[Cerpen Usman Hermawan] Pelangi di Tengah Kota
Dalam tahun 1996, usai salat jumat. Sebagian jamaah telah meninggalkan area masjid jamik Baitusalam RSK Dokter Sitanala. Sebagian jamaah lainnya masih di dalam dan di serambi masjid. Baru saja hendak memakai kaos kaki Marsidin dikagetkan oleh seseorang yang menepuk pundak kanannya dari belakang. Ternyata Sarmidi. Keduanya langsung bersalaman erat. Sungguh pertemuan yang tak terduga.
Hampir sepuluh
tahun Marsidin tidak bertemu dengan Sarmidi. Penampilan dan gaya Sarmidi masih seperti dulu, rambutnya
klimis dan pakaiannya rapi. Bajunya koko berbahan tebal dengan warna gelap, papan
nama berlogo pemda dan namanya dengan gelar Drs. dan SH tersemat di dada
kanannya. Di bawah namanya sederet angka yang diduga sebagai nomor induk
pegawai. Tanpa harus bertanya, Marsidin menyimpulkan bahwa dia adalah pegawai
pemda.
Marsidin merasa
minder berhadapan dengan teman yang telah sukses menjadi pegawai negeri.
“Wih, keren,”
ucap Marsidin menahan iri.
“Alhamdulillah,”
balas Sarmidi bangga.
Semasa SLTA keduanya
sama-sama anggota pramuka Saka Bhayangkara yang biasa berkumpul di aula Polres. Marsidin bersekolah
di SPG (Sekolah Pendidikan Guru), sedangkan Sarmidi di SMA swasta. Sikapnya
yang familiar dan berani berdiri di depan berbagai forum membuat Sarmidi mudah dikenal dan
akrab dengan siapa pun.
“Ente ngajar
di sekolah mana, Mar?”
“Di SMA yang
sebelumnya SPG.”
“Sejak kapan?”
“Sekarang baru
memasuki tahun kedua.”
“Sudah ikut
tes CPNS.”
“Baru sekali.
Gagal.”
“Nah, kalau mau nanti ana bantu. Tahun lalu
dua orang lulus, ana yang bantu. Tahun sebelumnya tiga orang.”
“Boleh. Kapan
ada tes lagi?”
“Tunggu saja
informasinya, biasanya tiap tahun ada.”
Sungguh
tawaran yang menggiurkan. Terbayang indahnya menjadi pegawai negeri. Marsidin sangat
menginginkannya. Itu cita-cita sejak SD, juga harapan kedua orang tuanya. Seperti
kata ibunya suatu ketika, “Enak jadi pegawai negeri, kerja atau tidak kerja
tetap mendapat gaji bulanan, apalagi guru banyak liburnya. Ketika pensiun juga
ada gaji pensiunnya.”
Baru ada satu orang di kampungnya yang menjadi
pegawai negeri, guru SD, tapi sudah tutup usia. Kabarnya, teman-teman
seangkatan Marsidin pun telah banyak yang menjadi pegawai negeri sebagai guru
SD. Dia berharap pertemuan dengan Sarmidi menjadi sebab dan jalan baginya untuk
menjadi pegawai negeri. Diperkirakan dalam beberapa bulan ke depan akan kembali
ada seleksi calon pegawai negeri sipil di kota ini.
Marsidin tak
ingin mengalami kegagalan kedua. Dia sangat berharap ikhtiar melalui jasa
Sarmidi akan mendatangkan keberhasilan. Ikhtiar spiritual telah dilakukan
Marsidin dengan mendatangi seorang kiyai dan mengamalkan wiridan yang
diberikannya. Terhadap kedua orang tuanya pun Marsidin telah meminta didoakan. Katanya,
ibunya tak henti-henti mendoakan bagi keberhasilan sang anak.
Tawaran
bantuan dari Sarmidi ditanggapinya dengan sangat serius. Meskipun cara ini termasuk menyuap, tapi hanya cara
itulah yang bisa dipilihnya. Soal biayanya, dia masih punya satu setengah juta
rupiah dari hasil orang kondangan pada resepsi
pernikahannya belum lama. Sebagai perbandingan, harga sewa kontrakan sederhana
di kawasan Tanah Tinggi yang dia tahu lima puluh ribu rupiah, sedangkan job mengajarnya
delapan belas jam sepekan, per bulan hanya mencapai tujuh puluh dua ribu
rupiah. Dia belum sanggup untuk tinggal menyewa rumah kontrakan. Untuk
sementara tinggal menumpang di rumah mertua masih menjadi pilihannya.
