[cerpen] Penomena Cobek
Usman Hermawan
Semenjak
‘lulus’ dari penjara Tanah Tinggi karena membunuh orang, dia jadi gila. Tak
jelas penyebab kegilaannya. Ada yang menduga akibat dia dikeroyok massa sebelum
akhirnya dipenjarakan. Ada pula yang mengira akibat perlakuan tidak manusiawi
saat dia di dalam penjara. Kini beberapa orang telah menjadi korban amuknya.
Keluarganya yang susah tak sanggup membawanya ke rumah sakit jiwa. Karena kerap
meresahkan warga, orang tuanya terpaksa memasungnya di sebuah gubuk di belakang
rumah. Meski dalam pasungan dia tak bisa tinggal diam. Amukan dan teriakannya
kerap mengundang orang untuk menyaksikannya. Sumpah serapah dan keinginan
menghajar ditujukan kepada setiap orang yang menontonnya. Kalau dia sedang mengamuk tak ada yang berani
mendekat. Ekspresi kegalakannya menakutkan setiap orang, seperti ingin
menghajar lawannya.
Dia
tak lagi punya kawan. Para preman pasar yang pernah menjadi anak buahnya tak
seorang yang menjenguknya, bahkan saat dia menjalani masa tahanan. Sejak itu
pula jabatannya sebagai kepala preman pasar digantikan oleh rivalnya. Dia
benar-benar mati kutu. Sebagai orang baru di penjara dia menjadi bulan-bulanan
seniornya. Ilmu kebalnya luntur. Konon ilmunya dicabut oleh gurunya akibat
perbuatannya sendiri yang menyalahgunakan ilmu itu.
Tak
ada kemajuan berarti selama dia dalam pasungan kecuali orang-orang di
sekitarnya sedikit merasa lebih aman dari ulahnya. Jika dia sedang tidur atau
diam saat terjaga tak ada orang yang berani mengusiknya. Dia kerap mengamuk
tanpa sebab yang jelas, terhadap siapa pun galak, termasuk ibu-bapaknya. Diberi
makanpun dia tetap menunjukkan kebencian dan tampak keinginannya untuk
menghajar. Wajahnya seperti harimau yang siap menerkam mangsanya. Tak jelas
penyebabnya.
Seperti
sebelumnya, orang-orang di sekitarnya tiba-tiba dikejutkan oleh teriakannya,
tapi kali ini lebih keras, histeris dan sadis. Dia kalap, mendadak beringas.
“Bunuh aku! Bunuh kamu! Aku bunuh kamu! Lepaskan! Anjing! Aduh ampuuuuuun!
Heeeiiiiit! Ini jurus Cimande! Ini jurus Cikalong! Sst sst sst! Mampus kau!”
Tinjunya menghunjam tanah. Punggung jarinya berdarah. Mulutnya berbusa. Liurnya
menetes. Tangannya menangkis-nangkis. Kayu pasungannya terangkat-angkat namun
tetap kokoh.
Orang-orang
tak ada yang berani mendekat, kecuali Kang Saef. Kang Saef menjaga jarak. “Assalamualaikum! Goler, tanding dengan
siapa?” tanya Kang Saef tenang dengan senyum bersahabat.
“Mau
selamat? Jangan mendekat!” bentak si gila.
“Ini
kawan, bukan musuh.”
“Tidak
bisa!”
“Musuh
tetap musuh. Jangan mendekat!”
“Aku
bermaksud baik.”
Selain
orang tuanya, hanya Kang Saef yang peduli terhadap nasib lelaki malang
itu. Dia kerap mendatangi si Goler. Kepedulian Kang Saef justru disalahartikan
oleh orang yang melihatnya.”Hehehe, orang gila bertambah satu!” celetuk seseorang.
Kang
Saef tak peduli. Dugaan bahwa Kang Saef bakal gila kian mengemuka. Pasalnya,
setiap jam makan Kang Saef justru makan di depan si gila. Tindakannya dinilai
tak wajar.
“Mau?”
tawar Kang Saef dengan posisi bersila.
“Hhh!”
Yang ditawari seperti merasa terhina. Tangannya mengepal seperti hendak
meninju. Dia mengancam Kang Saef. Tatapannya liar.
“Enak!”
Kang Saef terus makan dengan lahapnya, sampai tak tersisa.
Hal
serupa dilakukannya berkali-kali. Orang mengira kegilaan Kang Saef kian jadi.
Lagi-lagi Kang Saef tidak peduli.
***
“Goler!”
panggil Kang Saef lembut,”Sekarang waktunya makan. Makan yu!” Sepiring nasi
beserta lauknya diserahkan kepada Goler. Kang Saef makan di piring yang
lainnya.
“Hhh!”
Si gila marah. Dilemparnya piring itu.
Kang
Saef tetap makan.
***
“Goler,
makan yu!” tawar Kang Saef.
Si
gila geleng kepala. Dia mulai tak lagi menganggap Kang Saef sebagai lawan.
Pandangannya mulai bersahabat.
“Coba
dulu!” bujuk Kang Saef.
“Tidak
ah!
