[Cerpen Usman Hermawan] Perempuan Penganyam Tudung
Lampu pijar lima watt dengan sinar temaramnya masih bertahan meskipun malam telah larut. Mak Angkrih masih terbungkuk di atas pola kayu anyaman tudung yang sejak lama menjadi alat bantu pekerjaannya. Jari-jarinya terus bergerak lincah menganyam rangka tudung lapis atas. Matanya yang kian kurang awas sesekali memokus untuk memastikan kerapian hasil anyamnya. Rangka lapis atas lebar bilah anyamannya sekira dua mili dan lebar rangka lapis bawah sekira setengah sentimeter. Sepasang rangka itulah yang lebih dikenal dengan sebutan rangkai.
Pada tudung yang
siap pakai, di antara rangka anyaman halus dan rangka anyaman kasar dilapisi
kertas semen atau kertas prada emas dan daun bambu. Pengerjaannya dilakukan di
atas pola dengan ukuran sama oleh pihak tengkulak. Pihak tengkulak pulalah yang
kemudian memasarkannya. Hal itu telah berlangsung puluhan tahun. Fungsinya
untuk melindungi diri dari terpa panas matahari dan hujan. Biasanya tudung
dipakai oleh mereka yang bekerja di kebun, ladang atau sawah.
Kerja lembur
untuk mengejar target dilakukan Mak Angkrih
jika kondisi kesehatannya memungkinkan. Kali ini dia ingin menggenapi jumlah
hasil pekerjaannya sebelum tengkulak datang memborongnya.
Agus terbangun dari
tidurnya.
“Tidurlah Nek, sudah larut malam.”.
“Tanggung. Mau
ngapain Gus?” Mak Angkrih tetap fokus pada pekerjaannya.
“Wudu.”
“Memangnya belum
salat Isya?”
“Tahajud Nek.”
“Ya, doakan
ibu-bapakmu.”
“Iya Nek.” Agus
segera berlalu.
“ Jangan lupa
doakan juga anyaman tudung nenek agar segera dibayar oleh Si Sapri.”
“Baik Nek.”
Mak Angkrih kembali
fokus pada pekerjaannya.
Mak Angkrih kini
sebagai perempuan tertua di antara beberapa warga Sukaminder yang masih
menganyam rangka tudung sebagai mata pencahariannya. Selain orang-orang yang
seusianya rata-rata telah tutup usia, juga keadaan lingkungan telah banyak
berubah. Sejak pesawahan di timur kampungnya dibebaskan perusahaan pengembang dan
kini menjadi kompleks perumahan dia tak lagi turun ke sawah sebagai buruh tani.
Para petani pun pensiun. Mak Angkrih masih tetap menganyam rangka tudung, pekerjaan
yang digelutinya sejak kecil. Kebun
bambu yang sebelumnya mencapai hampir setengah luas kampung kini tinggal
beberapa rumpun saja. Kebun bambu telah menjelma rumah-rumah. Diperkirakan
rumpun bambu yang tersisa akan punah
sampai dia tutup usia.
Seiring dengan itu sebagian
besar kaum perempuan pun memilih pensiun dari pekerjaan menganyam tudung. Baik
kaum laki-laki maupun perempuan yang semula bertani kemudian beralih pekerjaan.
Ada yang jadi pedagang, tukang ojek, tukang becak, pengangkut sampah, bahkan tukang parkir di
pasar. Beberapa orang perempuan ada yang menyambi sebagai tukang urut dengan
pemakai jasa utamanya warga kompleks perumahan dan sekitarnya. Di antara kaum
perempuan yang masih muda dan tenaganya masih kuat banyak juga yang menjadi
pembantu rumah tangga atau hanya sebagai buruh cuci dan menyetrika secara lepas.
Sebagian besar anak-anaknya yang lulus SMP dan SMA memilih bekerja di pabrik.
