[CERPEN] ISTRI KESEPULUH


Ilustrasi: perahu penyeberangan Kalipasir-Karawaci


Usman Hermawan
Sang pemecah rekor. Julukan itu yang sempat tercetus dari mulut warga kampung Turi dengan nada nyinyir. Dengan polos yang lain menyebutnya tukang kawin. Ada pula yang menyebut bahwa dia play boy cap kambing. Predikat yang tak menyejukkan hati itu tak bisa dibendung. Pasalnya, dialah satu-satunya lelaki di kampungnya yang kerap kawin-cerai. Namun yang perlu dicatat, bahwa setiap perceraiannya bukan karena dia bermain serong atau menyakiti istri. Nyaris tak ada kesalahan berarti pada sikap lakunya, sebagaimana ditegaskannya dalam berbagai kesempatan. Katanya, dia tak sanggup melawan takdir. Walaupun sebenarnya dia tidak tahu persis apakah setiap perceraiannya sebagai takdir.  
Malam menggiringnya pada kesendirian. Dia seperti terperangkap dalam sepi. Keadaan itu disiasatinya dengan berdzikir dan mengaji. Rasa sepinya sedikit terobati, menyusul sebatang rokok dihisapnya dengan diselingi seruputan setangkup kopi. Sayup irama musik dangdut pada acara hajatan warga seperti memanggil-manggil agar dia datang menghibur diri.  Namun dia tetap tergeming. Disadarinya betul, bukan keramaian dan hiburan macam itu yang dia butuhkan.  Sejatinya dia butuh teman hidup. Istri. Istri yang bisa melayani setiap kebutuhan lahir batinnya jamaknya orang lain. Tanpa kehadiraan istri berlama-lama tak tahan juga dia. Batinnya merana.
Padahal tuhan telah memberinya istri. Berkali-kali. Kalau sekarang harus kembali meminta, ada perasaan malu di hatinya. Perceraian demi perceraian cukup menggerus lahir batinnya. Prakira Ki Drajat yang diharapkannya tepat ternyata meleset. Dikatakan Ki Drajat bahwa jodoh langgengnya ada pada istri kesembilan. Nyatanya baru tiga hari berumah tangga sang istri minggat tanpa sedikitpun meninggalkan pesan. Tak jelas rimbanya.
Dari sembilan kali menikah hanya pernikahan pertama yang tercatat di kantor urusan agama. Selebihnya dia menikah di bawah tangan, tak resmi. Begitulah  Sapri, sang pemecah rekor di kampungnya untuk urusan kawin-cerai. Dia tak mau ambil pusing dengan cap miring orang-orang sekitarnya. Toh tehadap kesulitannya tak ada yang benar-benar peduli. Begitu pikirnya.
Malam berikutnya, bak menemukan permata di tumpukan jerami. Pertemuannya dengan Suwanti atas undangan ibu gadis itu sangat menggembirakan hatinya. Meski kampung mereka bertetangga tetapi belum pernah keduanya saling bertemu. Sapri berharap kedatangannya membawa kebaikan. Dia ingin di usia tuanya nanti ada istri yang setia mendapinginya, istri yang mengasihinya tanpa pamrih dan menerimanya apa adanya.
 “Jadi hanya atas permintaan emak, kau bersedia datang?” pancing Suwanti.
Sesaat Sapri terdiam. Dia berusaha memahami maksud ucapan Suwanti. “Permintaan siapa pun boleh jadi itu sebagai sebab untuk suatu akibat baik yang ditakdirkan Gusti Allah, Suwanti.”
“ Teman-teman seusiaku telah kawin dan punya anak. Bahkan adik perempuanku dua anaknya. Mereka kawin di usia muda, belum dua puluh. Emak telah mengusahakan jodohku. Beberapa kiyai dan orang pintar pernah dimintai bantuan. Namun sampai ayahku berpulang, jodohku belum juga tiba. Aku tahu, emak telah memintamu melamar aku melalui Kang Kanta dua minggu lalu. Kakakku itu rajin pula mencarikan jodoh buat aku. Kiranya Tuhan belum berkenan mengabulkan jodoh terbaik bagiku.”
“Itu jangan dijadikan alasan engkau menerima aku, Suwanti.”
“Aku belum menerima, meskipun juga belum menolak.”
“Maksudmu?”
“Kita belum saling kenal.”
