisiatif Mey untuk kabur.
“Mey, sudah bagus-belum?!  teriak Ahun keras.
“Belum!” suara Mey gemetar seraya mengambil tasnya. Ahun kembali berteriak. Mey tak peduli. Mey segera berlari sekuat tenaga meninggalkan rumah Ahun. Tak diketahuinya, entah apa yang terjadi antara Ahun dan Samsudin di loteng. Mey ngeri, tak berani membayangkannya. 
***
 Mey memilih tinggal menumpang di rumah temannya di bilangan Pasar Baru, hingga sepekan. Berbekal ijazah sekolah kejuruan, Mey diterima bekerja di sebuah pabrik garmen. Bersama teman sekerja Mey mengontrak sebuah kamar tak jauh dari tempatnya bekerja. Seperempat pendapatannya digunakan untuk membayar kontrakan. Tak dikabarkan keberadaannya kepada siapapun di keluargnya, juga kepada Samsudin yang tak jelas kebaradannya.  Hari-hari Mey dihabiskan dalam irama kerja. Rindu kepada Samsudin dibiarkannya terbenam di dasar hati. Mey cenderung menyembunyikan diri. Tiada terasa waktu berlalu bagi Mey. Setahun dalam persembunyian dirinya masih gamang dalam menentukan pilihan antara meninggalkan Samsudin samasekali atau menerimanya jika suatu saat Samsudin mengajaknya menikah. Niatan itu pernah diutarakan Samsudin kepadanya.
Suatu malam akhir pekan. Gerimis mengguyur kawasan Tangerang kota, termasuk kawasan padat penduduk tempat Mey tinggal. Bersama teman-temannya Mey bercengkrama menikmati malam panjang. Tiba-tiba Mey dikejutkan oleh kemunculan lelaki yang menggilainya, Samsudin. Rindu yang ngilu bertemu di malam Minggu. Sungguh, keduanya tak dapat menyembunyikan rasa itu. Kehadiran Samsudin meneguhkan keyakinan Mey bahwa lelaki berkulit hitam dan tak manis ini mungkin kelak akan menjadi jodohnya. Pertemuan berlangsung tanpa hambatan. Ketika Samsudin mengajaknya berumah tangga Mey tak dapat menolaknya meskipun dia tahu risikonya, yakni  dikeluarkan dari keluarga.  Meskipun Mey tahu bahwa kondisi ekonomi Samsudin tak menjanjikan hidup berkecukupan. Namun Mey berharap bahwa cinta akan membahagiakannya.
***
Samsudin adalah anak tunggal yang sudah jadi yatim sejak kecil. Ibunya merupakan anak angkat nenek Amsiah. Ayah samsudin tak jelas rimbanya. Sepeninggalan ibunya, Samsudin diasuh oleh nenek Amsiah, janda tua dengan  sedikit harta berupa rumah beserta lahan yang ditempati. Sebagian besar tetangga nenek Amsiah adalah keturunan dari almarhum kakak nenek Amsiah sendiri.
Menikahlah Mey dengan Samsudin di kediaman nenek Amsiah. Tokoh masyarakat setempat dimintakan sebagai wali hakimnya. Ijab-kabul dipimpin oleh penghulu kampung dan disaksikan oleh beberapa keluarga dekat. Hari itu pula dilangsungkan resepsi pernikahannya. Dari pihak keluarga Mey tak ada yang hadir meski Mey telah mengirimkan surat undangan. Acara berlangsung dengan sederhana. Atas nazar nenek Amsiah, acara resepsi diramaikan dengan saweran. Kedua mempelai dihujani dengan uang koin bercampur beras diiringan kidung oleh juru sawer. Laki-laki dan perempuan tua-muda berebut uang saweran. Kemeriahan itu menggenapi kebahagiaan kedua mempelai.   
