[Cerpen Usman Hermawan] Cinta Yang Tertahan: Jangan Tanya Kapan Kawin
Semasa aku kelas lima bapak merantau ke Korea
Selatan dan bekerja sebagai buruh pabrik. Bapak merupakan orang pertama di desa
kami yang bekerja di sana. Aku sepenuhnya dalam asuhan ibu. Memberikan
kebebasan yang sebebas-bebasnya kukira merupakan cara ibu menyayangiku. Mungkin
itu cara yang salah bagi sebagian orang, tapi tidak bagi ibu.
Yang penting salatnya dijaga. Itu yang ibuku wanti-wanti
kepadaku. Aku boleh main ke mana saja dan pulang kapan saja. Biasanya setelah
salat isya aku pergi dan pulang dini hari, tidak masalah. Aku nyaman bergaul
dengan anak-anak yang usianya di atas usiaku. Mereka anak-anak putus sekolah. Ibu
megenal mereka satu per satu. Ibu kerap memberi mereka uang jajan sehingga
mereka baik terhadapku. Pergaulan dengan mereka berlangsung sampai aku lulus
SMA.
Bapak pulang ketika Korea Selatan mengalami krisis
moneter. Setelah keadaan membaik bapak kembali ke sana. Kiriman uang dari bapak
lancar diterima ibu. Secara ekonomi keluarga kami terbilang makmur. Aku
diterima kuliah di perguruan tinggi negeri di Semarang. Biaya kuliahku
tercukupi. Sebagian uang kiriman bapak yang terkumpul dibelikan tanah.
Setelah sekian lama jadi TKI bapak pulang untuk
tidak kembali. Uang yang bapak bawa terbilang banyak. Bapak mencoba mencari
peruntungan dengan membuka usaha tambak udang. Namun sayang, gagal panen. Bapak
merugi dan bangkrut.
Sisa uang bapak masih ada. Atas saran seorang
tetangga, bapak memulai usaha berjualan garam menggunakan sepeda motor. Garam
kemasan dibeli dari pabrik, bapak mengedarkannya ke warung-warung. Usaha bapak
lancar. Bapak termasuk orang kedua yang berjualan garam dengan sepeda motor,
kebanyakan pedagang lain menggunakan sepeda ontel. Pesanan yang bapak terima
mengalami peningkatan.
Selanjutnya bapak ingin naik tingkat. Untuk
membesarkan usahanya bapak menjual aset berupa tanah yang pernah dibelinya. Bapak
jadi pengepul. Barang dagangannya berubah
menjadi garam briket (berbentuk bata). Bapak mendapatkannya dari warga petani
garam. Pesanan pertama mencapai satu ton, berikutnya terus meningkat sampai
sepuluh ton. Usaha bapak mengalami kemajuan. Wilayah pengirimannya meliputi
kawasan Cirebon, Karawang, Bekasi dan Tangerang.
Meningkatnya penghasilan meningkat pulalah
kesejahteraan keluarga kami. Kendati dalam hal keuangan tercukupi tapi aku
tidak boros. Ibu pernah mengingatkan, seberapa pun uang yang aku terima itu
hasil keringat bapak. Aku harus menghargainya. Jika belum bisa menghasilkan
uang maka harus bisa berhemat.
Untuk kepentingan operasional usahanya bapak membeli
tiga unit mobil bak terbuka dengan cara kredit. Usaha bapak bertambah maju
karena pengiriman barang dagangan terbantu. Untuk menambah modal bapak
mengajukan pinjaman dana ke bank. Bapak dibantu oleh tujuh orang karyawan. Mengetahui
keberhasilan bapak, hampir tiap hari ada tamu yang datang hanya untuk meminjam
uang. Sebagai anak pengusaha sukses aku pun dihargai banyak orang dengan sikap
ramah yang berlebihan.
Tahun ketiga ketika cicilan mobil belum lunas muncullah
kebijakan pemerintah yakni adanya impor garam. Harga garam impor lebih murah
dari garam lokal. Meskipuu rasanya agak pahit Akibatnya garam lokal kalah saing.
