[CERPEN] PERNAH MERANTAU
Usman Hermawan
Kampungnya kini dijuluki sebagai kampung
majelis taklim. Dengan percaya diri seorang ketua RT membubuhkan tulisan di
gapura masuk kampungnya: Selamat Datang
di Kampung Majelis Taklim. Dari malam Senin hingga malam Sabtu berlangsung pengajian
majelis taklim kaum laki-laki. Malam Jumat pengajian berlangsung di masjid jami, malam-malam lainnya bergiliran,
di musala dan rumah warga yang ada di
empat wilayah RT. Pengajian kaum perempuan berlangsung setiap Kamis pagi di
majelis taklim khusus. Suaranya tersiar nyaring
melalui pengeras suara, terdengar hingga ke kampung tetangga.
Malam Minggu dimanfaatkan sejumlah warga
untuk kongko-kongko sambil ngopi di
balai warga. Sebagian dari mereka aktif di komunitas kongko. Mereka bebas
bicara ngalor-ngidul pada setiap
acara kongko. Sepintas kegiatan mereka terkesan tidak penting, bahkan ada yang
mengklaim sebagai gibah dan dihukumi
haram. Namun dari sekian majelis taklim yang ada bermula dari gagasan yang
timbul saat acara kongko berlangsung. Kegiatan upacara 17-an besar-besaran tingkat
kampung pun pernah terlaksana berkat gagasan dan prakarsa komunitas ini.
Belakangan komunitas ini juga mengagas berdirinya badan pembinaan dan
penyantunan anak-anak yatim. Badan ini kemudian berhasil menyantuni puluhan
anak yatim setiap bulannya. Dananya dari
berbagai sumber, termasuk dari pasar yang masih berada di wilayah kampung
mereka. Mereka bergerak dengan menyediakan sejumlah kotak amal di
warung-warung, mendekati warga yang berpunya agar bersedekah, mengajukan permintaan
kepada rekan-rekan sepekerjaan, dan melakukan publikasi di media sosial.
Dia belum terlalu tua. Untuk ikut serta dalam
aktivitas warga sesunguhnya dia masih mampu. Tenaganya juga masih kuat. Namun dia
memilih pribadi yang cenderung tertutup, tidak peduli dengan urusan lingkungan.
Tak jarang para tetangganya mengajak dia untuk menghadiri pengajian, tapi dia
menolak. Terhadap suara ustaz di pengeras suara yang seolah mengungkit-ungkit
kesalahannya di masa lalu pengang juga telinganya.
Belakangan kesibukannya mengurusi toko
kelontongnya di pasar kecamatan terhenti. Usahanya itu bangkrut. Dia tertipu.
Dananya banyak mengalir kepada seseorang untuk biaya kerjasama penambangan
emas ilegal di kawasan Banten Selatan. Setitik
pun dia belum pernah menerima emas yang dijanjikan. Tak jelas, apakah uangnya
digunakan untuk biaya operasional perburuan emas atau sengaja digelapkan oleh
kenalannya itu.
“Aku
bakar sekalian musalanya nanti!” Dia kalut, emosinya
meletup. Suara ustaz berjuluk UPT alisa Ustaz Peci Tinggi di majelis taklim
dirasakannya sangat mengganggu. Dia juga kerap mengutuk-ngutuk orang yang menipunya.
Dia nyaris stres. Berhari-hari dia tidak keluar rumah. Istrinya diminta agar
tidak mengganggunya. Nun jauh di lubuk hatinya seolah ada suara yang menggugah
kesaradannya, sehingga timbullah keinginan untuk menebus kesalahannya di masa
lalu.
Dalam awal tahun 1980 dia bersama
sepuluh rekannya merantau ke Bandar Lampung. Merantau bukan menjadi kebiasan
warga kampungnya, sehingga mereka dianggap sebagai orang-orang nekad walaupun
sebenarnya berjarak tidak terlampau jauh dibandingkan dengan menyeberang ke
pulau Kalimantan misalnya, ataupun jadi TKI ke Saudi. Di Bandar Lampung mereka
mendapat pekerjaan di toko-toko dengan beragam jenis pekerjaan, dari bagian
panggul barang, bagian keamanan sampai pelayan toko. Seiring waktu, berkat
kinerjanya yang baik dia dipercaya untuk menjemput tagihan kepada para
pelanggan. Tak jarang uang hasil tagihan memenuhi tas yang dibawanya. Namun
karena kemalaman dan toko telah tutup dia kerap membawa uang hasil tagihan ke
rumah kontrakannya. Dia tinggal bersama sejumlah rekannya, sesama
perantau. Demi keamanan, tas kembung
berisi gepokan uang digunakannya sebagai
bantal tidur.
“Isinya duit semua Sar?” Suminta,
seorang temannya, penasaran.
Segera dia mengeluarkannya dan
memperlihatkannya kepada rekannya itu. Semuanya uang kertas beragam nominal.
Matanya terbelalak. “Aboooohhhhh! Itu duit asli semua? ”
“Kalau duit palsu, gambar orangnya
cemberut kayak mukamu!” Segera dia
memasukkannya kembali ke dalam tas dan memulai tidur.
“Ajak aku mimpi indah, Sar!”
Dia tidak menyahut.
***
Minggu pagi, karena malamnya begadang
dan jam kerjanya pun agak siang, dia bangun pukul tujuh.
“Tidur berbantal duit mimpinya apa Sar?”
cetus seorang teman lainnya.
“Mimpi jadi orang kaya dong!” guraunya.
“Sekali-sekali aku nyobain dong, biar jadi orang kaya betulan!”
“Memangnya kalau jadi orang kaya kamu
mau apa?”
“Jelas mau kawin lagi dong!”