***
Karena jarak rumah dan tempat kerja terlampau jauh, Mey memilih berhenti bekerja. Samsudin  bekerja sebagai sopir tembak. Jika sopir inti berhalangan, kelelahan atau sedang malas narik dialah yang menggantikannya. Mini bus yang dikemudikannya bisa berganti-ganti. Tidak  jarang Samsudin pulang tanpa hasil karena tak ada job.  Masa-masa awal perkawinan yang mereka lalui diliputi kebahagiaan meskipun hidup tak berkecukupan. Samsudin begitu menyayangi Mey. Nenek Amsiah pun memperlakukan Mey seperti anaknya sendiri. Dalam masa tiga bulan usia perkawinan mereka, Mey positif hamil. Kebahagiaan mulai menggenapi rumah tangga mereka, meski si jabang bayi belum terlahir. Samsudin begitu giat berusaha untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Terkadang pergi pagi pulang larut malam demi memaksimalkan pendapatan.
Suatu hari sepulang dari pangkalan minibus Samsudin membawa kabar tak sedap. “Ada berita duka Mey.” Samsudin tampak berat mengatakannya.
“Benarkah, ada yang meninggal dunia maksud Kakak, siapa?” Mey terperanjat.
Samsudin terdiam sesaat. “Si Mardi yang memberi tahu. Katanya sudah sebulan lalu,”  Samsudin geleng-geleng kepala, “terlambat.
“Maksudnya?”
“Papamu.”
“Yakin?”
Si Mardi yang menyetir mobil rombongan pengantar jenazah hingga ke tempat pemakaman di Tanah Gocap.”
Mey terpaku nyaris pingsan. Seketika Mey dirundung pilu. Air matanya leleh tak terbendung. Tangisnya perlahan pecah.   “Penyakit lever yang sejak lama diderita mungkin menjadi pengantar kematian papa. Namun mengapa tak ada yang mengabari aku.” Mey tak kuasa menahan tangis. Air matanya terus berderai.
Samsudin memeluknya erat. “Menangislah sepuasnya Mey. Lampiaskan segala dukamu biar dadamu tak jadi sesak. Aku turut berbela sungkawa.”
***
Orang-orang yang menjadi sandaran Mey satu-persatu meninggal dunia dalam kurun satu tahun. Nenek Amsiah meninggal dunia karena penyakit tuanya, sedangkan Samsudin meninggal dunia secara mendadak, tanpa diketahui penyakitnya.  Tinggallah Mey hidup berdua dengan putri semata wayangnya. Belum empat puluh hari kematan Samsudin,   seorang kemenakan almarhumah nenek Amsiah mengutarakan maksudnya. “Mey, rumah dan tanahnya akan kami ambil alih.”
Mey tak bicara. Air matanya kembali berderai. Mey menyadari betul statusnya di situ.
“Untuk sementara kamu boleh tinggal di sini dalam beberapa bulan,” tutup lelaki itu seraya meninggalkannya.
Mey dirundung pilu. Keberadaannya terancam. Tiba-tiba terbersit dalam pikirannya untuk kembali kepada keluarganya, kepada ibunya.  Namun pikirannya maju-mundur. Risau menggelayuti pikirannya berminggu-minggu. Suatu siang yang teduh Mey kedatangan tamu tak diundang. Marjuki. Lelaki itu dikenalnya baik. Dia bekerja sebagai montir di bengkel mobil  seberang jalan dari kediaman Mey.
“Kalau kau tak kebaratan, aku ingn melamarmu,” ungkap Marjuki penuh simpati, “Aku akan memintamu kepada ibumu.”
“Benarkah?” Mey terperanjat, “tapi...”
“Aku tahu banyak hal tentang dirimu.”
Tak ada alasan bagi Mey untuk menolaknya juga tak ada keraguan untuk menerimanya. Marjuki dikenalnya sebagai lelaki yang baik. Istrinya meninggal dunia dalam kecelakaan lalulintas dua tahun lalu. Hari itu juga Mey diajak Marjuki menemui ibu Mey di Pager Haur. Isi dada Mey berdebar-debar. Mey berharap dengan dinikahi Marjuki masa depan anak semata wayangnya ikut terselamatkan.[]


Komentar

Postingan Populer