[DIARI] Cerita Beli Motor Honda Supra GTR 150 dan Ribetnya Mutasi

 


 

Setelah Vario 125 dilepas untuk memenuhi pembayaran seuprit lahan yang kemudian dibangun sebuah rumah petak kontrakan tinggallah satu sepeda motor Honda Beat. Motor itu aku andalkan untuk ke sekolah setiap hari, jarak pergi pulang 24 km. Lumayan irit, dua puluh ribu rupiah pertalite cukup untuk lima hari, Senin sampai Jumat, setelah  kenaikan BBM biaya menjadi dua puluh lima ribu rupiah.

Seiring waktu, anakku Naira bertumbuh, aku pun berencana akan membeli motor lagi untuk kebutuhan istriku mengantar sang anak jika nanti masuk sekolah TK. Hampir setiap hari aku membuka marketplace di fesbuk, melihat-lihat iklan sepeda morot bekas. Ada beberapa merek yang aku incar dengan harganya yang kira-kira terjangkau seperti Yamaha Vixion, Honda CB 150 R, Vario 150 cc, dan lain-lain. Dalam setiap perjalanan juga aku sering mengamati motor orang lain barangkali ada yang cocok di hatiku.

Suatu ketika, di jalan pintas Cijengir aku melihat dari belakang sepeda motor yang sepertinya bagus, lalu kudekati dan kucari-cari mereknya yang ternyata Honda GTR. Tipe motor tersebut baru kali itu aku melihat di jalan. Jadi, itu tipe motor satu-satunya sepanjang perjalananku dari rumah ke sekolah dan sebaliknya selama belasan tahun. Selanjutnya aku mencarinya di marketplace. Ternyata ada beberapa yang dijual, seken.

Semula aku banyak mengamati Honda Supra X 125. Aku tertarik. Namun setelah kubanding-banding GTR lebih kekar, lebih ganteng, sehingga kemudian aku lebih fokus ke GTR yang pengemarnya anak muda. Kukira, sebagai anak tua, boleh dong aku menyukai dan memilikinya. Kebetulan saja anakku masuk PAUD, walau pun masih bisa ditempuh dengan jalan kaki tapi perlu juga naik motor, sehingga rencana membeli motor perlu dipercepat.

Kamis (17/11/2022) pukul 15.39 aku mengirim pesan via WhatsApp kepada saudara Mj, seorang makelar sepeda motor, warga kampungku. Aku menanyakan, apakah ada Honda GTR sekadar untuk cek harga. Selanjutnya dia membalas “ada” dan mengirim foto motornya, tahun 2016, putih, dengan harga Rp 10,5 juta dan pajaknya mepet, hampir habis, B 4953 NCC 12.22.  Aku tertarik, tapi tak ada dananya. Aku mengucapkan terima kasih. Selesai.

Kamis (17/11/2022) pukul 17.37. Karena merasa perlu untuk membeli motor, dana sertifikasi yang baru cair, yang sedianya untuk membayar utang ke koperasi aku mohonkan penangguhan ke bendahara, Ibu Hj Asih. Aku akan membayarnya pada pencairan tahap berikutnya. Katanya, “Gpp pak tenang aja.”

Beberapa saat berselang aku membuka marketplace dan mencari-cari Honda  GTR. Aku kaget ketika menemukan sepeda motor persis yang fotonya diberikan Mj. Nomor B 4953 NCC 12.22 harganya Rp 9,8 juta. Aku merasa aneh. Belakangan aku sadari setelah di bagian bawah tertera fesbuk yang bersangkutan berteman dengan akun milik Mj. Aku menyadari bahwa statusnya sebagai pedagang (makelar) kerjanya memang mencari untung.

Selain motor tersebut aku juga mengamati motor lain yang sejenis salah satunya Honda GTR merah dengan nomor B 3418 CTI (Kota Tangerang) dengan banderol Rp 12 juta. “Sayang yah, punya duitnya cuma sepuluh,” pancingku merendah. “Sebelas Om,” balasnya. Kubiarkan itu. Sekian lama kemudian aku kembali menyapa, “Bisa kali 10 yah.” Dia kemudian menurunkan harga menjadi 10,5.