“Itu si Saonah mau dikemanakan?”
“Apa salahnya punya istri lebih dari
satu, kayak orang-orang, Sar!”
“Jelas salah Dul, tidak sesuai dengan garis
tangan. Garis tanganmu kacau. Kalau kamu kawin lagi bisa jatuh miskin.
Maksudku, jauh lebih miskin dari keadaan sekarang.”
“Ah, sok tahu kamu Sar! Tapi apa
urusanmu, kemiskinan adalah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu orang miskin
harus dilestarikan.”
“Ah,
ngaco kamu!”
***
Malam,
7 Maret 1986. Dia tidak pulang ke rumah kontrakan. Tak seorang pun
rekan-rekannya yang tahu. Setelah diperiksa ternyata barang-barang berharga miliknya
pun tak ada. Informasi bahwa dia melarikan uang majikan segera diketahui
rekan-rekannya sehari kemudian.
Berselang sepekan dua polisi datang mencarinya. Tak seorang pun rekannya
yang mengaku tahu ihwal keberadaannya.
Seperti yang mereka duga, ternyata dia
pulang ke kampungnya, Kampung Gurubale. Kendati polisi berhasil menemukan
Kampung Gurubale, tapi gagal menemukan jejaknya. Setelah situasi dianggap aman,
gepokan duit milik majikan digunakannya untuk membeli rumah yang kemudian ditempati
bersama istri dan seorang anaknya. Menyusul beberapa hari kemudian dia membeli
kios dan berjualan barang kelontong di Pasar Malabere, berjarak sekitar empat
kilometer ke utara dari kampungnya. Kabar
kesuksesannya merantau menyebar di seantero kampung. Gelang emas yang
melilit di kaki istrinya menjadi buah bibir kaum perempuan di majelis taklim
ketika itu.
Beberapa tahun kemudian teman-temannya
yang juga kembali ke kampung tak seorang pun yang bercerita ihwal kasusnya.
Mereka tutup mulut dan tetap menjaga rahasia, sehingga tak seorang pun warga
kampungnya yang tahu. Sekalipun ada yang bercerita tentang kehidupan di rantau,
mereka hanya bercerita tentang hal yang baik-baik saja. Kalau ada yang
bertanya, mengapa mereka tak lagi
merantau? Mereka menjawab, karena mereka
selalu rindu kampung halaman, suatu alasan yang mudah diterima akal sehat
karena merantau bukan budaya warga Kampung Gurubale.
***
“Apa
yang bisa aku serahkan kepada Koh Shun Lie demi menebus kesalahanku.”
Batinnya merana. Waktu telah berlalu, lebih dari tiga puluh tahun. Dia baru
didera rasa bersalah yang luar biasa. Inilah puncak penyesalannya, penyesalan
yang seakan tidak tepat waktu. Dia ingin meminta maaf dan mengembalikan uang
majikannya. Jika diukur dengan nilai uang sekarang jumlahnya meningkat puluhan
kali lipat. Dia menggelapkan uang majikannya ketika harga emas 24 karat per
gramnya tujuh ribu lima ratus rupiah. Sekarang harga emasnya lebih dari lima
ratus ribu per gram, suatu jumlah yang tak mungkin dia dapat mencapainya. Namun
tekadnya bulat, dia akan mencari mantan majikannya, sampai titik darah
penghabisan. Andai pun mantan majikan telah tiada dia akan mencari ahli
warisnya untuk menyerakhan uang pengganti sebanyak yang dia punya. Jumlahnya
tentu masih jauh dari jumlah yang sepantasnya. Andaipun nyawa yang harus dia
bayarkan, dia siap, demi menebus kesalahan di masa lalunya.
***
Sebuah insiden mengagetkan, Avanza putih
tercebur di parit dengan ketinggian air sekitar dua meter, di depan ruko, di
kawasan perumahan elite Galing Semprong. Menurut saksi mata, mobil baru saja
selesai ganti oli dan hendak parkir, tapi kemudian meluncur mundur tak
terkendali dan menerabas trotoar hingga melompat ke parit sedalam hampir dua
meter. Karena masih musim hujan airnya cukup dalam, sehingga mobil hanya tampak
bagian atasnya. Orang-orang yang berada di sekitar tempat kejadian segera
melakukan pertolongan. Namun karena sulitnya medan tiga korban yang berada di
dalamnya tak dapat segera diselamatkan. Korbannya baru terangkat setelah hampir
satu jam kemudian dan segera dilarikan ke rumah sakit terdekat. Dialah satu di
antara tiga korban itu. Menyusul alat berat mengangkat mobil naas tersebut. Kasusnya
kemudian ditangani oleh pihak Polsek setempat.
Sebuah ambulans tiba di rumahnya bakda
asar. Isak tangis istri dan anaknya nyaris tak terbendung. Beberapa temannya
yang pernah sama-sama merantau pun hadir. Mereka tak banyak bicara, kecuali
mengucapkan bela sungkawa yang mendalam dan semoga keluarga yang ditinggalkan diberikan
ketabahan. Salat jenazah dilaksanakan di musala terdekat, diimami oleh Ustaz
Peci Tinggi. Jamaahnya sebagian besar adalah mereka yang sering hadir di
majelis taklim.
“Para jamaah, apakah almarhum orang yang
baik?” tanya sang imam sebelum mensalati.
“Baik!” jawab sebagian jamaah serempak.
Sementara sejumlah hadirin lainnya seperti mengamini walau tak bersuara.
Seperti biasa pertanyaan itu diulang
sampai tiga kali. Tampaknya pertanyaan itu dimaksudkan sebagai doa, semoga
alharnum sebagai orang baik dan tutup usia dengan khusnul khatimah.[]
Komentar
Posting Komentar