Sedikit sekali yang mengenyam pendidikan tinggi meskipun sesungguhnya dana dari
penjualan sawah lebih dari cukup untuk sekadar membiayai kuliah sampai jadi
sarjana. Sementara itu, Mak Angkrih menginginkan Agus, cucu semata wayangnya selepas
SMA nanti bisa kuliah meskipun dia menyadari kondisinya masih jauh panggang
dari api. Namun sedikit harta simpanannya berupa perhiasan emas siap untuk
dikorbankan.
“Hari gini masih
nganyam tudung!” canda seorang perempuan muda pada suatu siang.
“Apalah yang bisa kuanyam selain tudung, Marni?”
Mak Angkrih senyum-senyum seraya menyuir-nyuir bilahan bambu bahan anyaman
tudung.
Marni pun tersenyum
pula. “Kapan tengkulak datang lagi Mak?”
“Yang mana, Si
Sapri? Entahlah. Mungkin dia berhenti dagang tudungnya. Kabarnya dia usaha jual-beli
sepeda motor bekas.”
“Wah hebat, Mak?”
“Hebat. Ada utang
sama kamu?”
“Dua puluh lima rangkai tudung saya belum dibayar.”
“Sejak kapan?”
“Setahun lalu, Mak.”
“Cukup lama. Sudah
kau tagih?”
“Sudah bosan, Mak.
Dia mengaku lagi bangkrut. Selalu begitu.”
“Coba lagi, siapa
tahu dibayar, sekarang sedang maju usahanya.”
“Dia juga berutang
pada Emak?”
“Seratus.”
“Seratus rangkai Mak, belum juga dibayar?”
“Hanya dibayar
janji. Janji membayarnya tak juga ditepati.”
“Keterlaluan. Kurang
ajar dia!”
“Semoga saja
rezekinya dilancarkan. Biar dia bisa melunasi utang-utangnya. Gara-gara belum
juga dibayarnya sekolah Si Agus jadi terganggu. Teman-temannya ikut karyawisata
ke Jogja, Si Agus tidak bisa ikut, tak ada biaya. Dia cuma mendapat tugas dari
gurunya mendatangi kampus yang dekat. Untung dia bisa terima.”
“Ibunya memang
tidak mau membantu, mengirim uang jajan barangkali?”
“Ibunya entah
berada di mana.”
“Belum juga
berkabar, Mak?”
“Sudah lama.”
“Tapi masih hidup
Mak?”
“Mungkin.”
“Kasihan Si Agus,
Sejak ditinggal
pergi ibunya dalam usia tiga tahun Agus diurus oleh Mak Angkrih. Mak Angkrihlah
yang memenuhi segala kebutuhannya.
Beruntung cucunya itu pintar. Nilai rapornya tiap semester bagus terus.
Dengan begitu Mak Angkrih tidak merasa sia-sia mengurusi dan membiayai Agus.
Jika Mak Angkrih menanyakan cita-citanya Agus enggan menjawab, tapi Mak Angkrih
selalu menyemangati agar Agus punya cita-cita setinggi-tingginya.
“Jadi presiden
Gus?”
“Ah ketinggian, Nek.”
“Ya harus tinggi
Gus.”
“Biayanya tinggi
juga Nek?”
“Rezeki Allah yang
mengatur Gus. Kebutuhan kita Dia yang mencukupi. Kamu butuhnya apa? Berdoalah!
Semoga saja dikabulkan.”
“Kalau begitu, aku
ingin jadi sarjana, Mak.”
“Bisa. Mulai
sekarang belajarlah lebih giat lagi.”
“Baiklah, Mak.”
“Kata Guru Bakri,
kalau belajar di kelas harus banyak bertanya kepada guru. Kalau guru bertanya
harus dijawab. Jangan diam saja. Belajar itu harus berpikir kritis supaya
ilmunya bisa diperoleh. Kamu di kelas bagaimana Gus?”
“Jangan ditanya
Mak. Aku yang paling aktif bertanya dan menjawab pertanyaan guru. Pernah aku dimarahi
teman-teman gara-gara kebanyakan bertanya.”
