[Cerpen Usman Hermawan] Pengalaman Sylvester Stallone
Mantan ketua RT tujuh periode, Bang Kamin, menelepon aku untuk datang ke acara hajatannya pada malam rasul, yakni malam persiapan. Khawatir pada hari H-nya aku tak dapat hadir bergegaslah aku berangkat. Kurang dari sepuluh menit tibalah. Acara hajatan resepsi pernikahan anak kelimanya sembilan puluh persen telah siap. Tenda telah terpasang, meja dan kursi juga telah tertata. Pelaminan telah selesai dikerjakan, seorang pekerjanya tengah menyempurnakan posisi lampu taman. Sejumlah pemuda berkaraoke menyanyikan lagu dangdut, menjadikan suasana bertambah meriah.
Setelah
bersalaman dengan Bang Kamin aku duduk di kursi yang disediakannya. “He, kenal
dengan orang ini?” tanya Bang Kamin pelan. Jarinya menunjuk kepada seseorang di
seberang meja.
Seketika
itu pula mataku memokus. Aku langsung mengenalinya. “Wah, tamu dari jauh
rupanya. Bang Darino, alias Sylvester Stallone, bintang film Amerika!” Aku menyalaminya lalu duduk.
“Ah,
bisa aja ente. Kenal dengan saya?”
“Pasti
kenallah, siap yang gak kenal dengan orang terkenal.”
Di masa
lalu, menurutku, tampangnya mirip Sylvester Stallone, terutama ketika mengenakan kacamata hitam.
“Siapa?”
Dia bertanya kepada Bang Kamin.
Bang Kamin
mencoba menjelaskan identitasku dengan menyebut nama almarhum ayahku, tapi
gagal. Ternyata dia tidak hafal.
Ini
kali pertama aku beraudensi dengan Bang Darino. Dia tidak mengenal aku.
Pastilah. Usianya terpaut jauh, mungkin sekira lima sampai tujuh tahun. Dia
seangkatan Bang Kamin dan masih keterkaitan saudara. Ini kesempatan pertama aku
bisa bercakap-cakap dengan Bang Darino.
Ingatanku
melesat ke masa tiga puluhan tahun lalu. Dia pemakai sepeda motor Kawasaki
Merzy yang tidak banyak orang punya. Di mata kami anak-anak angon kerbau,
dialah pemuda sukses yang paling keren sekelurahan, mungkin juga sekecamatan.
Sekali waktu aku juga mendapati dia mengendarai mobil Jip Willis yang konon
milik bosnya.
Yang
membuat aku nyaris tidak percaya, kabarnya dia tidak pernah sekolah. Hal itu
diakui oleh beberapa orang yang lebih tua dari aku ketika itu. Hal itu pula
yang kemudian membuat si Dasim, teman kami, tidak mau sekolah walau usianya
telah memasuki empat belas tahun. “Bang Darino saja tidak sekolah!” elak si
Dasim ketika disuruh mendaftar sekolah. Lain halnya bagiku, jika aku tidak
sekolah sulit berharap bisa seperti dia. Di antara kami, anak-anak angon
kerbau, tak ada yang tahu persis pekerjaan pemuda ganteng dan keren tersebut.
“Bagaimana
kabar Bang, sehat?” aku memulai percakapan.
“Alhamdulillah.”
“Anak punya
berapa Bang?”
“Banyak.
Enam.”
“Bini?”
cetus Jodi, temanku yang duduk di sampingnya.
“Empat,
tapi sekarang satu.”
“Wih,
bagaimana ceritanya itu.” Aku menelisik.
“Saya
kawin kontrak.”
“Wah
seru nih?”
“Di
mana proyek, di situ dapat istri. Pindah proyek ganti istri.”
Bang Kamin
mencetus, “Sopir beko dia, kerjanya pindah-pindah.”
“Oh.
Ekskavator.”
“Daripada
ngontrak sendiri gak ada yang ngurusin, mending kawin. Tidur anget. Ada yang
masakin, nyuci pakaian, masuk angin ada yang ngerokin, pegel-pegel ada yang
mencetin.”
“Iya
yah.”