      




Aku mencoba kembali ke yang harga 9,8. “Sembilan pas bisa kali?” Aku coba mengumpan. Dia membalas, “9,5.” Pada peta google yang tersedia aku dapati alamatnya. Legok. Berselang beberapa lama kembali aku melanjutkan, “Bisa kurang kali?” Dia menjawab, “Sedikit.” Kupikir aku harus melanjutkannya dengan bertemu. Aku abaikan Mj.  Kutanya alamatnya. Dia menjelaskan, bahwa patokannya polsek Legok. Sekitar situ aku tahu. Aku berjanji besok lusa (Sabtu pagi) aku akan ke sana. Katanya, telepon dulu, kalau-kalau motornya sudah laku.  Istriku ingin ikut untuk memeriksa. Rencananya aku akan mengajak istri dan dua anakku.

Jumat (18/11/2022) di SMAN 15 aku coba kembali membuka marketplace untuk melanjutkan percakapan dengan pemilik akun Hardiyan. Kucoba menawar, “Bisa kali 10 yah?” Dia membalas, “Gak bisa Om.” Aku sampaikan bahwa aku hendak ke rumahnya. Nomor ponselnya telah kudapatkan.

Usai absen kepulangan pukul 16.00, aku meluncur ke Bugel Mas Indah mencari alamatnya. Nyasar. Setelah kembali bagian depan komplek aku bertanya kepada seseorang, pemuda. Dia menunjukkan, selanjutnya dia bersedia mengantar ke Blok D. Yang bersangkutan masih susah dicari, malah mengirim foto lokasi. Pada fotonya ada orang yang baru saja berpapasan denganku. Aku sedang berada di dekat masjid, di depan mobil sedangkan fotonya di belakang mobil itu. Berarti aku terlewat. Aku kembali. Aku berharap dia menanti di jalan. Ternyata dia di rumah. Ketemulah. Motornya pun ada. Pemuda yang mengantar pun kembali. “Mas, terima kasih yah!” kataku.

Pemilik motor yang kutaksir ternyata anak muda. Dialah tinggal dengan orang tuanya. Ibu dan bapaknya ada, tapi tidak ikut campur urusan motor. Aku yakin dialah pemilik nama yang tertera di STNK dan BPKB, Hardiyan Saputro. Mungkin dia sudah bosan dengan motornya. Dia juga mengira calon pembeli motornya anak muda, ternyata anak tua.

“Buat siapa Pak?”

“Buat saya.”

Aku memeriksa motornya. Masih bagus. Lumayan mulus. Motor dikeluarkan. Aku mengetesnya. Pada gajlukan (polisi tidur) terasa sedikit oblak pada bagian leher motor. Kuperiksa nomor rangkanya, cocok dengan STNK dan BPKB. Honda Supra GTR 150 cc. Bebek. Kopling. Ban depan belakang tubles. Tanpa bagasi. Lumayan kekar.

“Kurangi atuh!” kataku.

Satu tiga.” Maksudnya sepululuh juta tiga ratus.

Kucoba santai dengan sedikit bicara ngalor-ngidul hingga sampailah pada ucapan disertai bahasa tubuh yang mungkin terkesan memelas dan sedikit menyentuh lengannya. “Sepuluh yah!” kataku. Dia pun membalas dengan nada pasrah, Iyah.” Seketika aku senang tapi kutahan sehingga tidak atraktif.

Jadilah sepuluh juta pas. Selanjutnya, berbicara soal teknis. Dia bersedia mengantar motornya asalkan diberi ongkos seratus lima puluh ribu. Dengan agak berat aku iyakan, tapi kemudian aku berpikir, kasihan dia, jarak ke rumahku cukup jauh, kemalaman pula. Aku tawarkanlah teknis lain, “Antarkan saja ke SMAN 15, saya kasih lima puluh ribu. Sekalian transfer di ATM Bank Banten di Indomaret.” Dia menyetujui.

