[Catatan Perjalanan] Bahasa “Indonesia” di Ruang Publik Singapura

 

 


 


 Juni 2016 untuk kali kedua saya berkesempatan datang ke Singapura dalam program kerjasama Kemendikbud dengan Rumah Dunia. Dalam program gratis ini setiap peserta wajib menyusun buku. Pada buku yang saya buat termuat materi berikut ini:.  

Bahasa Indonesia yang kumaksudkan tentu saja bahasa Melayu. Bahasa Indonesia dengan bahasa Melayu berbeda tipis. Sesungguhnya penggunaan Bahasa Melayu cukup luas. Selain di Indonesia dan di Singapura, bahasa Melayu digunakan juga di Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina Selatan, Thailan Selatan, Kamboja, Afrika Selatan, Sri Lanka, Timor Leste, Papua Nugini, Pulau Chrismas, dan kepulauan Cocos. Ragam bahasa Melayu jadi berbeda-beda-beda, sesuai dengan ling-kungannya masing-masing.

Bahasa Melayu di Singapura termasuk dalam bahasa resmi selain bahasa Inggris, bahasa Mandarin dan bahasa Tamil. Etnis Melayu yang jumlahnya sekitar 13,9 % besar kemung-kinansebagai pemakai bahasa Melayu. Namun tampaknya dalam komunikasi lisan bahasa Inggris sangat mendominasi. Bahasa Inggris menjadi bahasa penengah semua etnis dan warga negara lain. 

Pada setiap saat dalam perjalanan aku selalu memusat-kan perhatian untuk mencari kata-kata berbahasa Melayu. Ini karena aku tertarik saja, sekalian untuk mengetahui sejauh mana bahasa Melayu difungsikan dan dihargai di ruang publik. Kamera selalu siap untuk digunakan.  Aku upayakan memotret-nya, jika tidak bisa memotret maka aku mencatatnya.

Pada penjelajahan kami kali ini mulai dari bandara Changi, dalam MRT dan bus, kawasan sekitar Merlion Park, Kampong Bugis, Little India, Clementi, dan Chinatown aku mencari tulisan dalam bahasa Melayu.Ternyata tidak di semua tempat terdapat tulisan berbahasa Melayu.

 Turun dari pesawat, memasuki gedung terminal kedatangan bandara Changi terpampang tulisan SELAMAT DATANG disertai beberapa kata dari bahasa lain. Masih di Bandara Changi, dekat kran air minum terdapat tulisan: AIR MINUMAN di baris kedua, bersama enam bahasa lainnya yang aku tak mengerti selain bahas Inggris, mungkin bahasa Mandarin dan Tamil.

 Masjid Sultan berada di Kampung Glam. Pada kesetnya di teras masjid bertuliskan SELAMAT DATANG.Di area masjid tersebut juga terdapat bacaan: DILARANG MENAIKI KASUT DIATAS TEMPAT WUDUK.Begitu tulisannya. Kata yang terasa asing bagi kebanyakan orang Indonesia mungkin kata “kasut” yang dalam kamus bahasa Indonesia artinya alas kaki; sepatu; selop. Kata tersebut terbilang kata pasif, yakni kata yang jarang bahkan hampir tidak digunakan dalam aktivitas berbahasa Indonesia pada umumnya.






Masih di Masjid Sultan, pemberitahuan larangan merokok juga menggunakan bahasa Melayu. DILARANG MEROKOK DI KAWASAN MASJID dilengkapi dengan kata-kata berbahasa Inggris yang searti.Teks ini sama persis  dengan bahasa Indonesia.

            Di kawasan Clementi ada masjid Darussalam. Di dekat area kompleks masjid tersebut ada plang  menghadap ke jalan raya tersusun sebagai berikut:

Rasulullah S.A.W. bersabda yang diriwayatkan oleh muslim

“Barang siapa membangun masjid kerana Allah Taala, maka Allah akan membina untuknya sebuah rumah di Syurga.”

MASJID DARUSSALAM

Untuk pertanyaan mengenai kegiatan masjid, kuliah agama dan lain-lain, sila hubungi 6777 0028

Emel: feedback@darussalam.mosque.org.sg



Penulisannya “agama” bukan “ugama”. Padahal di Singapura ada Majlis Ugama Islam Singapura (MUIS). Entahlah.  Di bagian lain menghadap ke jalan raya, sebuah baliho disertai foto orang yang berperan tercantum judul acara.