“Kalau begitu inilah saatnya kita berkenalan lebih jauh, tapi terserah kau bagaimana baiknya. Mohon maaf, aku baru bisa datang sekarang.”
“Sebagian tentang keberadaan dan sisi baikmu telah diceritakan Kang Kanta, tetapi bukan Kang Kanta saja orang yang membicarakanmu kepadaku.  Aku tidak mau, jika menikah hanya sebagai penutup malu karena status perawan tua, kemudian  menjadi janda. Bagiku, lebih baik tidak menikah sekalian. Aku tak sanggup berjodoh dengan laki-laki tukang kawin. Maaf bukan maksudku menjelekkan. Bagiku tak mudah mencari pembenaran terhadap tindakan laki-laki yang kerap kawin-cerai.  Bukan mengusir, aku masih ada pekerjaan yang lebih penting.” Suwanti mendadak seperti tak nyaman dengan keberadaan Sapri. Namun Sapri mendapati kemisteri pada diri Suwanti. Mendapat penolakan Suwanti, Sapri tak sakit hati. Dia justru bertekat, kali lain akan memperjuangkannya dengan sepenuh hati.
***  
Malam Minggu. Rencana Sapri mengajak Suwanti mengunjungi pasar malam di alun-alun kecamatan urung. Sejumlah uang yang dipersiapkan untuk jaga-jaga pun tak terpakai.  Suwanti memilih tetap di rumah. Baginya, pasar malam bukan tempat yang tepat untuk mengungkapkan niat. Dia menyadari betul bahwa Sapri berniat serius ingin menikahinya. Namun dia juga tidak mau menerimanya dengan begitu saja. Pikirnya, kesungguhan Sapri perlu pengujian.
“Apa yang dapat aku jadikan pegangan atas kesungguhanmu mengharap aku jadi istrimu?”
“Aku pahami keraguanmu. Dulu sebelum menikah tak pernah sedikit pun aku berniat akan bercerai. Bukan aku membela diri. Dari sembilan kali perceraianku, tak satu pun atas kehendakku. Kukira tak ada kesalahan berarti dariku yang menjadi penyebabnya.”
“Dari kesembilan kalinya?”
“Rasanya begitu.”
“Semoga kau tak keberatan menceritakan semua itu.”
Sapri tertegun sesaat. Ingatannya melesat ke masa lampau. “Begini, selepas SMP aku tidak melanjutkan pendidikanku karena faktor biaya.  Bapakku bekerja menganyam bakul dan ibu dukun beranak. Penghasilan mereka hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dua tahun setelah lulus SMP aku menikah dengan Reni. Pernikahan di usia muda begitu adalah hal biasa di saat itu. Tak ada tanda-tanda penolakan pada diri Reni. Rumah tangga kami berjalan baik-baik saja kukira. Namun setahun kemudian Reni meminta cerai atas alasan tidak cinta. Dia begitu membenci aku. Reni yang semula pendiam, mendadak begitu liar, hilang segala keramahannya. Tak jelas penyebabnya. Tekatnya untuk bercerai didukung oleh kedua orang tuanya. Aku tak berdaya menaklukan kehendaknya. Peristiwa itu menggerus kondisi batin. Sesungguhnya aku sangat menyayanginya.”
“Sama sekali kau tak tahu sebabnya?”
“Mungkin alasan ekonomi. Beberapa bulan kemudian aku bertemu dengan Nur. Dia baru lulus SD. Aku pelihara hubungan kami sampai dia genap berusia lima belas tahun. Setelah itu kami menikah. Dia bertambah dewasa dan mandiri. Keinginannya untuk bekerja di salon kecantikan aku ijinkan. Ekonomi keluarga kami sedikit membaik. Belum genap setahun bekerja, dia kerap diantar pulang anak majikannya. Anak majikan itu mengantar hanya sampai dekat  halaman rumah. Saat itu pula aku tak diperbolehkannya menampakkan diri. Malu, katanya. Aku ikuti kemauannya. Lama-lama ternyata mereka pacaran. Aku tak menyadari hal itu. Dia minta cerai. Terbukti setelah habis masa idah, mereka menikah. Itu terjadi setelah rumah tangga kami berjalan sepuluh tahun dan dikaruniai tiga anak.”
“Istri ketiga?”