“Saya
jadi kenek, dikit-dikit belajar lama-lama bisa.”
Bang Darino
menjadi tokoh sentral pada obrolan kami malam itu. Kami menjadi pendengar yang
antusias menyimak kisah pengalamannya.
“Gaji
mah gede kali yah?”
“Gaji
saya delapan juta per hari.”
“Wow!”
“Per
kubik tiga puluh lima ribu, per hari sekitar dua ratus tiga puluh kubik. Bayar
karyawan dua orang sejuta, kasih istri sejuta, masuk kantong pribadi enam juta.”
Kami
terperangah. Aku membayangkan, untuk mendapatkan penghasilan segitu aku harus
bekerja dua bulan. Pantaslah, ketika sekali waktu dulu aku melihatnya melintas
di jalan depan rumahku mengendarai Kawasaki Merzy, sepeda motor yang terbilang
mahal saat itu.
“Sampai
sesukses itu, itu sekolahnya sampai tingkat apa Bang?” tanya Jodi lulusan SMP.
“Saya,
SD saja gak lulus, cuma sampai kelas dua. Berhenti. Tanya tuh Kamin. Saya
belajar otodidak. Semua alat berat yang dipunyai bos, saya coba pegang.
Belajar, lalu bisa.
Ekskavator,
buldozer, beko, silinder, forklift saya bisa. Saya selalu ingin tahu. Setelah itu dipercaya bos. Dari gaji
yang terkumpul saya membeli sebuah eskavator. Alhamdulillah,”
“Terus,
itu cerita istri bagaimana?” tanyaku.
“Wah
saya sih, jangan dicontohlah. Tidak baik. Kawin kontrak. Proyek selesai, cerai.
Semuanya enam. Istri yang sekarang, keenam. Saya gak pernah nyandung, poligami. Panjang
ceritanyalah.”
“Cerita
istri yang sekarang deh!”
“Nah,
itu ceritanya begini. Saya kerja di proyek galian pasir. Selesai kerja ada yang
datang, perempuan, namanya Widia. Dia bekerja di warung nasi. Pelayanlah. Roman
mukanya sih lumayan manis. Hamil. Dia minta tolong. Tolong apa? Saya hamil.
Lah, lu yang hamil minta tolong ke gua. Emang laki lu siapa? Dia bilang, itulah
masalahnya. Apa masalahnya? Saya janda. Saya tanya, yang bikin lu hamil siapa?
Diam dia. Siapa? Suara saya meninggi. Barulah dia jawab, tiga orang. Kaget
saya, kok bisa. Coba sebutin siapa saja. Lu takut nyebutinnya, gak usah takut,
ada gua. Ternyata pelakunya orang proyek juga. Sugali dan Marjaman kuli proyek,
dan Darmadi kepala proyek. Kata saya, aduh, apa yang lu cari neng sampai tiga
laki begitu? Dia diam saja, menunduk.”
“Terus...”
cetusku.
“Gampang.
Orang satu proyek jumlahnya gak lebiih dari lima puluh. Saya cari, ketemulah
Sugali. Tegas saya bicara, seperti
polisi mau menangkap penjahat. Betul kamu yang bernama Sugali? Betul. Kamu kenal dengan Widia, pelayan warung Pak
Jajang. Gak Pak. Tidak mengaku dia. Kalau gak ngaku gua kepret lu. Widia hamil,
kamu yang berbuat? Ketakutan dia, ngaku juga akhirnya. Iya Pak. Kamu harus
bertanggung jawab, kawini dia! Ampun
Pak, saya tidak sanggup. Saya punya anak dan istri. Saya laporin polisi kamu!
Ampun Pak. Dia mau cium kaki saya. Gak usah begitu, saya bilang. Kamu gak
kasihan, dia hamil tanpa suami? Iya Pak maafkan saya. Sekarang begini, saya
bayar kamu dua juta untuk mengawini si Widia. Sanggup? Malah terampun-ampun
dia. Kalau tidak sanggup bagaimana kalau saya yang mengawini, kamu bayar kepada
saya dua juta? Senang dia, katanya, begitu lebih baik pak, akan saya usahakan.