“Jangan
begitu sama teman!”
“Mau
minum!”
Kang
Saef segera mengambilkan air minum. Kini Kang Saef lebih berperan sebagai
pelayan. “Apa lagi?”
“Rokok.”
“Nah,
sekarang makan dulu, enak. Habis makan barulah merokok, oke?”
Saran Kang Saef diikuti. Nasi disuapnya satu
sendok. “Cukup.”
“Makan
harus banyak, biar kuat. Ayolah, habiskan. Nanti aku carikan rokok.”
“Bener?”
“Pasti!
Aku carikan rokok yah, habiskan dulu makannya.”
Kang
Saef pergi, beberapa saat kemudian kembali membawa sebatang rokok dengan
koreknya. Diserahkannya sebatang rokok itu. Goler memasukkan ke mulutnya. Kang
Saef menyulut korek. Mulut Goler menghisap-hisap. Asal pun mengepul. Dihisapnya
lebih dalam lagi. Puhhh! Asap lebih tebal mengepul dari congornya.
Demikianlah
pada awalnya. Kian hari keakraban keduanya kian membaik. Dengan telaten dan
penuh kesabaran Kang Saef melayani si gila. Keberingasannya pun perlahan sirna.
Goler mulai dapat diajak berkomunikasi dengan baik-baik.
Kang
Saef berinisiatif hendak membuka pasungannya. Hal itu disampaikannya kepada
orang tua si gila. Rencana Kang Saef
sempat didengar oleh beberapa orang tetangganya.
“He
Kang Saef, aku keberatan jika pasungan si Goler dibuka. Dia masih berbahaya,”
tentang seorang tetangganya.
“Siapa yang berani tanggung jika terjadi
apa-apa dengan keselamatan warga di sini?” timpal yang lain.
“Insyaallah
tidak. Saya jamin.” Kang Saef optimis.
Tidak
sulit bagi Kang Saef meyakinkan para tetangganya, terlebih orang tua Goler.
Mereka manut saja. Selanjutnya Goler tinggal di rumah Kang Saef, di kamar
tersendiri. Kang Saef yang melayani kebutuhannya. Goler jadi anggota keluarga Kang
Saef. Mulanya istri, anak dan ibu Kang Saef yang tinggal bersamanya keberatan.
Berkat pengertian yang diberikan Kang Saef semuanya dapat menerima kehadiran
Goler. “Asal tidak dibikin gara-gara, si Goler tidak berbahaya,” ujarnya
meyakinkan.
Meskipun
demikian rasa khawatir masih menghantui
perasaan anggota keluarganya. “Saef, ini bagaimana? Ibu mau lewat!” bisik Mak
Saenah, ibu Kang Saef.
Goler
yang belum sembuh dari gilanya tertidur di lantai, melintang di pintu,
menghalangi Mak Saenah yang hendak lewat. Mak Saenah gemetar ketakutan. Tak mungkin baginya membangunkan si gila agar
tidak tidur di situ. Tak ada pilihan kecuali melangkahinya. Begitu Mak Saenah
melangkahinya, cobek (ulekan) yang
dibawanya terjatuh dan menimpa kepala si gila dengan keras.”Bltuk!”
“Adawww!” Spontan si gila mengaduh dengan
kerasnya. Cobek batu itu persis jatuh di pelipisnya. Bocor. Darah segar keluar.
Si gila spontan terbangun, kesakitan.
“Aaw!”
Mak Saenah lari ketakutan sampat sepuluhan meter.
“Lo,
kok aku tidur di sini! Hah, rumah Kang Saef ! Mak Saenah! Siapa yang mengajakku
ke sini. Apa-apaan ini, kok aku ada di sini? Masyaallah, kepalaku berdarah!
Kang Saef, siapa yang melukai kepalaku?” Goler gelagapan. Dia sadar. Sungguh,
Goler sadar.
Mak
Saenah, juga Kang Saef yang berada di dekatnya terkejut, terheran-heran. Mareka
nyaris tak percaya. Seperti mimpi. Mereka jengah menyaksikan keajaiban itu.
“Obati
saja lukanya!” saran Kang Saef. Kang Saef pun belum yakin bahwa si gila sembuh.
“Goler, kau eling?” tanyanya penasaran.
“Eling
bagaimana?”
“Maksudku,
kamu tidak sedang sakit?”
“Sakit
apa, aku jadi tidak mengerti. Kang Saef kan lihat sendiri, kepalaku bocor
begini. Yang aku heran justru kenapa aku ada di sini? ”
Cobek
yang menimpa kepala si gila diamankan Mak Saenah.
“Kenapa
sebenarnya si Goler sampai terluka begitu, Mak?” tanya Kang Saef heran.
“Ah,
Emak tidak sengaja,” jawab Mak Saenah.
“Tidak
sengaja bagaimana?”
“Si
Goler tertimpa cobek yang Emak bawa. Sungguh emak tidak sengaja Saef. Emak
minta maaf.”
“Tidak
apa-apa Mak kalau begitu. Aku cuma heran, kenapa si Goler jadi sembuh hanya
karena tertimpa cobek .”