Ternyata dia mengajak (entah) adik (entah) istrinya menggunakan motor lain, untuk pulang berboncengan. Berhenti kami di Indomaret, transfer 10 juta. Kupenuhi janjiku, kuberi selembar uang lima puluh ribu dari dompet.

Tiba di parkiran SMAN 15 kami berfoto dengan kamreanya sebagai bukti telah bertransaksi. Setelah itu mereka berdua pulang. Rencanaku, motor akan aku baliknamakan sendiri, sehingga aku tak merencanakan meminjam KTP-nya untuk membayar pajak.

Dua motor harus aku bawa pulang. Bagaimana caranya? Aku coba menelepon Pak Suhendra, teman guru yang arah pulangnya sejalan. Beliau sedang dalam perjalanan Studi Tur dan Kunjungan Kampus Malang.  Tak jelas dia sedang di posisi mana.  Sayang, tak terjawab. Kucoba sekali lagi, tak terjawab juga. Maksudku, ingin memberi tahu atau menawarkan, bagaimana jika besok pulang dia dengan motorku karena aku tahu dia tidak meninggalkan motor di sekolah.

Karena sudah dekat magrib, segera aku putuskan, motor Honda beat aku tinggal di parkiran, kutitip kepada satpam Haerudin. Ada motor lain milik teman yang juga ikut studi tur yang kemungkinan pulangnya esok hari. Aku pulang dengan motor GTR. Motor ini bodinya lebih besar dari motor bebek umumnya. Bermesin sama dengan motor tangki Honda CB 150 R. Jadi lebih berat, tinggi pula. Walaupun masih agak kagok karena terbiasa dengan motor metik, sampai jugalah di rumah. Selanjutnya aku mengabari pemilik motor yang di Legok bahwa aku batal datang karena sudah membelinya di orang lain. Aku minta maaf. Tidak apa-apa, balasnya.

Esok harinya, Sabtu, aku naik ojek Grab untuk mengambil motor Beat di parkiran sekolah. Tarifnya Rp 41.500. Usianya cukup senior. Namanya Aidil, warga perumahan Dasana, berasal dari Palembang. Sepanjang perjalanan kami banyak berbincang. Dia cerita pengalamannya, salah satunya pernah ada penumpang perempuan muda, naik motornya. Si perempuan itu mohon izin numpang menagis. Aneh bukan? Dia tidak keberatan, baginya yang penting bayar. Katanya, dia selalu berusaha memberikan pelayanan terbaik bagi penumpangnya.

Tiba di gerbang sekolah kami masih berbincang. Aku bayar dia lima puluh ribu. Tak mengapa, toh aku naik ojek jarang-jarang saja, sekalian agar dia senang.

Aku tiba di sekolah sekitar pukul delapan. Di parkiran ngobrollah aku dengan satpam Pak Ricardo. Dia heran dengan motor Beatku yang terparkir menginap. “Kayaknya ini motor Pak Guru,” ucap Pak Ricardo mengulang ucapannya. Pak Ricardo yang jaga malam tak mendapat pemberitahuan dari Pak Haerudin begitu pergantian shift. Dari Pak Ricardo pula aku mendapat informasi bahwa semua rombongan yang ke Semarang telah pulang sekitar satu jam lalu. “Oh…..,” aku terengah.  Aku mengira mereka belum tiba.

Soal panggilan tak terjawab, hingga keesokannya, tak ada konfirmasi dari Pak Suhendra kenapa aku telepon tidak diangkat. Ketika aku tanyakan hal itu di hari lain, katanya tidak ada telepon masuk dari aku. Entahlah!

Karena joknya yang tebal aku merasa ketinggian. Aku mencoba datang ke bengkel jok dekat SMAN 15, barangkali ada yang cocok ternyata tidak ada. Plapon jok yang cocok tidak ada. Bodi filter yang munjung di bawah jok bagian depan mengakibatkan plapon jok pun munjung pula, sehingga menjadi tinggi. Untuk sedikit mengurangi ketinggian jok sebenarnya bisa saja dipapas, tapi aku tak mau, khawatir hasilnya tidak bagus.  Kupikir, kapan-kapan sajalah jika ada.