Saya tegaskan, duitnya bukan buat gua, buat biaya persalinan.
“Langsung
dikasih duitnya?”
“Minta
waktu dia. Besoknya dibayar. Saya serahkan ke si Widia. Nah, hal serupa juga
saya lakukan terhadap Marjaman. Ternyata
dia juga tidak sanggup mengawini. Keluarlah dua juta. Saya serahkan ke si
Widia. Selanjutnya giliran kepala proyek, Pak Darmadi. Saya sudah kenal dia.
Pengecut juga dia. Mulanya gak ngaku. Saya desak-desak, akhirnya ngaku juga.
Takut dia lihat golok saya. Saya bilang, saya bayar empat juta, tapi bapak
kawini dia. Minta damai dia. Kalau begitu, sini empat juta. Mau dia. Besoknya
dia serahkan empat juta. Dapatlah semuanya delapan juta. Saya kasih semuanya ke
si Widia. Nih delapan juta, buat biaya persalinan. Senang dia. Terima kasih
Pak. Saya pantau terus kondisinya, kasihan. Kata saya, itu kandungan makin
besar, berhentilah kerja. Saya ajak tinggal di kontrakan saya.Nurut dia.
Tinggallah satu kontrakan dengan saya, tapi gak saya apa-apain. Beda kamar juga
kok. Gak ada hasrat saya buat macam-macam. Yang saya pikirkan, saya ingin
persalinannya selamat, sehat ibu dan bayinya. Alhamdulillah, pada waktunya
selamat dan sehat. Selanjutnya, tiga bulan setelah bayi lahir, saya tanya, mau
gak kalau saya nikahi? Dia bilang, mau Pak, alhamdulillah.”
“Jadi
nikah?”
“Saya
tanya, kamu ini janda, sebenarnya janda apa, cerai hidup atau cerai mati? Kata dia, ya ditinggal begitu saja. Dua tahun
lebih. Saya gak mau nikah di bawah
tangan. Ibarat motor, BPKB dan STNK-nya harus jelas. Saya minta nama dan alamat
mantan suaminya. Saya cari. Dua hari baru ketemu, di kampung sana lewat rel
kereta. Di teras rumah ada empat orang laki berkumpul. Saya tanya, mohon maaf siapa
di antara bapak-bapak yang bernama Rastam? Satu orang ngaku. Saya bilang, bisa
kita bicara empat mata, ayo cari tempat yang enak. Dia mau. Saya ajak naik di
motor saya. Pas di tempat sepi berhenti. Betul yah saudara bernama Rastam? Ya.
Saudara pernah punya istri bernama Widia? Betul, tapi sudah lama cerai. Sekarang silakan tandatangani surat
pernyataan ini, bahwa saudara menceraikan dia. Saya sudah mempersiapkan
suratnya. Saya minta bantuuan Haji Mugeni, pegawai KUA. Dia yang membuatkan.
Saya sempat tanya juga kepada Haji Mugeni soal cara supaya si Widia mendapat
surat cerai dari pengadilan. Wah, kata Haji Mugeni, sulit, terlalu
berliku-liku. Biayanya bisa habis sampai lima juta. Saya cuma minta dibuatkan
belangko surat itu saja. Nah, si Rastam ragu-ragu. Saya bentak, mau gak saudara
tanda tangan?! Keluarlah mental jawara saya, saya takut-takuti dengan golok.
Gemetar dia, ketakutan. Tanda tanganlah dia. Sekarang begini, kata saya, itu
istri sah saudara tidak dinafkahi selama dua tahun lebih. Sekarang saudara saya
minta ganti rugi lima juta. Waduh Pak! katanya, saya tidak punya duit segitu.
Terserah, mau dibayar atau mau saya laporkan ke polisi, atau saya bereskan
dengan golok ini. Ketakutan dia. Pura-pura galak saya. Akhirnya saya diajak ke
rumahnya. Dia minta bantuan orang tuanya. Dia minta tempo du hari. Besoknya
saya balik lagi. Dibayar lima juta.”
“Terus...”