Teks pada baliho:

SIRI

DARUSSALAM BERSELAWAT

Acara ini dilaksanakan sebagaimana terjadwal di bawahnya:

Sabtu, 2 April @ 6.30 Petang

Ahad, 8 Mei @ 9.30 Pagi

Sabtu, 21 Mei @ 6.30 Petang

 Apa yang dimaksud dengan “siri”? Entahlah.






Di bagian luar masjid Sultan ada stiker larangan merokok, dendanya 500 dolar. DILARANG MEROKOK DI KAWASAN MASJID NO SMOKING WITHIN THE MOSQUE PREMISIS $500 FINE. Itu separuh dari denda pada stiker kecil yang tertempel di dalam bus yakni 1000 dolar.  NO SMOKING FINE $1000. Di atasnya ada simbol larangan merokok. Di sampingnya ada larangan makan dan minum dengan ancaman denda 500 dolar, dan larangan membawa cairan berbahaya atau gas dengan denda 5000 dolar. Bayangkan, makan dan minum di bus dan kereta itu dilarang. Tidak demikian halnya dengan di Indonesia. Jangankan di kendaraan umum, di dalam masjid pun tidak ada yang melarang. Di dalam kelas juga banyak siswa makan dan minum, karena tidak ada larangan yang tegas. Begitulah aturan di Singapura. Faktanya, memang aku tidak menemukan orang melanggar aturan itu.

  

Masih di Masjid Darussalam, ada lagi tulisan:Peringat-an Tiada alas kaki dibenarkan melebihi batas pagar ini. Kita mengerti maksudnya, alas kaki tidak boleh melebihi batas pagar. Ada pula tulisan yang kira-kira kita mengerti maksudnya, yakni seperti ini:

 

DARUSSALAM MOSQUE

Tempat Berwuduk

Ini

Adalah usaha

Pelajar-Pelajar

Ustaz Abdul Hamid Abu Bakar

2012

 

            Sedangkan di pintu bus aku mendapati tulisan seperti berikut  ini:

SILA BAYAR TAMBANG YANG BETUL, SENTUH KELUAR KAD ANDA  HANYA BILA ANDA TURUN DARI BAS (ini juga dikenakan kepada  perkhidmatan feeder dan semua kad konsesi). Agak rancu jika dipahami dengan bahasa Indonesia, tapi kira-kira kita mengertilah maksudnya.  Jika disusun menurut bahasa Indonesia mungkin menjadi: SILAKAN BAYAR ONGKOS DENGAN BENAR, SENTUH KARTU ANDA SAAT TURUN DARI BUS (hal ini berlaku bagi pegawai perusahaan dan semua kartu izin).

            Ejaan bahasa Inggris diserap ke bahasa Melayu ditulis sesuai dengan pengucapannya. Antara lain: card ditulis kad;  dan bus ditulis bas.

Untuk diketahui bahwa pada saat naik bus penumpang harus menyentuhkan kartu pada alat pindai yang barada dekat sopir. Demikian pula pada saat turun, menumpang menyen-tuhkannya pada alat khusus dekat pintu keluar.

Dalam bus ada juga tulisan: Dalam kecemasan, sila gunakan tukul untuk memecahkan tingkap kaca.Kata-kata itu tersusun bersama tiga bahasa lainnya. Nah ini sedikit lucu bagiku. Tukul itu nama temanku Pak Tukul, juga nama pelawak, yakni Tukul Arwana. Tukul di situ berarti palu. Kalau diindonesiakan kira-kira menjadi: Dalam keadaan darurat, silakan gunakan palu untuk memecahkan jendela kaca. Di bagian bawahnya ada lagi tulisan: Denda bagi penyalahgunaan S$5,000. Lima ribu dolar Singapura, setara dengan lima puluh juta rupiah. Itu dimaksudkan agar orang tidak semena-mena.

            Di gerbong MRT kudapati tulisan: PEMEGANG PEMBUKA PINTU (untuk kecemasan sahaja). Maksudnya, pemegang pembuka pintu ini difungsikan hanya dalam keadaan darurat.    Persis di pintu ada tulisan disertai bahasa lain: HARAP JANGAN NAIK BILA LAMPU BERKELIP. Ini mudah difahami. Demikian pula dengan tulisan ini: BERHATI-HATILAH DI RUANG. HARAP JANGAN BERSANDAR DI PINTU. Demikian pula dengan tulisan yang tercantum di bilik sisi atas gerbong:  PINTU KELUAR KECAMASAN TERLETAK DI KEDUA HUJUNG KERETA. Kecemasan sama dengan darurat.