Dengan kondisi yang masih bagus dan harga segitu aku merasa puas meskipun masih harus beradaptasi karena terbiasa dengan Honda beat yang kecil dan ringan.  Selanjutnya, hari-hariku ke sekolah menggunakan GTR. Di pertigaan Sabar Subur Jatiuwung, ketika berhenti, terasa nyelekit di kaki kananku. Tak  kusadarai bahwa ternyata kakiku tersengat knalpot. Tampak putih lukanya berdiameter sekira setengah senti. Dalam beberapa hari kurasakan perihnya hingga kemudian sembuh.

Sekian hari kemudian aku bawa ke bengkel di Bonang, depan kolam renang, untuk menyetel lehernya yang oblak. Tiga mekaniknya kerepotan membuka kap-kapnya. Mereka mungkin belum pernah menangani motor jenis tersebut. Kapnya tidak sampai terbuka semua karena banyaknya baut yang tersembunyi. Obeng panjang dimasukkan lalu di pantek dengan palu sampai oblaknya sembuh. Dicek juga bearingnya. Ternyata bearingnya sedikit oblak lalu ganti baru.  Dites di gajlukan, bantingannya enak. Lalu aku Tanya soal bunyi mesinnya yang pada gas rendah suara mesinnya nempos seperti mau mati. Ketiga mekaniknya mengerti, tidak paham karena mungkin baru kali itu berhadapan dengan motor yang pertama kali keluar tahun 2016 itu. Mereka bilang mungkin itu karakternya memang begitu. Kupikir, ya sudahlah, yang penting tidak bermasalah. 

Kian hari aku makin nyaman tak nyaman menggunakan GTR. Seperti umumnya motor laki, karakternya kasar. Namun ketinggian motor cukup mneguntungkan. Sekalipun dinaiki berempat pada polisi tidur yang agak ekstrem sekalipun bagian bawah motor tidak nyaruk seperti yang terjadi pada motor Beat. Meskipun diduga terdapat lapisan busa sehingga jok jadi lebih tinggi, akibat jok kurang lebar tak nyaman untuk jarak jauh. Pantat sakit. Sebagaimana umumnya motor kopling, jika arus lalulintas banyak sendatan tangan kiri jadi capek karena banyak melakukan pencet kopling.

Dengan penampilan motor bebek lebih laki yang kekar aku pun merasa tambah ganteng dua puluh persen. Bukan aku tak ingin punya NMAX atau PCX yang harganya di atas tiga puluh juta, apa daya danaku tak sampai. Cukuplah motor murah tapi agak keren dan masih agak muda (keluaran empat tahun lalu). Cek di google, motor itu harga barunya dua puluh dua juta, sedangkan yang keluaran terbaru (2022) seharga dua puluh empat jutaan.

Aku pun membeli boncengan depan untuk anak, seratus ribuan, sehingga dapat memuat berempat. Sabtu (4/12/2022), kami ke pasar Curug berempat sejarak lima kilo. Istri dan anak-anakku masuk pasar. Aku keliling mencari bengkel, tidak ketemu, mungkin belum ada yang buka. Aku bermaksud ingin ganti oli dengan oli merk Eneos.

Selanjutnya, di Bonang, aku tanya oli Eneos tidak ada. Pindah ke bengkel yang biasa langganan ternyata ada oli Eneos satu-satunya. Kemasannya sudah lapuk.

“Kok sudah lapuk?”

Balasnya, “Lapuk juga luarnya…”

“Berapa?”

Pemiliknya bingung, tak ada angka harganya. Lalu dia kira, “Sembilan puluh lima ribu.” 

Kataku, “Mahal amat, biasa katanya tujuh puluh ribu.”

“Iya dah tujuh puluh.”

Oli diserahkan kepada karyawannya. Oli lama dikeluarkan, mesin disemprot. Oli pun dibuka hingga tutup alumunium poilnya. Begitu hendak dituangkan, “ Eh salah. Mana sudah dibuka lagi!”

Aku terheran, “Apa salahnya?”

