MONOLOG PAK TUA

 


Karya: Usman Hermawan

Suatu sore di teras rumah. Sepasang suami istri telah mencapai usia tua. Tak punya anak. Tak pernah punya anak. Pernah punya anak angkat lalu meninggal. Mereka dipersalahkan dianggap tidak becus merawat anak. Mereka trauma sehingga tak berani dan tidak dipercaya orang mengadopsi anak. Karena tak punya anak dan tak punya cucu, maka tak ada suara cucu yang memanggil mereka kakek dan nenek.

Nenek masuk, tanpa iringan musik. Duduk. Tangannya mengusap-ngusap sehelai kain. Dia memasukkan benang ke jarum, setelah masuk dia menjahit kain. Pikirannya sibuk. Dia enggan berkata-kata. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya sampai pentas berakhir.

Berselang sekitar dua menit masuklah Pak Tua masuk diiringi lagu “Pak Tua”. Setelah musik mengecil dan mati. Pak tua mulai bicara:

Mun, maafkan aku tidak membawamu ke kehidupan yang glamor seperti orang-orang yang pura-pura kaya di zaman ini. Keadaan mengajarkan kita untuk hidup secara sederhana, tidak neko-neko.

Sesungguhnya tenang hidup kita ini. Untuk memasukkan benang ke lubang jarum juga membutuhkan ketenangan. Ketenangan bisa menghasilkan sesuatu yang kita harapkan. Tenang itu alon Mun. Alon-alon asal kelakon, kata orang. Jika sekarang hidup kita tenang. Ini merupakan buah dari kesabaran dan kebaikan yang bibitnya selalu kita semai di setiap penjuru waktu di masa lalu.

Perkara kita tidak dikaruniai keturunan sampai setua ini tidak perlu disesali. Justru kita syukuri saja. Dulu kita sudah berusaha dengan segala cara, minum jamu ini jamu itu, urut sana urut sini agar dikaruniai keturunan, tapi tuhan berkehendak lain. Kita juga sudah mencoba mengadopsi anak tapi kemudian tuhan pulalah yang mengambilnya. [SEKETIKA BERKACA-KACA] Andai dia ada…..sudah dewasa. Subarkah maafkan bapak Nak.

Kau jangan bersedih Mun. Itu bukan kesalahan kita walaupun kau sangat merasa bersalah karena ada orang yang mempersalahkan kita. Dituduhnya kita sebagai manusia sialan. Lalu ketika hendak mengadopsi anak untuk kedua kalinya orang-orang melarangnya.  Mereka tidak percaya dan kita juga takut kalau-kalau kehkawatiran mereka menjadi kenyataan. Padahal semua terjadi atas kehendakNya. Sudahlah, mau diapakan lagi. Takdirnya sudah begitu Mun. Lagi pula sudah berlalu.

Walau usia kita telah sama-sama senja, tapi kita tak kalah romantis dari pasangan muda. Kita masih rajin bersayang-sayangan. Kau masih suka minta gendong walau aku tidak selalu kuat menggendongmu. Dan aku masih sering minta dikeroki. Maklum, tubuh setua ini makin mudah masuk angin. Barangkali pori-porinya sudah longgar. 

Bersyukurlah Mun kita bahagia. Batin kita sudah berdamai, tidak punya keturunan adalah hal terbaik yang telah ditentukan tuhan bagi kita. Tak perlu disesali. Sekarang kau juga tenanglah. Bersiaplah untuk menghadapi menyataan hidup berikutnya, maksudku menjalani kehidupan setelah kematian. Tenanglah jiwa kita, katanya, hanya jiwa yang tenang yang siap menghadap tuhannya.

Cukuplah aku yang peduli dengan segala yang mengusik hati dan pikiran waras kita. Banyak kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan kita.  Lihatlah mereka yang muda-muda, belum tentu nantinya sebahagia kita Mun. Bagaimana bisa bahagia di masa tua jika setiap hari setiap waktu  berbuat keburukan. Melihat kita bahagia mereka iri, dengki, malah ada yang bilang “Kek jangan genit, ingat, sudah bau tanah!” Hh, usil saja sukanya. Apa salahnya aku genit padamu agar kamu bertambah bahagia di masa tua ini. Memang sih mereka, sayang-sayangnya kalau sedang napsu dan punya duit doang. Tidak saling menghargai. Bicaranya suka saling menghewankan.  Santun bahasanya rendahan. Berpendidikan tapi kurang terpelajar. Tidak disiplin dan boros. Konsumtif. Hidupnya bergantung pada produk-produk impor.

Memang kita tidak punya apa-apa. Tapi apalah artinya apa-apa kalau kemudian menjerumuskan kita kepada keburukan. Ini cara pikir realistis Mun. Bukankah kita telah sepakat, kita tidak perlu neko-neko dalam hidup ini. Jangan kancolah kata orang Sangiang. Jangan bertingkah.

[minum]

Untunglah kita muda di masa lalu ketika teknologi masih sederhana, HP dan internet belum menggejala, sehingga kita bisa terhindar dari dampak buruknya. Wajahmu yang kulihat adalah aslinya, bukan foto yang diedit-edit. Kita juga tidak banyak kemasukan kata-kata nyinyir dan caci maki yang begitu deras seperti sekarang terjadi di media sosial. Gambar dan vidio yang tidak senonoh bermunculan tanpa diminta. Itu kata Pak Erte Sanusi yang katanya sering bermain media sosial. Dilihat bagaimana, tidak dilihat bagaimana. Aku sempat lihat di HP-nya, ampun Mun. Porno. Maksudku, itu juga kata Erte Sanusi. Aku tidak melihatnya, sumpah. Hal yang seperti itu kan terlalu mudah dibayangkan Mun. Yang seperti itu dinikmati juga oleh anak-anak muda. Ngeri Mun membayangkan bagaimana rusaknya mental generasi bangsa jika hal itu terus menerus terjadi.

Belum lagi perilakunya, huh anak sekarang Mun. Tidak patuh terhadap orang tua, berbohong, melawan guru, berkata-kata tidak sopan, hh tidak punya adab. Masa sesama teman saling menganjingkan. Ngeri Mun, lisannya tidak terkontrol. Kalau: Anjing menggonggong kafilah berlalu. Itu peribahasa. Boleh diucapkan bilamana diperlukan.

Semoga saja Mun, pendidikan mampu mengarahkan generasi bangsa menjadi manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai ketuhanan. Kebaikan ada di semua golongan usia dan semua jenis profesi serta strata sosial. Tapi hidup ini baik saja tidak cukup kan Mun, orang baik harus terus berbuat baik.

Sebentar lagi azan magrib. Masuklah. Kita siap-siap untuk menunaikan kewajiban menghadap gusti Allah.[]

 

Komentar

Postingan Populer