Bapak kehilangan pelanggan. Dalam waktu yang relatif singkat usaha bapak terus
melorot lalu bangkrut, uang habis, utang banyak. Tiga unit kendaraan yang belum
lunas ditarik pihak daeler.
Kalau ditanya kenapa aku tidak pernah punya pacar? Selain
tampangku pas-pasan juga mungkin karena aku lebih sibuk dengan buku-buku bacaan.
Kebiasaan sejak SMA terbawa hingga aku jadi mahasiswa di perguruan tinggi
negeri. Dengan segala keterbatasan dan
mungkin sedikit kelebihan pada diriku aku yakin bercita-cita menjadi guru.
Kini hidup di perantauan dan menjadi guru honor aku
terus berjibaku dengan kekurangan uang. Setiap bulan, sebagian gajiku yang tak
seberapa harus aku kirim untuk biaya kuliah adikku. Andai saja keadaan berkecukupan
bapak dan ibu tidak berharap bantuan dari aku. Sebenarnya untuk biaya hidup
sendiri dan membayar kontrakan gajiku bisa aku cukup-cukupkan. Namun aku masih
bersyukur karena bisa membantu meringkan beban orang tua. Kondisi seperti itu
berimbas kepada jalinan cintaku dengan Vidia.
Gerimis malam Minggu mengiringi keberangkatanku ke
kediaman Vidia di kompleks perumahan Harapan Kita. Tak seperti biasa, sikapnya
dingin, sedingin udara malam itu. Basa-basiku tak berhasil mencairkan kebekuan suasana.
Seolah dia tak sudi menerima kehadiranku. Aku salah tingkah.
“Apa yang ingin kau katakan, katakanlah!” tegasku.
Dia enggan bicara.
“Sebutlah satu kesalahanku.”
“Capek.”
Aku diam, berusaha memahami keadaannya. “Aku juga
capek kalau kau diam.”
Emosinya terpancing, nada bicaranya meninggi. “He
Mas, kau tahu berapa usiaku bukan, dan berapa usiamu? Bukan remaja lagi. Bukan
waktunya bermain-main. Penjajakan kita sudah cukup. Menunggu sampai jadi
pegawai negeri, sampai kapan. Teman-teman seusiaku di kampung sudah punya anak
dua. Ketika orang-orang bertanya kapan kawin, aku sebel Mas, sebel. Rasanya jatuh
harga diriku!”
Kendati dia berusaha menunjukkan kemarahan tapi aku
melihatnya seperti sedang minta dimanja. Vidia memang menggemaskan.
Beruntunglah aku dapat melunakkan hatinya. Sejujurnya, aku pun ingin segera
menikahinya. “Terus...”
“Kamu tidak berniat serius.”
“Kalau serius, apa yang harus aku lakukan?”
“Datanglah orang tuamu ke sini, melamar, atau walau
pun tak membawa apa-apa minimal ada bahasanya.”
“Sabar yah, insyaallah dalam waktu dekat.”
“Insyaallah melulu.”
“Ini
pasti. Akan secepatnya aku bicarakan dengan ibu.”
“Terima kasih. Sebentar yah, aku buatkan kopi.” Dia
berlalu.
Rasanya terlalu lama jika menunggu waktu pulang ke Cirebon.
Esok harinya aku menelepon ibu. Tentu saja ibu yang aku telepon karena ibulah
yang dipasrahi bapak berbagai urusan keluarga. Mengenai hubunganku dengan Vidia
kerap aku bisarakan dengan ibu. Aku mengutarakan keinginanku. Aku diminta ibu
agar sabar. Di ujung percakapan ibu mengingatkan agar segera mengirim uang
setelah gajian nanti. Percakapan singkat dengan ibu menyisakan rasa penasaran
sehingga aku sangat berharap ibu segera datang ke kontrakanku. Entah apa yang
akan disampaikan ibu jika dihadapkan dengan ayah Vidia.
Sejujurnya aku sudah bosan dengan pertanyaan basa-basi
dari teman-teman Kapan kawin? Seolah mereka tidak tahu bahwa untuk menikah dan berumah tangga dibutuhkan berbagai persiapan
yang tidak mungkin aku penuhi saat ini barulah mereka mengerti.