Ternyata itu oli untuk mesin dua tak, sedangkan motorku bermesin empat tak. Aku tak paham tak-takan. Ternyata motorku bermesin empat tak.

“Kalau dimasukin bisa mati melulu mesinnya,” cetus sang mekanik.

Maka tak ada pilihan bagiku kecuali ganti merk lain, oli yang mungkin lebih mahal yang ada di situ yang bermerk enduro. Harganya enam puluh tujuh ribu.

Dengan oli baru merk enduro (karena merk eneos tidak ada)  dan BBM Pertamax tarikan motor terasa enteng, suara mesin halus. Kecepatan bisa lebih maksimal. Namun konsekuensinya, biasa dengan Honda Beat bensin pertalite seharga dua puluh lima ribu per lima hari, maka dengan GTR dan bensin pertamax menjadi empat puluh lima ribu per tiga hari.

Untuk mempermanis aku pesan handgrip hitam dengan kombinasi merah di Lazada. Begitu barangnya datang aku buka baut jalu di ujung setang. Keras. Tidak bisa dibuka dengan obeng biasa.  Aku bawa ke bengkel, minta dibukakan. Dibukalah dengan obeng ketok. Terbuka. Di rumah aku buka handgrip-nya yang kanan. Kuganti dengan yang baru. Namun sayang tidak masuk, kekecilan. Dipaksakan pun tak bisa. Sia-sialah.  Namun meskipun begitu sejauh ini tidak ada masalah berarti pada motor murah tapi ganteng ini.

Tak puas dengan spakbor belakangan yang kurasa terlalu panjang kucoba memesan spakbor pendek di Lazada. Pembukaan spakbor berlangsung beberapa jam, soalnya agak rumit. Kupasang spakbor kecil. Aku senang dengan tampilan spakbor belakang yang minimalis, tapi kemudian berubah pikiran. Tiga hari kemudian aku kembalikan ke penampilan semula. Bolam penerang plat nomor yang mati aku ganti dengan yang baru seharga lima ribu. 

Senin (18/12/2022) pagi, aku meluncur ke Samsat Cikokol Kota Tangerang. Berkas yang diperlukan difotokopi di Bonang, antara lain: BPKB, STNK, KTP, kuitansi pembelian, masing-masing rangkap, tambah satu stop map. 

Tiba di depan kantornya, motor parkir di tepi jalan. Aku mencari-cari, tak ada kerumunan yang menandakan orang antre. Depan kantor Samsat tampak sepi. Aku bertanya kepada petugas satpam, ternyata untuk keperluan mutasi, harus dilakukan cek fisik. Tempatnya di belakang gedung Samsat, menghadap ke jalan raya. Bayar parkir 2000. Ke sanalah aku, tampak plang bertuliskan Samsat, masuk. Aku berhenti, bingung, lurus atau ke kiri. Karena ada motor ke kiri ikutlah aku ke kiri menuju parkiran. Motor terparkir. Aku bertanya kepada tukang parkir. Ternyata aku salah, seharusnya tadi langsung lurus.  Tak perlu bayar parkir, bergeraklah aku ke tempat cek fisik. Ada sejumlah motor yang sedang digesek nomor rangka dan nomor mesinnya. Aku berhenti di situ. Antre. Berkas fotokopiku belum tertata. Petugas menyuruhku menatanya di tukang fotokopi. Aku memilih menatanya sendiri, kusteples dengan hekter milikku. Tiba saatnya aku menyerahkan berkas. Dimintanya aku berdiri di samping motorku dan jok dibuka. Petugas menggesek nomor rangka kemudian nomor mesin.

Petugas mengarah agar motor dibawa ke parkiran dan aku menunggu panggilan di kursi tunggu. Aku laksanakan itu. Ada belasan orang menunggu antrean. Sekira seperempat jam, namaku dipanggil dan kudapatkan berkasku. Ada petunjuk arah ke kantor samsat, aku pun mengikuti, masuk ke jalan kecil sekira bellasan meter. Ada petugas di belakang meja yang bisa kutanya. “Masuk lobi, sebelah kanan,” jawabnya.     