Kabarnya
pasaran suap sekitar tujuh juta rupiah, suatu jumlah nominal yang lumayan tinggi,
bisa untuk membeli dua unit sepeda motor baru.
“Kalau begitu siapkan saja dananya.”
“Tidak harus
semuanya kan?”
“Terserah
ente, DP saja, kalau waktunya sudah dekat.”
“Insyaallah
dalam beberapa hari ini.”
“Nanti saja.
Tapi walaupun ngamplop ente tetap harus mengikuti prosedur Din, ikut tes.”
“Siap, Sar.”
Marsidin
percaya bahwa Sarmidi mempunyai relasi orang penting yang terkait dengan urusan
rekrutmen pegawai. Keinginannya untuk menjadi pegawai negeri begitu menggebu.
Dia tidak mau gagal kedua kalinya. Tadinya dia ingin meniru cara seorang
rekannya, Edi Margio, guru Matematika yang berhasil menemui ketua panitia di
tingkat provinsi. Hanya dengan salam tempel, setelah itu mengikuti seleksi dan
lulus. Amplopmya berisi fotokopi tanda peserta tes dan uang tiga setengah juta.
Belum terbayang oleh Marsidin jika meniru cara itu, lagi pula dia belum punya
keberanian dan uang cukup.
***
Pendaftaran seleksi
penerimaan calon pegawai negeri sipil dibuka. Setelah mendapat kartu tanda peserta seleksi Marsidin pergi ke
kediaman Sarmidi di Rawalini. Diserahkannya fotokopi tanda peserta seleksi dan
uang tunai satu setengah juta rupiah.
“Baru ada
segini.” Marsidin menyerahkan amplop berisi uang dan fotokopi tanda peserta
seleksi CPNS.
“Ana terima
uang ini, selanjutnya mau ana setorkan kepada pejabat terkait. Mudah-mudahan
lancar.”
“Amin. Berapa
saja kurangnya nanti aku bayar.”
“Baik, baik.”
“Ini bicara
pahitnya, seandainya ente belum beruntung uang ini akan ana kembalikan, tanpa
dikurangi sepeser pun.”
“Terima kasih.
Aku percaya. Kalau lulus total biayanya sekitar berapa, tujuh juta?”
“Kira-kira
segitulah.”
“Baik, akan
aku usahakan.”
Sebenarnya
Marsidin tak punya cukup uang jika harus mengenapi kekurangannya. Satu-satunya
andalanya adalah meminjam kepada mertuanya. Marsidin tahu, saldo tabungan
mertuanya di bank swasta masih puluhan juta rupiah.
“Mohon maaf,
agak siangan nanti ana ada rapat di kantor. Ente kalau mau main, main saja di
sini.”
“O, terima
kasih, kebetulan aku juga ada perlu. Sekitar satu jam lagi ada jadwal
mengajar.”
Menjadi guru
adalah cita-cita Marsidin sejak lulus SMP. Hal itu mengemuka setelah kepala
sekolahnya menyampaikan wejangan dalam upacara bendera, sedangkan inspirasinya
berasal dari lingkungan sekitarnya. Rumah Marsidin dekat SD yang guru-gurunya
berasal dari luar daerah seperti Jogja, Solo, Bandung, Garut, Ciamis, dan
Subang. Ketika itu Tangerang masih dalam wilayah provinsi Jawa Barat. Guru-guru
itu berwibawa, disegani murid-muridnya, juga warga sekitar. Walaupun begitu ada
juga seorang guru yang kelakuannya tidak patut ditiru, begitu sering Marsidin
mendapati guru itu bermain judi kartu remi di warung dekat sekolahnya di luar
jam kerja.
Selain
guru-guru berwibawa yang menginspirasinya ada pula seorang pemuda kampungnya lulusan
Sekolah Pendidikan Guru dan menjadi guru SD, namanya Nasrun. Ibunya berjualan
di kantin sekolah. Beberapa guru tinggal di rumahnya. Kehadiran guru-guru itu
sedikit banyak mempengaruhi pikirannya sehingga dia bercita-cita menjadi guru.
Melihat keberhasilan Nasrun menjadi guru SD dan PNS yang terbilang sukses dan
bergengsi, Marsidin ingin menjadi guru SMA. Setelah melalui pejuangan yang
lumayan berat, tercapailah cita-citanya. Menjadi pegawai negeri adalah harapan
terbesarnya.