“Bagus kalau begitu,
berarti kamu pintar. Aku mau kau sekolah yang tinggi, biar nanti jadi pegawai
negeri, di masa tua punya pensiun. Enak, kayak almarhum Si Amsar. Tukang sapu
dia, di Jakarta. Begitu pensiun, tiap bulan tinggal ambil gaji pensiun.
Sekarang gajinya turun ke istrinya, Si Nemah.”
“Sekarang untuk
jadi pegawai sulit Mak.”
“Tentu sulit Gus. Persainganya
ketat. Orang banyak yang mau. Tapi kamu cerdas Gus, pasti bisa.”
“Insya Allah Mak.”
“Pegawai itu harus
punya keahlian. Nanti kamu mau jadi ahli apa Gus?”
“Pertanian, Mak.”
“Lahan pertanian,
sawah dan ladang, di kampung ini telah habis Gus, berubah jadi perumahan.
Pekarangan, siapa yang punya pekarangan luas? Sudah tidak ada.”
“Sekarang bertani
tidak selalu harus di sawah atau di ladang, Mak.”
“Kalau bisa di
kantor, kamu pilih kerja di kantor Gus.”
“Iya Mak. Tapi
biaya kuliahnya mahal Mak.”
“Jual saja
perhiasan emas simpananku.”
“Sayanglah Mak. Itu
hasil jerih payah Emak.”
“Tidak mengapa Gus,
kamu harus sukses.”
“Amin, Mak. Untuk
bisa masuk di perguruan tinggi negeri harus lolos seleksi Mak.”
“Usahakan lolos
Gus.”
“Seleksinya sangat
ketat Mak.”
“Kamu pasti bisa
Gus.”
“Insya Allah Mak,
doakan aku Mak.”
“Gak putus-putus
Gus. Gusti Allah pasti menyayangi anak saleh dan akan memberinya yang terbaik
bagi kemaslahatan hidupnya.”
“Amin, Mak.”
Agus menyambung
tidurnya. Beberapa saat kemudian Mak Angkrih meluruskan badannya di atas kasur
yang dibelinya semasa almarhum suaminya masih hidup.
***
Rasudin, bungsu Mak
Angkrih ditinggalkan istrinya. Dia kecolongan, perempuan cantik kepincut tukang
bank keliling. Seringnya bertemu saat Rasudin tak ada di rumah membuka peluang
keduanya untuk menjalin asmara terlarang.
Rasudin tidak
berdaya. Dia nyaris saja bunuh diri karena prustasi. Agus yang masih berumur
dua tahun ketika itu dititipkan pada Mak Angkrih. Selanjutnya nasib naas
menimpa Rasudin kembali. Kecelakaan kareta api yang ditumpanginya turut merenggut
nyawanya. Sebulan kemudian, suami Mak Angkrih tutup usia akibat tetanus.
Praktis, segala urusan Agus menjadi beban Mak Angkrih. Hanya dengan cara
menganyam tudunglah Mak Angkrih menghidupi dirinya dan Agus. Siang-malam kegiatannya
hanya terfokus untuk menghasilkan rangkai,
rangka tudung. Dari mulai menebang bambu, memotong, menyuir
dan meraut, hingga menganyam dilakukannya sendiri. Agus tidak bisa diandalkan
untuk membantunya. Hanya sekali-sekali saja dia turun tangan. Mak Angkrih
selalu menyuruhnya belajar bersunguh-sungguh agar prestasi belajarnya baik.
Hasilnya, prestasi belajarnya Agus selalu berada di peringkat lima besar pada
angkatannya.
***
Kabar bahwa Agus
diterima di IPB (Institut Pertanian Bogor) melalui jalur undangan mengejutkan
Mak Angkrih sekaligus membahagiakannya. Agur merupakan siswa yang nilai
rapornya terbilang tinggi pada semester pertama sampai kelima, sehingga
terpilih untuk diusulkan mengikuti seleksi masuk IPB melalui jalur undangan.