Di pagar proyek pembangunan halte terdapat tulisan: BAHAYA JANGAN MENDEKAT. Itu di kawasan Clementi. Kata “bahaya” ada juga di tempat yang berbeda, yakni ter-tempel di sebuah alat berat ukuran kecil. Apa pula pada stiker kuning voltase tegangan tinggi 415 V di gerbong kereta.

            Pada spanduk di pusat belanja di kawasan Little India : Pusat penjaja ini menggalakkan pulangan dulang. Tulisan tersebut berada di antara tiga bahasa lainnya.Pulangan dulang? Unik tapi bikin pusing, silakan artikan sendiri! Masih di area yang sama pada spanduk ada tulisan: SAYA OK, ANDA OK.Dibawahnya ada tulisan berbahasa India. Itu sederhana.

Dekat kamar kecil:Tolong pam tandas selepas guna & jangan membuang sampah ke dalam lubang jamban. Terima kasih atas kerjasama anda!Mungkin sama dengan: Tolong tutup (?) kamar kecil setelah digunakan dan jangan membuang sampah ke dalam lubang kloset.

Di dinding luar sayap kanan Masjid Angullia, ada teksempat bahasa yang cukup panjang. Isinya menginformasikan tentang sejarah singkat masjid tersebut. Bahasa Melayunya yang tersusun lima barispanjang sekitar dua setengah meter. Isi teksnya sebagai berikut:

 

Rekod-rekod menunjukkan bahawa penunjukkan disini dimana masjid ini berada, telah dipindah hak milik kepada Salleh Eussoof, seorang pedagang dari Kaum Gujerati Sunni Muslim yang berasal dari Rander, Utara Bombay (kini dikenal sebagai Mumbai) pada tahun 1890 dan masjid ini dibina semula pada tahun  1898. Akan tetapi sebuah masjid yang dimikili oleh Komuniti Bombay Muslim yang berkait rapat dengan kaum Gujerati Sunni Muslim yang dipercaya sebelum kedatangan keluarga Angullia. Pada tahun 1850, Eussoof menjejakkan kaki ke Singapura untuk mengembangkan syarikat perdagangan untuk keluarganya yang akhirnya termasuk Asia Tenggara, Mauritius dan juga Afrika Selatan. Dilengkapi dengan barang dagangan dan rempah ratusannya, Eussoof sangat cepat disanjungi oleh Komuniti India Utara sehinggalah pada tahun 1904, keluarga Angullia kekal menjadi pemegang amanah Masjid Angullia.

 

Kalau kau ada kesempatan berkunjung ke Masjid Angullia, cobalah kau baca teks tersebut mudah-mudahan masih ada, sekadar untuk membuktikan akurasi salinanku ini. Aku menyalinnya melalui rekaman video, karena kalau difoto tak cukup sekali cepret dan keadaannya tak cukup terang. Gerakan pengambilan gambar yang terlampau cepat berakibat sangat sulit menyalinnya. Kembali lagi ke sana hanya untuk membaca teks tersebut jelas tak mungkin. Sungguh, repot sekali aku menyalinnya. Ketika kutulis tangan di kertas HVS panjangnya mencapai 75 senti per baris, hampir selebar gawang pintu rumah.

Penggunaan diksi yang sedikit berbeda dengan bahasa Indonesia, membuat teks tersebut sedikit mengganggu bagi pembaca Indonesia. Ada bagian-bagian yang susah mengarti-kannya. Bahasa Melayu di Malaysia yang disebut sebagai bahasa Malaysia banyak yang lucu dalam kacamata orang Indonesia,  seperti kata “percuma” yang berarti gratis, di Singapura hal itu tidak kutemukan. Demikian pula adaptasi bahasa Inggris ke bahasa Malaysia, seperti “motorcycle” menjadi “motosikal”, sedangkan di Singapura tidak ditemukan.Mungkin ini karena minimnya penggunaan bahasa Melayu.Di ruang publik Singapura tidak banyak bahasa Melayu yang digunakan sebagai petunjuk atau pengingat. Mungkin hal itu dampak dari persentase jumlah warganya yang relatif kecil, juga perannya yang tidak dominan.

Aku meyakini bahwa Tuan Sultan pun sebagai pengguna bahasa Melayu. Para pengguna Babasa Melayu di Singapura mempunyai kedekatan emosional dengan Sultan. Dalam konteks kebahasaan, dari bahasa Melayu yang berhasil aku temui menunjukkan bahwa bahwa Melayu itu terkait erat dengan penggunanya yang notabene etnis Melayu. Hal ini merupakan bagian dari eksisnya bahasa Melayu yang berarti dihargainya keberagaman entis di Singapura.[]

 

Komentar

Postingan Populer