Untuk
menghadapi seleksi berikutnya yang tinggal beberapa pekan ibunya telah meminta
bantuan kaum ibu semajelis taklim mendoakan dan membacakan surat alfatihah.
Setelah mengetahui hal itu Marsidin makin optimis. Menjadi PNS adalah suatu
kebanggaan bagi banyak orang, demikian pula bagi Marsidin. Andai upaya dan
doanya terkabul dia akan keluar dari
wilayah kekuasaan mertua ke tempat yang membuatnya berdaulat penuh sebagai
kepala keluarga. Pilihannya, mengontrak atau mencicil rumah.
Pada suatu
Minggu siang Saridin dikagetkan oleh ketukan pintu. Seorang adiknya mengabarkan
bahwa di rumah orang tuanya ada seseorang pengobat yang biasa dianggap sebagai
kiyai meskipun hanya berkostum kopiyah, baju koko lengan panjang dan sarung. Belakangan
Saridin tahu bahwa yang bersangkutan bernama Kiyai Atmadireja. Saridin diminta
segera menamuinya.
Terjadi
percakapan yang akrab antara Saridin dan Kiyai Atmadireja yang ujungnya
membahas soal tes seleksi CPNS. Kiyai Atmadireja menawarkan bantuan yang
disebutnya “syare’at”.
“Bagaimana caranya?”
telisik Saridin.
“Mungkin nanti
tesnya di sekolah yah. Tiap sekolah biasanya ada musala bukan? Nah di situlah
saya wiridan.”
“Loh,
bagaimana bisa?” Saridin penasaran.
“Bisa. Pada
saat kamu testing saya baca wirid.”
“Cara bisa
tahu jawaban yang benar?”
“Dari getaran
hati.”
“Oh begitu
ya.”
“Ya. Insyaallah
bisa lulus. Itu kalau kamu berminat?”
“Ongkosnya
berapa Pak Kiyai?”
“Jangan bicara
ongkoslah, saya cuma mencoba membantu yang saya bisa.”
“Oh, terima
kasih, mohon maaf saya kompromi dulu dengan istri.”
Marsidin tidak
yakin. Meskipun begitu dia masih berusaha menunjukkan sikap hormat agar tidak
menyinggung perasaannya.
***
Seiring waktu,
Marsidin mengikuti seleksi di gedung SMP negeri di pusat kota. Pesertanya cukup
banyak. Soal-soal dengan tingkat kesukaran berbeda-beda seluruhnya tuntas
dijawab sebelum wakatunya habis. Kepalanya terasa berat, pusing. Dari soal-soal
yang dijawabnya, perkiraannya delapan puluh lima persen betul. Peluangnya untuk
lolos lumayan besar, ditambah dengan bantuan Sarmidi. Dia percaya Sarmidi telah
menyampaikan uang titipannya kepada pihak terkait.
Sepanjang
perjalanan pulang pikirannya membayangkan kegiatatan prajabatan yang pernah
diceritakan seorang rekannya yang telah jadi PNS. Terbayang pula indahnya jadi
PNS, berseragam pegawai dengan papan nama dan nomor induk pegawai, bergaji
besar, tunjangan besar, penghargaannya lingkungan tinggi, juga dihargai sebagai
pahlawan anpa tanda jasa. Pokonya harkat dan martabatnya terangkat. Kedua orang
tuanya pun pasti bangga. Dia juga akan lebih diperhitungkan oleh mertua, tidak
dibanding-bandingkan dengan menantu lainnya yang punya mobil bagus.
Seketika Marsidin
ingat ucapan ibunya, “Usahakanlah Din, enak kalau jadi PNS mah. Nantinya kalau
pensiun tetap mendapat gaji.” Marsidin menyadari hal itu meskipun dia juga tahu
bahwa gaji pensiun relatif kecil. Bagi ibunya ukuran sukses adalah jika
Marsidin bisa jadi pegawai negeri.
Target
utamanya jika nanti sudah mendapat SK seratus persen dia ingin mencicil rumah. Seperti yang telah
diketahuinya pula bahwa dengan punya SK dia bisa berutang ke bank seperti
kebanyakan guru PNS di sekolah tempatnya mengajar.
Ibarat orang
bercocok tanam, Marsidin tinggal
menanti tumbuhnya sekitar dua atau tiga bulan ke depan. Aktivitas mengajar
dikerjakannya seperti biasa. Bahkan jadwal mengajarnya yang hanya satu jam
pelajaran pun pada hari Rabu dia tetap mekaksanakan tugasnya.