“Saya
gak ke Haji Mugeni, tapi ke Amil Marjuki, kenalan saya di Kampung Jatake. Saya
kasih berkasnya, mau saya kasih uang jalan dia menolak. Seminggu saya balik
lagi, jadilah akta cerai. Saya kasih saja seratus ribu. Sisa duitnya saya kasih
ke si Widia. Punya cukup duitlah dia buat persalinan. Beberapa hari kemudian,
melahirkan dia di klinik. Anaknya laki-laki. Sehat.”
Perbincangan
kami sesaat terjeda oleh kedatangan dan kepulangan tamu. Bang Kamin pun tidak
sepenuhnya menyimak cerita Bang Darino.
“Mirip
siapa tu anak?”
“Gak
jelas mirip siapa, bapaknya tiga. Entahlah siapa bapak aslinya.”
“Abang
gak ikutan menanam sahamnya yah.” Berani sekali si Jodi bercanda.
“Tidaklah.
Lagi pula saya nih walau orang bilang playboy cap kadal, gak pernah melakukan
gituan di luar nikah, demi Allah. Alhamdulillah masih bisa jaga diri. Tapi
keinginan ganti istri mungkin karena keadaan, termasuk keinginan mengawini si
Widia. Saya tanya mau atau gak nikah dengan saya? Mau dia. Setelah selesai masa
persalinan, saya nikahi dia. Nikah KUA, resmi. Yang mengurus pernikahannya juga
Amil Marjuki. “
“Terus,
sekarang dia tahu gak bahwa abang bukan bapak kandungnya?”
“Gak
tahu dia, dia kira saya bapaknya saja. Saya juga sudah seperti anak sendiri.
Sekarang anaknya sudah nikah. Begini ceritanya, dia kan sudah bekerja, sudah
punya penghasilanlah. Dia punya pacar, dia bilang ke saya pengen nikah. Saya
tanya, memangnya sudah punya tabungan berapa? Tiga puluh juta. Sama siapa Den?
Anak bapak Marjuki orang Kampung Jatake. Siapa nama anaknya? Herlina. Saya
mulai curiga, jangan-jangan amil Marjuki yang saya kenal. Begitu saya melamar,
ternyata betul. Dia juga kaget. Duit tiga puluh juta sudah saya yang pegang.
Saya serahkan ke Amil Marjuki sepuluh juta. Pertimbangan saya, berapa pun duit
yang diserahkan pasti habis.Pantasan saat acara resepsi mukanya kelihat
cemberut. Hajatannya juga sederhana saja. Seminggu kemudian duit yang dua puluh
juta saja kembalikan ke anak saya, buat biaya hidup. Jadi buat dia-dia juga.
Sekarang sudah punya anak satu. Saya jadi kakek.”
“Sekarang
abang masih kerja di proyek?”
“Gak.
Pensiun, sejak tiga tahun lalu. Beko dijual. Sekarang nyangkut di ruko. Rukonya
disewakan.”
“Enak
yah, tinggal terima duit.”
“Alhamdulillah.”
Bang
Kamin mencetus. “Boh dia mah, rukonya panjang. Sebulan satu M dapat kali.”
“Gaklah,
gak sampe.”
“Banyak
duit, gak tambah istri?” kataku.
“Tetap
satu, dengan yang sekarang saya setia, lagi pula saya sudah tualah. Lebih baik
memperbanyak ibadah. Siapa tahu nanti kita mati khusnul khatimah, betul gak?”
“Betul
Bang.”.
Bang
Darino melihat jam tangannya. “Maaf, sudah malam, saya pamit yah. Itu tadi
omongan saya jangan direkam yah, jangan disebarin ke orang-orang. Gak ada yang vidioin
kan? Malu saya. Yang jelek-jelek jangan ditiru yah. Ini mah saya cuma sekadar
cerita pengalaman. Betul gak?”
Kami
mengiyakan.
Sylvester Stallone, maksudku, Bang Darino menyalami kami satu persatu,
terakhir menyalami Bang Kamin seraya menyerahkan amplop kondangan. Bang Kamin
mengantarnya sampai menjalankan sepeda motornya.[]
Komentar
Posting Komentar