Asal Nama Bonang



 Catatan Usman Hermawan, Warga Gurubug

 Pada sekitar awal tahun 1986, yang saya lihat, terpasang papan nama di area milik pengembang perumahan lahan tepi jalan raya Bojongnangka (dulu penulisannya serangkai). Bertuliskan PT BONANG SUAKARSA INDAH. Bisa dikira, bahwa Bonang berarti singkatan dari Bojong Nangka. Dengan begitu orang kemudian menyebutnya Bonang. Jadi sebutan Bonang ditujukan untuk kawasan permahan itu, bukan untuk kawasan Bojong Nangka yang  telah dihuni warga sejak dulu.  Pada Juli dan Agustus 1986 ketika saya mulai sekolah SPG (Sekolah Pendidikan Guru) di Tangerang, rumah yang terhuni baru sekitar puluhan. Ada tulisan bahwa di dalam perumahan tersebut ada nama DASANA INDAH dan BUMI INDAH. Selanjutnya, sebutan Dasana lebih populer daripada Bumi Indah.

Tanah yang dijadikan perumahan tersebut berada di kawasan desa Bojong Nangka yang meliputi wilayah, Bojong Nangka, Kampung Bambu Gurubug, dan Babakan.  Sebagian besarnya adalah sawah dan tegalan. Proyek tersebut bukan saja melahap sawah dan lahan tanah darat yang kurang produktif, tapi meluas ke lahan yang bisa dibangun rumah warga untuk keturunannya kelak.Banyak warga tergiur menjual tanahnya. Area keseluruhan yang dibangun perumahan menjadi cukup luas. Area yang sekian luas tadinya milik ratusan orang.

Ada nama yang saya tahu memiliki lahan cukup luas, seperti Babah Kuwok yang di atas lahan bekas rumanya belakangan  berdiri Puskesmas Bojong Nangka. Ada juga Babah Cacin yang lahannya kemudian jadi sebagian blok SH  Kabarnya beliau beserta keluarganya pindah ke Lampung. Tahun-tahun belakangan, lahan sawah milik Haji Temu dibatrer, kemudian dibangun ruko yang letaknya dekan kolam renang Daxsen. 

Pihak pengembang, yang biasa berhubungan dengan warga yang menjual lahannya biasa akrab dengan panggilan Bapak Pepen. Menjual sawah dan kebon merupakan solusi instan untuk mengatasi masalah kekurangan uang. Dari hasil penjualan tanah sebagian warga membeli sepeda motor, membangun rumah, dan berbagai barang konsumtif. Harga yang ditawarkan mulai dari Rp 750. Seiring waktu, ketika kakek saya, Hamdi, menjual tanah, dan saya pun ikut memegangi meterannya, harganya Rp 1500 per meter. Ya, seribu lima ratus rupiah. Terbilang murah ketika itu.  Itu sekira tahun 1981 ketika harga perhiasan emas 24 karat kurang dari sepuluh ribuan per gram.

Dunia terus berubah. Zaman berubah. Alam berubah. Sawah berunah jadi rumah. Satu persatu manusia pun tutup usia dan regenerasi. Ribuan rumah terisi. Penduduk bartambah padat. Keramaiannya bisa kita saksikan sekarang.[]


Artikel ini memungkinkan untuk diperbarui.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesona Burayot, Sebuah Catatan Perjalanan ke Garut

HP Hilang, Susah pun Terbayang

[Catatan Perjalanan] Dari Pasar Lama ke Rumah Sakit