“Alhamdulillah!” Mak Angkrih bersyukur. Tangannya menengadah
lalu mengusap wajahnya disambung dengan sujud syukur dalam beberapa detik.
“Terima kasih
cucuku, kamu membuat aku bangga.”
“Iya Nek. Ini
berkat doa dan dukungan nenek juga.”
Sesaat Mak Angkrih
terdiam.
“Walaupun berstatus
negeri biaya kuliahnya tetap mahal Nek. Tidak harus diambil kok Nek. Kalau sekarang tidak cukup biaya, aku kuliah bisa
kapan-kapan saja, bisa juga di kampus swasta yang biayanya lebih murah. Mungkin
aku akan mencari pekerjaan dulu, atau jadi driver ojek online.” Agus mengira Mak Angkrih keberatan jika harus
membiayainya.
“Lo kamu kok gitu
Gus. Kita harus tetap semangat. Masa depan yang cerah harus diperjuangkan.
Sekaranglah waktunya. Jangan membuang waktu. Kamu harus kuliah. Semoga Gusti
Allah akan mencukupkan biayanya.”
“Baiklah kalau begtu.”
“Semua perhiasanku
boleh dijual untuk biaya kuliah sampai kamu jadi sarjana pertanian. Oke Gus?”
“Oke Nek.”
Mak Angkrih menatap
wajah Agus. “Sepertinya kamu ragu Gus?”
“Untuk sampai
meraih gelar sarjana pertanian mungkin butuh hampir seratus juta Nek, apakah
cukup?” Perkiraannya, perhiasan emas Mak
Angkrih tak sampai seratus gram.
“Semoga cukup.
Gusti Allah yang akan mencukupkan. Rejeki bisa datang dari arah mana saja,
tugas kita berikhtiar Gus. Yakinlah, kau akan mendapatkan kemudahan sehingga
kau lulus jadi sarjana pertanian nanti.”
“Terima kasih Nek.”
“Siapkan segala
persyaratan yang dibutuhkan.”
“Siap Nek!”
Agus senang
keinginannya kuliah di IPB akan terlaksana. Sementara itu, diam-diam batin Mak
Angkrih kian bergejolak menepis segala keraguan dan rasa pesimis mengingat
harta yang dimilikinya tidak seberapa dibanding dengan biaya yang dibutuhkan
Agus sampai lulus kuliah. Sementara itu dirinya masih berharap tengkulak Sapri
dapat melunasi utangnya guna membiayai kuliah Agus.[]
Kerja lembur
untuk mengejar target dilakukan Mak Angkrih
jika kondisi kesehatannya memungkinkan. Kali ini dia ingin menggenapi jumlah
hasil pekerjaannya sebelum tengkulak datang memborongnya.
Agus terbangun dari
tidurnya.
“Tidurlah Nek, sudah larut malam.”.
“Tanggung. Mau
ngapain Gus?” Mak Angkrih tetap fokus pada pekerjaannya.
“Wudu.”
“Memangnya belum
salat Isya?”
“Tahajud Nek.”
“Ya, doakan
ibu-bapakmu.”
“Iya Nek.” Agus
segera berlalu.
“ Jangan lupa
doakan juga anyaman tudung nenek agar segera dibayar oleh Si Sapri.”
“Baik Nek.”
Mak Angkrih kembali
fokus pada pekerjaannya.
Mak Angkrih kini
sebagai perempuan tertua di antara beberapa warga Sukaminder yang masih
menganyam rangka tudung sebagai mata pencahariannya. Selain orang-orang yang seusianya
rata-rata telah tutup usia, juga keadaan lingkungan telah banyak berubah. Sejak
pesawahan di timur kampungnya dibebaskan perusahaan pengembang dan kini menjadi
kompleks perumahan dia tak lagi turun ke sawah sebagai buruh tani. Para petani
pun pensiun. Mak Angkrih masih tetap menganyam rangka tudung, pekerjaan yang
digelutinya sejak kecil. Kebun bambu
yang sebelumnya mencapai hampir setengah luas kampung kini tinggal beberapa
rumpun saja. Kebun bambu telah menjelma rumah-rumah. Diperkirakan rumpun
bambu yang tersisa akan punah sampai dia
tutup usia.