Aku serahkan berkas di loket pendaftaran mutasi. Selanjutnya, aku diarahkan untuk ke bagian fiskal di lantai dua. Ada banyak loket dilengkapi dengan namanya. Sejumlah orang duduk di kursi yang tersedia, menunggu panggilan. Aku masih harus bertanya untuk mendapatkan ruang fiskal. Ternyata di ujung, beda ruang. Berkas diserahkan, setelah menunggu beberapa saat aku dipanggil. Berkas aku terima, dipersilakannya aku membawanya kembali ke loket pendaftaran. Kuserahkan berkas. BPKB asli diminta petugas. “Motornya dibawa Pak?” tanya petugas. “Ya.” jawabku. Petugas memberikan lembar tanda terima dan fotokopi STNK yang dilegalisir. “Biaya mutasi dua ratus lima puluh ribu,” pinta petugas. Aku pun membayarnya. Tanpa kuitansi. Kukira berkas diberikan kepadaku seperti dulu aku mengurus mutasi mobil, ternyata tidak. Aku dipersilakan datang ke Samsat Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang, tiga hari kemudian. Kamis. “Oh begitu,” cetusku dalam hati. Aku kembali ke parkiran. Ongkos parkir kubayarkan dengan uang lima ribuan, dikembalikan tiga ribu.  

Meter bensin masih dua batang. Sampai Kebon Nanas motor diarajhkan ke pom bensin.  Di bagian pertamax hanya satu antrean, sedangkan di bagian pertalite mencapai belasan motor. “Penuh,” pintaku untuk mengisi pertamax. Empat puluh tiga ribu rupiah.  Tanpa mampir ke mana-mana aku langsung pulang.

Kamis (22/12/2022) sekira pukul depalan aku  star menuju kantor samsat Kelapa Dua di Mal SDC. Setelah melewati dua eskalator masuklah ke are akantor dan ke loket mutasi. Kuserahkan tanda terima dari samsat Cikokol. Ternyata eh ternyata ….. salah. Petugas menolak. Kiranya aku salah paham. Padahal waktu itu aku sampai menegaskan, dan petugas mengiyakan bahwa aku tinggal datang ke samsat Kelapa Dua. Aku agak ragu ketika itu, karena sebelumnya, ketika mutasi mobil berkasnya aku yang bawa ke samsat Balaraja.   

Ke luarlah aku dan langsung star menuju samsat Cikokol yang jaraknya sekira delapan kilometer. Aku masuk area parkir tempat cek fisik kendaraan. Aku memasuki jalan tembus menuju ke bagian pendaftaran mutasi kendaraan. Aku serahkan tanda terima, sesaat kemudian diberikanlah berkasnya. Petugas mengarahkan aku ke ruang arsif. Posisinya di paling ujung selatan. Aku masuk. Petugasnya memanggil aku Pak De. Terlalu tua rasanya pangilan itu bagiku. Aku menunggu di luar. Setelah aku, ada empat orang lainnya yang juga menunggu panggilan. Hampir setengah jam kemudian, namaku dipanggil. Diarahkannya agar aku mendatangi bagian cek fisik di samsat Kelapa Dua untuk meminta cap stempel sebagai tanda hadir. Setelah aku paham, berkas diserahkan kepadaku. “Untuk ini dua puluh ribu Pak De,” ucap petugasnya sopan. Aku bayar dengan uang seratus ribuan, kembaliannya delapan puluh ribu. Tanpa kuitansi. “Naik motor Pak De, hati-hati di jalan.” Dia juga mencoba memberi tahu posisi kantor samsat Kelapa Dua dan menyebut nama petugasnya. 

Kembali aku melintasi jalur Kebon Nanas menuju kawasan Gading Serpong. Motor diparkir di area yang tersedia. Aku menuju tempat cek fisik. Aku bertanya kepada petugas, diarahkannya agar aku memasukkan berkas ke loket. Aku menunggu sekira dua puluh menit. Namaku dipanggil. Berkas aku terima dan langsung kubawa ke kantor samsat di lantai tiga. Aku langsung ke petugas mutasi, tapi kemudian diarahkan ke loket balik nama.

