(Diari) Bangga Punya Sepeda
Kubatalkan niat membeli sepeda seken. Akhirnya aku terbeli
juga sepeda gunung baru melalui aplikasi Lazada. Tiba di rumah Kamis
(18/1/2024). Keinginanku terkabul. Aku senang. Meskipun tidak mahal, tapi juga
tidak paling murah kukira. Aku suka dengan bentuk batang dengan posisi miring
menaik ke as stang.
Lebih dari tiga tahun
aku mengidamkannya. Pemicu keinginanku adalah banyaknya orang lain yang
menggunakan sepeda gurung dalam berolah raga. Sebelum ke Bima (NTB) menyertai
istri pulang kampung (juni-Juli 2022) aku mampir ke toko sepeda di Pasar Anyar
(seberang stasiun) hanya untuk melihat-lihat. Aku tertarik. Aku katakan nanti
saja belinya, sepulang dari Bima. Ternyata, ketika aku masih berada di sana, ada kabar bahwa pompa air mati. Warga yang
mengontrak di tempatku kerepotan. Beberapa upaya dilakukan, pada akhirnya
berhasil. Torn air kembali terisi. Sesampainya di rumah diputuskanlah untuk mengebor
sumur baru agar tidak terjadi kekurangan air. Dana yang sedianya untuk membeli
sepeda pun terpakai.
Waktu berjalan terus. Di tengah aku berharap punya sepeda
gunung, anak dari adikku dibelikan sepeda baru oleh ayahnya. Ada pula anak lain
yang punya sepeda gunung. Ada banyak juga anak lain yang naik sepeda gunung.
Setiap kali jogging di stadion Persita (Bojong Nangka) banyak juga orang yang
menggunakan sepeda gunung. Kukira, tidak berlebihan jika aku (sebagai orang
dewasa yang punya penghasilan) menginginkan sepeda gunung untuk kepentingan
olahraga dan kepentingan lainnya.
Mengapa aku belum juga terbeli sepeda gunung, mungkin karena banyaknya
kebutuhan primer yang harus dipenuhi semisal menyelesaikan bangunan kontrakan yang dananya
mencapai puluhan juta. Sepedaku ini merknya Police Vancouver warna merah abu
termasuk ongkir Rp 2.608.500, seharga emas 24 karat hampir tiga gram. Selanjutnya
aku belikan kelengkapannya berupa standar, holder air minum dan tas kecil. Tak
langsung aku pakai sepeda tersebut. Aku masih menunggu ada kesempatan yang pas.
Aku belum pernah sama sekali menaiki sepeda gunung. Jadi masih canggung.
Bicara tentang sepeda, ada pengalaman masa lalu yang tak
terlupakan. Semasa kecil, aku terbilang lelet dalam kemampuan bersepeda. Aku
baru lancar naik sepeda saat kelas empat ketika anak-anak di bawah usiaku sudah
terampil. Prosesnya lumayan lama. Kegilaan bersepeda saat itu terbentur dengan
kepentingan kakak, sehingga kerap terjadi perebutan. Ayah menengahinya dengan
cara mengunci dan mencopoti pedalnya.
Semasa SMP aku pun naik sepeda sejarak lima kilo. Dari
Gurubug ke SMP Negeri Curug di Jalan Sukabakti 2. Kakakku kelas tiga naik motor
Yamaha RX 100. Hanya sekali-sekali aku dizinkannya menggunaka motor itu. Motor
dalam penguasaan dia. Saat kelas dua semester dua, tahun 1985, permintaaku
dikabulkan. Aku dibelikan Abah sepeda balap di pasar Anyar Tangerang. Adaa
spidometernya. Sepeda dinaikkan di atas angkot sampai terminal Cimone, lanjut
pindah ke isuzu turun di Pasar Curug, lanjut dengan mobil bak bak sampai depan
rumah. Harga sepeda tersebut seratus ribu, suatu harga yang tidak murah ketika
itu. Harga perhiasan emas 24 karat Rp
12.850. Uang seratus ribu bisa untuk membeli perhiasan emas 24 karat seberat
7,78 gram. Harga sekarang (Januari 2024) harga emas tersebut mencapai satu
jutaan. Sepeda tujuh jutaan, bukan harga yang murah. Dengan sepeda itu aku
mencoba memberanikan diri gowes pagi di aspal mulus sampai ke Parungpanjang,
pagi-pagi kehujanan. Minggu berikutnya gowes lagi sampai ke Lebak Wangi dekat
gunung Sudamanik, Kabupaten Bogor sejarak sekitar 27 km. Itu suatu pencapaian
yang luar biasa bagiku ketika itu.
Dengan sepeda pula saat kelas 3 SMP semester ganjil aku
nekat ke Studio Radio Sturada di Cikokol melalui jembatan dekat Masjid Agung Al
Ittihad untuk membacakan puisiku. Pada
kesempatan lain apes, ban sepedaku tertusuk paku besar dekat bioskop Bumyamca,
sebelum jembatan Cisadane. Aku menuntun sepeda, mencari bengkel tambal ke arah
Karawaci. Ketemulah bengkel di ujung Gang Sukajadi.
Sesekali aku bawa sepeda tersebut kubawa ke lapangan bola,
sekalian pamer karena aku bangga. Setahuku belum ada warga kampungku yang punya
sepeda sejenis itu. Kuletakan sepeda di dekat lapangan bola, agak tepi sawah.
Kutinggalkan adak jauh. Kubiarkan sepedaku menjadi tontonan orang-orang.
Ternyata ada juga yang berinisistif meminum air yang kusediakan. Demikian pula
yang kedua kalinya. Pada hari lainnya aku berinisiatif ng-prank mereka. Air minumnya
aku campur dengan garam. Benar saja, pada saatnya mereka meminumnya dan
belokekan karena asin. Aku menang, dalam hati. Namun di belang hari yang
terjadi adalah batang sepedaku mengalami korosi akibat terkena air garam yang
tersembur dari mulut anak-anak itu. Tah kitu lur! *(Usman)
Komentar
Posting Komentar