Seiring dengan itu sebagian
besar kaum perempuan pun memilih pensiun dari pekerjaan menganyam tudung. Baik
kaum laki-laki maupun perempuan yang semula bertani kemudian beralih pekerjaan.
Ada yang jadi pedagang, tukang ojek, tukang becak, pengangkut sampah, bahkan tukang parkir di
pasar. Beberapa orang perempuan ada yang menyambi sebagai tukang urut dengan
pemakai jasa utamanya warga kompleks perumahan dan sekitarnya. Di antara kaum
perempuan yang masih muda dan tenaganya masih kuat banyak juga yang menjadi
pembantu rumah tangga atau hanya sebagai buruh cuci dan menyetrika secara lepas.
Sebagian besar anak-anaknya yang lulus SMP dan SMA memilih bekerja di pabrik.
Sedikit sekali yang mengenyam pendidikan tinggi meskipun sesungguhnya dana dari
penjualan sawah lebih dari cukup untuk sekadar membiayai kuliah sampai jadi
sarjana. Sementara itu, Mak Angkrih menginginkan Agus, cucu semata wayangnya selepas
SMA nanti bisa kuliah meskipun dia menyadari kondisinya masih jauh panggang
dari api. Namun sedikit harta simpanannya berupa perhiasan emas siap untuk
dikorbankan.
“Hari gini masih
nganyam tudung!” canda seorang perempuan muda pada suatu siang.
“Apalah yang bisa kuanyam selain tudung, Marni?”
Mak Angkrih senyum-senyum seraya menyuir-nyuir bilahan bambu bahan anyaman
tudung.
Marni pun tersenyum
pula. “Kapan tengkulak datang lagi Mak?”
“Yang mana, Si
Sapri? Entahlah. Mungkin dia berhenti dagang tudungnya. Kabarnya dia usaha jual-beli
sepeda motor bekas.”
“Wah hebat, Mak?”
“Hebat. Ada utang
sama kamu?”
“Dua puluh lima rangkai tudung saya belum dibayar.”
“Sejak kapan?”
“Setahun lalu, Mak.”
“Cukup lama. Sudah
kau tagih?”
“Sudah bosan, Mak.
Dia mengaku lagi bangkrut. Selalu begitu.”
“Coba lagi, siapa
tahu dibayar, sekarang sedang maju usahanya.”
“Dia juga berutang
pada Emak?”
“Seratus.”
“Seratus rangkai Mak, belum juga dibayar?”
“Hanya dibayar
janji. Janji membayarnya tak juga ditepati.”
“Keterlaluan. Kurang
ajar dia!”
“Semoga saja
rezekinya dilancarkan. Biar dia bisa melunasi utang-utangnya. Gara-gara belum
juga dibayarnya sekolah Si Agus jadi terganggu. Teman-temannya ikut karyawisata
ke Jogja, Si Agus tidak bisa ikut, tak ada biaya. Dia cuma mendapat tugas dari
gurunya mendatangi kampus yang dekat. Untung dia bisa terima.”
“Ibunya memang
tidak mau membantu, mengirim uang jajan barangkali?”
“Ibunya entah
berada di mana.”
“Belum juga
berkabar, Mak?”
“Sudah lama.”
“Tapi masih hidup
Mak?”
“Mungkin.”
“Kasihan Si Agus,
Sejak ditinggal
pergi ibunya dalam usia tiga tahun Agus diurus oleh Mak Angkrih. Mak Angkrihlah
yang memenuhi segala kebutuhannya.