Petugas meminta aku memotokopi BPKB. Ada jasa fotokopi di sekitar situ. Hanya dua lembar yang difotokopi, harganya tiga ribu rupiah. Lumayan mahal. Aku lupa membawa yang ada di rumah. Aku menyerahkannya kepada petugas lalu menunggu. Sepuluhan menit kemudian aku dipanggil. Aku dipersilakan menunggu, beberapa saat kemudian dipanggil. Kukira setelah ini selesai dan tinggal mencetak kaleng, ternyata tidak. Aku diberi tanda terima dan diminta datang lagi Senin. Padahal petugas mempersilakan aku mengecek harga, tapi tidak aku lakukan. Aku memilih pamit, aku tidak sempat berpikir. Akibatnya aku jadi tidak tahu biaya yang harus dibayarkan. Dengan begitu nantinya aku harus membawa uang lebih untuk jaga-jaga.

Senin (26/12/2022). Setelah menanti gerimis reda, kurang sekian menit dari pukul delapan aku star menuju Mal SDC Gading Serpong, sejarak lebih kurang tiga kilometer. Selepas dari parkiran aku baru sadar bahwa aku tidak membawa masker. Begitu sampai di pintu masuk aku langsung mengatakan bahwa aku lupa membawa masker. Ternyata tidak ada toleransi. Wajib, katanya. “Sekitar sini yang jual masker dimana?” tanyaku. “Di seberang.” Dia menunjuk ke selatan. Aku gamang, sehingga pilihan sementara aku akan pulang.

Sebelum sampai di parkiran aku mencoba melihat-lihat barang kali di seberang selatan ada toko. Ternyata tampaklah plang toko Alfa Mart.

Menyeberanglah aku ke sana. Tanpa permisi aku langsung mencari, ternyata ada. Ada yang berbanderol lima belas ribu, ada pula yang tanpa banderol. Aku memilih yang tanpa banderol yang kemungkinan lebih murah. Berisi lima buah. Langsunglah ke kasir. Dua orang antre di depanku. Belum selesai dua orang antre seorang kasir kedua mempersilakan aku  membayar. Ternyata harganya sembilan ribu.

Aku kembali ke gedung SDC, masker kukenakan. Aku masuk langsung ke petugas yang sebelumnya memberi kertas tanda terima. Aku diperilakan menunggu beberapa saat. Begitu dipanggil aku mendekat. Yang harus kubayar empat ratus lima puluh ribu tujuh ratus, dengan rincian, BBN-KB: 0 (digratiskan); PKB Pokok:258.300; SWDKLLJ:32.400. Bea Adm STNK: 100.000; Bea Adm TNKB: 60.000; jumlah 450.700. Tertera juga NJKB (Nilai Jual Kendaraan Bermotor 16.100.000. Oh, segitu nilai jualnya walaupun aku membelinya dengan harga sepuluh juta. Berkas kubawa untik sekalian membayarlah ke kasir bank. Setelah menunggu beberapa saat, berbayarlah. Berkas dikembalikan dan diminta difotokopi. Cuma beberapa lembar, harganya sepuluh ribu, mahal. Kembalilah aku ke loket tadi. STNK aku terima.

Selanjunya seperti biasa, setiap pemohon dipersilakan meneruskan BPKB ke Polda DKI untuk dilakukan perubahan data. Bagiku terlampau rumit jika harus ke sana harus ke Jalan Gatot Subroto dan memutar di Kuningan. Kalau Polda Banten, meakipun jauh masih lebih aman rutenya. Aku memilih menitipkannya saja. Sebelumnya orang di sampingku menitip dengan biaya setarus lima puluh ribu rupiah. Maka dengan percaya dirinya aku menitip saja, ternyata biayanya empat ratus ribu rupiah. Kupikir mungkin beda kasus. Aku bayarlah empat ratus ribu. Kapan jadi? Dengan alasan kesibukan maka diperkirakan tahun depan. Dia memberi catatan sebagai tanda terima beserta nomor WA miliknya. Aku bisa menanyakannya  pada Januari 2023, sudah selesai atau belum.