Tiga bulan
berlalu, pengumuman hasil tes CPNS dimuat di koran lokal. Marsidin mendapatkannya
di ruang guru. Hasilnya dapat diduga karena tak seorang pun mengucapkan selamat
atas kelulusan tes CPNS. Sekadar memastikan, dibacanya nama-nama peserta yang
lulus. Jleb! Namanya tidak tercantum. Dia kecewa.
Marsidin
murung dalam beberapa hari. Sarmidi yang dicarinya belum ketemu. Dua kali
mendatangi rumahnya, Sarmidi tidak ada. Kata istrinya, Sarmidi sedang banyak
kesibukan kantor. Hingga setahun kemudian terhitung telah enam kali
bertemu" Sarmidi. Setiap bertemu Sarmidi hanya memberi janji bahwa uangnya
akan dikembalikan.
Menduga ada
yang tidak beres dengan Sarmidi, Marsidin mendatangi kantor dinas sosial yang
katanya Sarmidi sebagai pegawai kantor itu. Marsidin diterima dengan baik oleh
Pak Sugiat. Ditunjukkannya daftar nama pegawai dan tenaga honorer. Tak ada nama
Sarmidi. Dijelaskannya bahwa Sarmidi memang sering datang ke kantor itu untuk
kepentingan bekerja sama pada kegiatan sosial di masyarakat. “Jadi kami berpartner, hanya sebatas itu,” pungkas Pak
Sugiat. Marsidin merasa kecolongan.
Sejak itulah Marsidin
enggan menemui Sarmidi. Dia tak yakin uangnya bisa kembali. Dari tahun ke tahun
setiap ada tes CPNS dikutinya tanpa ada keinginan untuk menggunakan uang. Pak
Saerin, kepala sekolah, memanggilnya untuk berbincang di kantornya. Dalam hati
Marsidin bertanya-tanya, ada apakah gerangan?
“Saya cuma
kasihan dengan bapak,” ucap Pak Saerin, “ tapi saya tidak bisa membantu apa-apa
selain menunjukkan atau mengantarkan Bapak kepada seseorang yang bisa membantu.
Biayanya segini,” menacungkan tujuh jari, ”tujuh juta.”
“Terima kasih
atas perhatian Bapak, mohon maaf saat ini saya tidak punya uang segitu. Mungkin
lain waktu Pak.”
Sebenarnya Marsidin
sudah tidak tertarik menempuh cara begitu. Dia sedang fokus dengan usaha
kuliner yang dikelola istrinya. Pikirannya sudah berubah, andai uang sebanyak
itu lebih baik digunakan untuk modal usaha. Andai seumur hidup tidak jadi PNS
dia sudah siap mental. Legawa.
Tahun
kesepuluh pendaftaran tes CPNS dibuka. Marsidin pun mendaftar. Hanya iseng, tak
ada target, karena dia yakin kemungkinan lulusnya sangat kecil. Saat itu dia
sedang menempuh pendidikan pascasrjana. Walhasil, di luar dugaan, Marsidin
lulus. Ya, lulus murni.
***
Akhir Desembar
2013. Marsidin pergi ke Balikpapan untuk
memenuhi undangan mengikuti workshop mengenai sastra daerah. Turun dari
angkot Marsidin naik ojek ke bandara.
“Tinggal di
mana Bang?” Marsidin membuka pembicaraan.
“Di Rawalini
Pak.”
Seketika Marsidin
teringat Sarmidi. “Kenal dengan Pak Sarmidi dong?”
“Kenal Pak. Rumahnya
saling belakangan dengan rumah saya.”
“Teman saya
dia, salam yah dari Pak Marsidin.”
“Eh, sudah
meninggal Pak.”
“Innalillahi
….. kapan?”
“Kira-kira
lebih dari tiga bulan lalu, Pak.”
“Oh.”
“Kirim
salamnya kagak jadi dong Pak, atau ke istrinya saja.”
“Boleh saja
kalau kebetulan ketemu. Sakit apa sebelum meninggal?”
“Gula Pak.
Bocor kakinya. Makanya orang mah jangan keterlaluan. Bapak pernah ketipu juga?”
“Tidak.”
“Banyak
korbannya Pak.”
Percakapan terhenti akibat keramaian lalulintas yang tidak
memungkinkan untuk bercakap-cakap lebih banyak. Dalam hati, Marsidin
menyayangkan perilaku sahabatnya itu jika itu memang benar. Baginya merugi di
masa lalu cukuplah sebagai pembelajaran hidup yang hikmahnya telah dirasakan.[]
Komentar
Posting Komentar