“Tidak
tahu. Emak juga heran, kenapa bisa begitu. Tapi bagus si Goler sembuh,
alhamdulillah.”
“Betul.
Apakah si Goler pura-pura gila?”
“Kamu
kan tahu si Goler gila betulan.”
“Sudahlah
Bu, kalau begitu yakinlah bukan karena cobek, tapi karena kehendak Gusti Allah.
Gunakanlah cobek ibu sebagaimana mestinya.”
Dalam
hati, Kang Saef masih dilanda keheranan. Walau bagaimanapun kesembuhan Goler dari sakit gila terjadi dengan cara
tertimpa cobek. Itu tidak masuk akal.
“Ah, orang melahirkan tanpa adanya kehamilan lebih dulu juga sempat terjadi di
beberapa tempat di negeri ini seperti diberitakan di salah satu TV swasta. Itu
tidak masuk akal. Kalau Gusti Allah menghendaki apa pun bisa terjadi,” bisik
Kang Saef meyakinkan hatinya sendiri.
***
Kesembuhan
Goler menjadi berita besar di kalangan warga. Hal ini juga menjadi bukti bahwa
Kang Saef-lah yang menyembuhkan lelaki gila itu. Setidaknya begitulah yang
warga kira. Isu bahwa Kang Saef mendapat wangsit menjalar ke telinga setiap
warga. Seluruh warga mempercayai hal itu. Kini Kang Saef dianggap orang sebagai
‘bukan orang sembarangan’. Beberapa di antaranya bahkan ada yang menyebutnya
dukun. Kang Saef menolak sebutan itu.
“Kang,
minta air, tolong doain, anak saya nangis terus semalaman. Tak jelas
penyakitnya!” pinta seorang ibu dengan anaknya digendongan.
“Maaf
ibu, aku tidak bisa apa-apa!” tampik Kang Saef
dengan santun.
“Cobalah
Kang! Ayolah! Akang suka merendah! Si
Goler yang segitu parahnya saja bisa disembuhkan.”
“Bu,
aku tidak bisa apa-apa, sungguh!”
“Jangan
begitulah Kang. Kasihan anak saya!”
Perempuan
itu terus memaksa. Kang Saef serba salah, tapi kemudian dicobanya juga.
Semula
satu orang, selanjutnya bertambah. Kang Saef tak dapat menampik permintaan
setiap pasien yang berdatangan meminta tamba. Apa pun penyakitnya Kang Saef
hanya memberinya air putih. Dia tidak tahu apakah setiap pasien yang meminum
air darinya sembuh atau tidak. Warga kadung percaya bahwa Kang Saef dapat
mengobati orang sakit.
“Kang,
minta air lagi. Penyakitku belum sembuh.” Seorang perempuan datang terhuyung.
Saef
merasa terbebani. Dia kesulitan mengubah anggapan warga yang mempercayai bahwa
dirinya mampu mengobati orang sakit. “Maaf ibu, sebenarnya aku tak mempunyai
keahlian apa-apa.”
“Ah,
biasa, orang pintar suka merendah.”
“Masyaallah!”
desah Kang Saef kesal. Lagi-lagi dia tak dapat mengelak. Terpaksa dia memenuhi
permintaan tamunya. Rasa bersalah memberati batinnya. Tak ayal usai kepulangan perempuan
itu satu demi satu calon pasien berdatangan. Kang Saef tak kuasa menghalaunya.
***
“Saef,
cobek emak dikemanakan? Emak mau pakai.” Mak Saenah mencari cobeknya.
“Maaf Mak
aku kubur, supaya tidak menimbulkan korban lagi. Nanti aku ganti dengan
yang baru.” Saef khawatir kalau-kalau cobek yang pernah menimpa si Goler jadi
rebutan dan dikeramatkan orang.
Si
Goler telah sembuh dari gilanya. Kini dia dengan sadar bersedia mengabdi bagi
keluarga Kang Saef. “Atas kerjamu di sini, terimalah imbalan sekadarnya dari
kami,” ujar Kang Saef seraya memberinya sejumlah uang.
“Kang,
aku cuma mengabdi bagi keluarga Akang, karena Akang telah menyembuhkan aku dari
sakit jiwa. Tolong hargai niat baikku. Jangan pernah Akang membayar aku. Sekali
lagi, aku cuma mau mengabdi. Aku ikhlas, lillahitaala, Kang!” ungkap Goler
tulus.
Bertambah
lagi beban Kang Saef. Rasa bersalah kian mendera batinnya. Katerusterangannya
tak ada yang mempercayai. Kian hari dia dikultuskan. Dia merasa membohongi para
pasiennya. Para pasiennya tak tahu bahwa Kang Saef sendiri sejatinya tak
memiliki kemampuan yang mereka kirakan. Karenanya Kang Saef berencana untuk
pindah rumah ke tempat yang jauh. Namun
hal itu tidak mudah baginya, perlu waktu.[]
BalasHapusSungguh pintar sang penulis untuk membuat cerita pendek yg ceritanya diluar kepala
Setuju
Hapus