Selanjutnya, pencetakan kaleng plat nomor di kontainer biru, di lapangan. Sekira seperempat jam menunggu, jadilah. Nomornya berubah jadi B 6894 JFQ 12.27 dengan warna dasar putih. Huruf J merupakan kode untuk kabupaten Tangerang. Tidak diminta bayar lagi karena sudah dibayar enam puluh ribu. Padahal aku sudah menyiapkan kalau-kalau diminta uang sukarela. Dulu aku dimintai uang sukarela.

Bayar parkir empat ribu, keluarlah. Kuhitunglah semua biaya yang aku keluarkan, kecuali bensin dan masker, yaitu:  10.000 + 2.000 + 250.0000 + 2.000 + 20.000 + 2.000 + 450.000 + 400.000 + 3.000 + 10.000  + 2.000 + 4000 + 2000 = 1.157.000 (satu juta seratus lima puluh tujuh ribu).

Jumat (6/1/2023), dari rumah berangkat ke sekolah, absen, lalu ke samsat Kelapa Dua. Kemarinnya sudah kutanya dan dijawab bahwa BPKB sudah selesai. Tiba di Samsat langsung ke petugas yang bersangkutan kuserahkan tanda terima. Aku menunggu sebentar lalu diberinya BPKB yang ternyata baru. Boleh jadi sampai empat ratus ribu, mungkin itu biaya jasa antar dan BPKB-nya lengkap dengan datanya yang benar. 

Hari terus berlalu, ketidaknyamanan terasa pada joknya yang ketinggian dan terlalu miring ke depan sehingga pantat peras. Aku memutuskan untuk memapras atau memotong bagian atasnya hingga tipis ke tukang jok motor. Sampulnya pun ganti. Setelah itu menjadi lebih enak didudukinya.

Motor agak oleng dan lehernya seperti kendor, penyebabnya ternyata bagian komstir. Digetoklah di  bengkal. Sembuh. Berselang beberapa lama oleng lagi, agam macet bagian lehernya. Kembali lagi ke bengkel setelah saya membuka kapnya di rumah. Digetoklah. Sembuh. Kiaranya pada bagian komstirlah yang rentan kendor.

Sementara itu bunyi tak wajar, "pokpokpok...." yang tak dipahami orang bengkel diduganya mungkin itu memang sudah karakternya. Namun sekian lama kemudian setelah ganti oli kedua dengan merek berbeda bunyi seperti itu nyaris hilang.   

Itulah sebagian pengalaman saya "bergaul" dengan motor Honda Supra GTR 150. Semoga berkah selamat.

***

Setelah setahun menggunakan motor tersebut rasa bosan pun timbul. Koplingnya keras, suara kasar, sokbreker keras, muatan bensin kurang banyak, adalah sifat dari motor tersebut. Dipasanglah iklan di fesbuk bahwa motor tersebut mau dijual. 

Sekitar tiga bulan tayang tak kunjung ada pembelinya. Dihapuslah. Selanjutnya ada kemauanku untuk menayangkannya kembali. Sekitar belasan hari (dalam bulan Agustus 2024) datanglah pembelinya, yakni Pak Jumadil, karyawan PT Jembo, tinggalnya di Cisereh. Dia membeli motor ttersebut untuk adik iparnya. Temannya yang memeriksa. Lalu jadilah harganya Rp 9.500.000.. Alhamdulillah harganya bagusn. 

Mereka berdua masing-masing bawa motor. Akulah yang kemudian membawa motor ttersebut sampai ke alamatnya bareng.

Aku pun berganti motor dengan Yamaha NMAX merah keluaran tahun 2020.  Kubeli dengan harga Rp 19.500.000 [] 







[Usman Hermawan]

   

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesona Burayot, Sebuah Catatan Perjalanan ke Garut

HP Hilang, Susah pun Terbayang

[Catatan Perjalanan] Dari Pasar Lama ke Rumah Sakit