Beruntung cucunya itu pintar. Nilai rapornya tiap semester bagus terus.
Dengan begitu Mak Angkrih tidak merasa sia-sia mengurusi dan membiayai Agus.
Jika Mak Angkrih menanyakan cita-citanya Agus enggan menjawab, tapi Mak Angkrih
selalu menyemangati agar Agus punya cita-cita setinggi-tingginya.
“Jadi presiden
Gus?”
“Ah ketinggian, Nek.”
“Ya harus tinggi
Gus.”
“Biayanya tinggi
juga Nek?”
“Rezeki Allah yang
mengatur Gus. Kebutuhan kita Dia yang mencukupi. Kamu butuhnya apa? Berdoalah!
Semoga saja dikabulkan.”
“Kalau begitu, aku
ingin jadi sarjana, Mak.”
“Bisa. Mulai
sekarang belajarlah lebih giat lagi.”
“Baiklah, Mak.”
“Kata Guru Bakri,
kalau belajar di kelas harus banyak bertanya kepada guru. Kalau guru bertanya
harus dijawab. Jangan diam saja. Belajar itu harus berpikir kritis supaya
ilmunya bisa diperoleh. Kamu di kelas bagaimana Gus?”
“Jangan ditanya
Mak. Aku yang paling aktif bertanya dan menjawab pertanyaan guru. Pernah aku dimarahi
teman-teman gara-gara kebanyakan bertanya.”
“Bagus kalau begitu,
berarti kamu pintar. Aku mau kau sekolah yang tinggi, biar nanti jadi pegawai
negeri, di masa tua punya pensiun. Enak, kayak almarhum Si Amsar. Tukang sapu
dia, di Jakarta. Begitu pensiun, tiap bulan tinggal ambil gaji pensiun.
Sekarang gajinya turun ke istrinya, Si Nemah.”
“Sekarang untuk
jadi pegawai sulit Mak.”
“Tentu sulit Gus. Persainganya
ketat. Orang banyak yang mau. Tapi kamu cerdas Gus, pasti bisa.”
“Insya Allah Mak.”
“Pegawai itu harus
punya keahlian. Nanti kamu mau jadi ahli apa Gus?”
“Pertanian, Mak.”
“Lahan pertanian,
sawah dan ladang, di kampung ini telah habis Gus, berubah jadi perumahan.
Pekarangan, siapa yang punya pekarangan luas? Sudah tidak ada.”
“Sekarang bertani
tidak selalu harus di sawah atau di ladang, Mak.”
“Kalau bisa di
kantor, kamu pilih kerja di kantor Gus.”
“Iya Mak. Tapi
biaya kuliahnya mahal Mak.”
“Jual saja
perhiasan emas simpananku.”
“Sayanglah Mak. Itu
hasil jerih payah Emak.”
“Tidak mengapa Gus,
kamu harus sukses.”
“Amin, Mak. Untuk
bisa masuk di perguruan tinggi negeri harus lolos seleksi Mak.”
“Usahakan lolos
Gus.”
“Seleksinya sangat
ketat Mak.”
“Kamu pasti bisa
Gus.”
“Insya Allah Mak,
doakan aku Mak.”
“Gak putus-putus
Gus. Gusti Allah pasti menyayangi anak saleh dan akan memberinya yang terbaik
bagi kemaslahatan hidupnya.”
“Amin, Mak.”
Agus menyambung
tidurnya. Beberapa saat kemudian Mak Angkrih meluruskan badannya di atas kasur
yang dibelinya semasa almarhum suaminya masih hidup.
***
Rasudin, bungsu Mak
Angkrih ditinggalkan istrinya. Dia kecolongan, perempuan cantik kepincut tukang
bank keliling. Seringnya bertemu saat Rasudin tak ada di rumah membuka peluang
keduanya untuk menjalin asmara terlarang.