“Ada teman baik, pemain bas pada grup orkes dangdut Langlang Irama. Aku diperkenalkannya dengan Maria Evi. Dia biduan. Cantik dia. Kebetulan sekali Maria sedang patah hati karena diceraikan suaminya. Selanjutnya aku nekat mengajaknya kawin, maksudku menikah. Aku kerap mengikutinya saat dia manggung. Namun sebagai suami aku tak tahan melihat Maria digoda penonton saat menyanyi. Maklumlah dia selalu tampil seksi. Aku menyarankan agar dia berhenti menyanyi. Dia menolak, selanjutnya minta cerai. Dalam waktu kurang dari sebulan aku  menikah lagi dengan janda kaya. Lapak rongsokannya ada di beberapa tempat. Sayang, hanya sehari semalam semalam. Tak usahlah kuceritakan sebabnya. Malu.”
“Kelima!”
“ Jaleha, janda beranak dua. Sejumlah uangku mengalir kepadanya untuk biaya perkawinan anak pertamanya. Modal daganganku terpakai. Setelah itu dia minta bubar dengan alasan yang dibuat-buat. Tak lama setelah itu ada lagi perempuan yang bersedia menikah denganku. Maryam. Cantik dia. Janda. Tanpa diduga, aku mendadak kehilangan kejantanan. Menurut orang pintar aku korban mejik, diguna-gunai bekas suaminya.”
“Kau percaya? ”
“Setelah diberi syarat tertentu keadaan menjadi normal. Namun, selanjutnya begitu lagi, sampai beberapa kali.  Karena bosan dengan keadaan seperti itu kami sepakat untuk berpisah. Selanjutnya aku menduda agak lama hingga datang seseorang mengantarkan anaknya agar kunikahi.”
“Kok bisa?”
“Entahlah. Katanya daripada selalu digoda kakak iparnya lebih baik dinikahkan dengan aku.”
“Kau beruntung.”
“Mulanya aku merasa begitu karena aku pun tak mengeluarkan banyak biaya. Namun dalam tiga bulan usia perkawinan, aku memergokinya tengah berduaan dengan tetanggaku di kamar kami. Masyaallah!” Sapri menarik nafas dalam, menahan ngilu hatinya. “Aku gagal menjaganya.”
“Maaf, bukan maksudku ….”
“Ya. Begitu garis hidupku. Lain dengan yang berikutnya. Maryani. Dia meninggal dunia karena tumor ganas yang dideritanya.”
Suwanti diam, merasa bersalah mengungkit masa lalu  Sapri.
“Dan yang terakhir, Sopiah. Minggat. Itu dua tahun lalu.” Sapri terdiam beberapa saat seperti ingin bercerita banyak tentang istri kesembilannya, tetapi urung.  “Begitulah garis hidupku, Suwanti. Aku tidak muda lagi, lebih dari empat lima usiaku. Jika kau bersedia, aku akan melamarmu.”
“Sesingkat itu?”
“Tunggu saat yang tepat dalam waktu dekat. Aku harus menyiapkan segala sesuatunya.”
Suwanti menemukan kesungguhan di wajah Sapri. “Aku perempuan. Jika kau berniat baik, kapan pun aku siap. Toh tinggal menerima.”
Temaram cahaya bulan di kebun pisang dekat rumah Suwanti menjadikan malam bertambah indah bagi Sapri. Keadaan itu seperti pertanda bahwa kelak jodohnya dengan Suwanti akan langgeng. Kegembiraan juga meliputi diri Suwanti bahwa jalan panjangnya mengharaap jodoh  segera tiba pada masanya. 
***
Undangan resepsi pernihakan Sapri disampaikan oleh ketua DKM Masjid Nurul Bayan di depan para jamaah shalat Jumat setelah mengumumkan saldo kas masjid. Para jamaah berucap syukur. Sapri tersenyum gembira dan spontan berdiri menghadap para jamaah seraya mengangkat  tangan, “Terima kasih. Mohon doa restunya, yah, semua!” Undangan serupa juga disampaikan di depan jamaah majlis taklim kaum ibu. Kabar rencana pernikahan Sapri pun mendapat respon beragam di kampung Turi. Ada yang mendoakan semoga jodohnya lenggeng, apa pula yang pesimis. Sementara itu Sapri telah memesan tiga mobil bak terbuka untuk mengangkut rombongan ngebesan ke rumah mempelai wanita di kampung sebelah.[*]    



Komentar

Postingan Populer