Tak ada janji manis yang kuberikan kepada Vidia. Aku
tidak berani. Kukira Vidia akan menerima aku apa adanya sehingga aku berani berkata,
“Kita bisa memulai hidup bersama mulai dari nol.” Kuharap dia setuju. Ternyata
tidak. Katanya aku harus punya tabungan, sedangkan saldo tabunganku tidak bisa
diharapkan. Setiap ada uang gaji masuk langsung habis untuk membayar sewa
kontrakan dan utang-utang bekas makan setelah mengirim kepada ibu dan adik.
Kadang-kadang aku makan dari belas kasihan teeman-teman yang memahami.
***
Aku menjemput ibu di terminal Poris dan pada
akhirnya sampai juga ibu di kontrakanku untuk pertama kalinya. Kupikir, kejutan
apa yang akan ibu berikan? Ternyata ibu menangis. “Zis jangan dulu kawin.
Tunggu sampai adikmu selesai kuliah. Kalau kamu sekarang menikah siapa yang
akan membiayai kuliahnya, juga bantu-bantu keuangan ibumu ini. Keadaan bapak
sampai saat ini belum bisa diharapkan.”
Peran bapak tidak lagi bisa diharapkan. Setiap hari
pergi pagi pulang malam, bahkan sering tak pulang. Pernah sekali waktu aku
mendapati bapak sedang duduk sendiri di gubuk pemakaman kampung, mungkin sedang
merenungi diri sekaligus menghindari penagih utang. Bapak seperti kehilangan kewarasan akibat
kebanyakan utang, terlebih rumah yang ditempati telah disegel bank. Pokoknya
untuk sementara tak ada yang bisa diharapkan dari bapak. Bapak sering membuat
ibu malu karena sering mambuat utang baru. Ketika aku berada di rumah tugasku
membantu ibu menyambut setiap tamu yang datang menagih utang. Teman-teman bapak
yang dulu sering datang hanya untuk mengobrol sambil ngopi tak seoramg pun
muncul.
Aku mengira ibu minta diantar ke rumah Vidia untuk sekalian
bertemu dengan calon besan. Ternyata tidak, ibu minta bertemu dengan Vidia di
kontrakanku. Aku dimintanya menjemput Vidia. Tak sampai hati jika aku membantah
keinginan ibu. Terpaksa aku meminta pengertian Vidia agar bersedia memenuhi
permintaan ibu. Untung Vidia tak keberatan.
Ternyata di luar dugaanku, ibu mencerikatan hal yang
sebenarnya. Ibu setuju kami menikah tapi tidak dalam waktu dekat karena aku
masih membiayai kuliah adik sekitar satu setengah tahun lagi. Dimintanya dengan
sangat agar Vidia bersabar. Tak ada ekspresi penolakan pada raut wajah Vidia,
yang ada kepatuhan dan kepasrahan. Di mata ibu Vidia merupakan calon mantu yang
berbudi mulia. Kukira dia pandai menyembunyikan hal sebenarnya yang menjadi
ganjalan dalam hatinya. Ibu pulang dengan perasaan tenang karena dikiranya
masalahku reda. Aku yakin Vidia berpura-pura. Dia pandai menyimpan gejolak
dalam hatinya.
Hari berganti, keragukan terhadap ketulusan cinta
Vidia meningkat. Meskipun sejujurnya aku amat mencintainya tapi apalah daya
ibarat malam masih sore. Menanti fajar terbit hanya akan menambah
penderitaannya. Lagi pula menikah dengan aku bukan solusi bagi hidupnya yang
berharap masa depannya seterang sinar matahari
pagi. Menyadari hal itu aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan cinta
dengan Vidia. Kumohonkan maaf beribu maaf atas segala kesalahanku. “Cukuplah
kita saling bersaudara,” kataku.
Vidia dapat memahami dan menerima keputusanku.