Rasudin tidak
berdaya. Dia nyaris saja bunuh diri karena prustasi. Agus yang masih berumur
dua tahun ketika itu dititipkan pada Mak Angkrih. Selanjutnya nasib naas
menimpa Rasudin kembali. Kecelakaan kareta api yang ditumpanginya turut merenggut
nyawanya. Sebulan kemudian, suami Mak Angkrih tutup usia akibat tetanus.
Praktis, segala urusan Agus menjadi beban Mak Angkrih. Hanya dengan cara
menganyam tudunglah Mak Angkrih menghidupi dirinya dan Agus. Siang-malam kegiatannya
hanya terfokus untuk menghasilkan rangkai,
rangka tudung. Dari mulai menebang bambu, memotong, menyuir
dan meraut, hingga menganyam dilakukannya sendiri. Agus tidak bisa diandalkan
untuk membantunya. Hanya sekali-sekali saja dia turun tangan. Mak Angkrih
selalu menyuruhnya belajar bersunguh-sungguh agar prestasi belajarnya baik.
Hasilnya, prestasi belajarnya Agus selalu berada di peringkat lima besar pada
angkatannya.
***
Kabar bahwa Agus
diterima di IPB (Institut Pertanian Bogor) melalui jalur undangan mengejutkan
Mak Angkrih sekaligus membahagiakannya. Agus merupakan siswa yang nilai
rapornya terbilang tinggi pada semester pertama sampai kelima, sehingga
terpilih untuk diusulkan mengikuti seleksi masuk IPB melalui jalur undangan.
“Alhamdulillah!” Mak Angkrih bersyukur. Tangannya menengadah
lalu mengusap wajahnya disambung dengan sujud syukur dalam beberapa detik.
“Terima kasih
cucuku, kamu membuat aku bangga.”
“Iya Nek. Ini
berkat doa dan dukungan nenek juga.”
Sesaat Mak Angkrih
terdiam.
“Walaupun berstatus
negeri biaya kuliahnya tetap mahal Nek. Tidak harus diambil kok Nek. Kalau sekarang tidak cukup biaya, aku kuliah bisa
kapan-kapan saja, bisa juga di kampus swasta yang biayanya lebih murah. Mungkin
aku akan mencari pekerjaan dulu, atau jadi driver ojek online.” Agus mengira Mak Angkrih keberatan jika harus
membiayainya.
“Lo kamu kok gitu
Gus. Kita harus tetap semangat. Masa depan yang cerah harus diperjuangkan.
Sekaranglah waktunya. Jangan membuang waktu. Kamu harus kuliah. Semoga Gusti
Allah akan mencukupkan biayanya.”
“Baiklah kalau begtu.”
“Semua perhiasanku
boleh dijual untuk biaya kuliah sampai kamu jadi sarjana pertanian. Oke Gus?”
“Oke Nek.”
Mak Angkrih menatap
wajah Agus. “Sepertinya kamu ragu Gus?”
“Untuk sampai
meraih gelar sarjana pertanian mungkin butuh hampir seratus juta Nek, apakah
cukup?” Perkiraannya, perhiasan emas Mak
Angkrih tak sampai seratus gram.
“Semoga cukup.
Gusti Allah yang akan mencukupkan. Rejeki bisa datang dari arah mana saja,
tugas kita berikhtiar Gus. Yakinlah, kau akan mendapatkan kemudahan sehingga
kau lulus jadi sarjana pertanian nanti.”
“Terima kasih Nek.”
“Siapkan segala
persyaratan yang dibutuhkan.”
“Siap Nek!”
Agus senang
keinginannya kuliah di IPB akan terlaksana. Sementara itu, diam-diam batin Mak
Angkrih kian bergejolak menepis segala keraguan dan rasa pesimis mengingat
harta yang dimilikinya tidak seberapa dibanding dengan biaya yang dibutuhkan
Agus sampai lulus kuliah. Sementara itu dirinya masih berharap tengkulak Sapri
dapat melunasi utangnya guna membiayai kuliah Agus.[]
Komentar
Posting Komentar