Matanya meleleh. Batinku kehilangan kebahagiaan dalam beberapa hari. Tak
kukatakan hal itu kepada ibu. Ketika ibu menanyakan kabarku, kukatakan bahwa
aku baik-baik saja. Menjelang tanggal gajian ibu mengingatkan agar aku tidak
lupa mentransfer uang ke rekening adik.
Dalam tempo beberapa bulan saja aku mendapat kabar
dari seorang teman bahwa Vidia telah menikah dengan pemuda yang masih ada
hubungan kerabat. Aku kaget. Kupikir, mengapa dia tidak mengabari aku, tapi apa
pula perlunya dia mengabari aku. Mungkin itu keputusan yang baik. Berlalulah
sudah cerita tentang Vidia. Hal terindah dengan sendirinya telah tersimpan
dalam memori. Dia telah ada yang memiliki dengan kehidupan sendiri.
Kapan kawin? Pertanyaan itu masih diucapkan oleh
rekan-rekan kerjaku. Aku tak kuasa membungkam mulut siapa pun. “Insyaallah dalam
waktu dekat,” jawabku sembarang. Jawaban itu memicu pertanyaan berikutnya
hingga menjadi obrolan panjang di ruang guru. Menyusul kabar baik dari ibu yang
membuat aku nyaris tidak percaya.
Melalui sambungan telepon ibu meminta agar aku
segera melamar Vidia. “Untuk biaya kawin dan beli sepeda motor seken
mudah-mudahan cukup Zis.”
Berat rasanya mulutku untuk mengatakan hal yang
sebenarnya. “Ibu punya uang dari mana?”
“Pokoknya ada-lah!”
Aku ragu dan
khawatir ibu mengalami gangguan kejiwaan. “Ibu sehat?”
“Sehat walafiat Zis.”
“Duitnya untuk bayar utang-utang bapak saja Bu.”
“Cukup Zis. Sebagiannya untuk biaya kamu kawin dan
biaya wisuda adikmu.”
Aku masih belum yakin akan kebenaran bahwa ibu punya
cukup uang. Sesuai rencana sebelumnya aku pun pulang ke Cirebon. Saat bapak tak
ada di rumah aku minta ibu menunjukkan bukti bahwa ibu punya uang dan
menjelaskan asal-usulnya. Ibu menunjukkan buku rekening BRI. Saldonya lumayan
fantastis untuk ukuran keadaan keluarga kami dan keadaanku sebagai guru honorer
di rantau.
Tentang asal usul uang itu ibu bercerita cukup
panjang. Singkatnya begini, semasa hidupnya kedua orang tua ibu mewakafkan
tanahnya untuk dibangun masjid melalui sebuah yayasan. Namun setelah pihak
yayasan hendak memulai pembangunannya masyarakat sekitarnya menolak.
Terbengkalailah lahannya hingga hampir tiga puluh tahun. Belakangan ada pihak perusahaan (PT) yang
ingin membelinya konon akan dibangun pabrik konveksi. Terjadilah sengketa yang
melibatkan pihak yayasan, ketua RT dan RW setempat, dan ahli waris orang tua
ibu yang diwakili oleh kakak kedua ibu. Entahlah bagaimana cerita detilnya,
tapi hasilnya lahan yang sepertinya cukup luas itu dikembalikan kepada ahli
waris. Terjadilah transaksi antara kakak ibu dengan pihak PT. Ujung-ujungnya
ibu pun kebagian durian runtuh. Ibu senang bukan kepalang.
Bapak belum diberi tahu. Inu ngin membuat kejutan.
Ibu mengajakku melamar Vidia. Kukatakan bahwa Vidia telah menjadi istri orang. Ibu
mendadak syok. Wajahnya mengeriput menahan tangis. Matanya berlinang-linang.
Disekanya air mata dengan dengan punggung tangannya. Dengan nada lirih, ibu
meminta maaf. Kendati disergap rasa sedih aku berusaha tegar dan menenangkan
ibu.
Ibu menyemangati agar aku segera mencari calon istri yang aku cocok, dana tersedia.
Namun aku justru yang meminta ibu mencarikan jodoh untukku. Sungguh! Siapa pun
yang ibu pilihkan aku akan menerimanya, gadis atau janda.[]
Komentar
Posting Komentar