Catatan Perjalanan ke Singapura dan Malaysia

 

 

DUA MALAM DI SINGAPURA

(CURHAT MENJELANG TIDUR)

                                                              Oleh:Usman Hermawan


 




Istriku, damailah di rumah. Inilah Singapura, negeri yang mengumbar cerita dan pesona karena kemajuannya. Tak bermimpi aku bisa berada di sini. Ini kali pertama aku bermalam di Singapura, Rabu malam (13/11/2013) . Kukira, tak seorang pun warga RT 001 RW 005 kampung kita yang melancong di negeri Singa malam ini, kecuali aku. Bersyukurlah Gusti Alloh memberikan kesempatan ini.  Hostel (bukan hotel) tempat kami menginap namanya “WOW”.  Sungguh, “WOW” namanya.Tak perlu kau iri ataupun khawatir, di sini aku baik-baik saja.  Alhamdulillah,  nyamuk pun tak kujumpai. Meskipun namanya “WOW”  ternyata tidak kutemukan wow luar biasa di kamar ini. Ruangnya 4 x 6. Berisi 4 ranjang tingkat yang berarti 8 kasur. Temperatur udara sedang, tak dingin juga tak panas. Kini aku rebahan di ranjang atas. Di bawahku rekan Didek. Ranjang di sebelahku bagian atasnya ditempati Sudji, pemuda asal Jepang yang sedang mencari kerja. Di bawahnya lupa aku namanya, lelaki Jerman.  Dua ranjang yang dekat dengan pintu ditempati oleh Mas Gong, Firman, Rahel, dan Harir.  Untung orang dari negara lain tadi bukan perempuan, sehingga aku tak mengalami sensasi tak nyaman karenanya.  Kabarnya, di sini hal biasa jika dalam satu kamar di isi oleh laki-laki dan perempuan, tak peduli bukan muhrim dan beda bangsa.  

Tadi siang sejak keluar dari bandara Changi  kami naik MRT (Mass Rapid Transit) alias kereta monorel. Canggih.  Membeli tiket pun cukup beraudiensi dengan mesin. Tak ada pemeriksaan tiket dalam kereta. Sebelum naik kereta, tiket di-scan di pintu masuk stasiun. Tiga lantai gedung stasiunnya berada di bawah tanah. Jadi, jalur kereta ada empat susun.  Orang begitu  banyak berseliweran di dalam tanah. Subhanallah! Kereta  melaju cepat di rel bawah tanah.   Dari stasiun ke stasiun tak perlu waktu lama. Tak banyak waktu terbuang untuk menanti kereta tiba. Segalanya serba cepat, termasuk cara orang berjalan. Tak kutemukan orang bingung atau pun berbengong ria dan cekikikan sambil santai. Semuanya serius dengan dirinya sendiri-sendiri. Pangling! Sepintas seperti berada di dunia lain. Lingkungannya juga bersih. Tak mudah mendapati sampah yang dibuang orang di sembarang tempat.  Gembel dan pengemis tak kutemukan di sini. Benarkah warga di sini semuanya sejahtera?  Atau orang miskin dilarang pamer? Entahlah!

Istriku, untung juga kau tak ikut serta. Selain karena ongkosnya tak cukup dan harga-harga di sini terasa mahal karena rupiah bernilai amat rendah, juga capek karena banyak berjalan kaki. Selain itu banyak pula  berdiri dalam kereta karena semua kursi terduduki.  Namun masih untung, kereta  tak sampai berjubel. Hawa dalam kereta tetap sejuk. Perjalanan tetap menyenangkan. Tiba di stasiun Bugis kami berjalan kaki sekitar dua kilometer, menyebrang jalan. Tak ada jembatan penyeberangan, juga tak ada macet kendaraan. Langkah kami hanya terhambat oleh lampu merah.  

Tiba di sekitar Masjid Sultan pukul enam waktu setempat. Masjid Sultan ialah sebuah masjid yang terpenting dan terpopuler  di Singapura. Terletak di Jalan Muscat kawasan Kampung Glam. Konon masjid ini dibangun tahun 1824 pada masa kepemimpinan Sultan Hussain.  Bagian tertinggi Masjid Sultan tertutup oleh kubah besar berwarna keemasan. Masjid Sultan juga tercatat sebagai Monumen Nasional Singapura. Hanya di masjid ini adzan boleh dikumandangkan dengan pengeras suara, katanya. Waktu magrib pukul sembilan belas kurang sepuluh menit. Selisih sedikit dengan waktu magrib di kampung kita.  Aku shalat di situ. Jamaah shalat magrib terlampau banyak. Imam bersuara empuk, menyejukkan.

Berikutnya adalah makan gratis. Kau tahu kan, dengan gratisan aku selalu berminat? Pak Apha, sahabat Gol A Gong, dosen UNTIRTA yang  mengikuti program doktoral di sini, mengajak kami makan malam (makan enak!) di kawasan Marina Bay. Jaraknya lumayan jauh. Malam begitu teduhnya. Kereta MRT  melaju begitu cepat. Udara ber-AC damaikan perjalananku bersama para “maestro”. Kereta meninggalkan Stasiun Bugis, membawa kami ke stasiun  Raffles Place lalu menyambung ke Stasiun Marina Bay. Tak butuh waktu lama, kereta gesit dan cekatan  itu membukakan pintu bagi penumpang dengan sistem komputernya .  Pembangunan transportasi yang begitu maju memungkinkan mobilitas manusia berlangsung efektif. Sungguh, cukup nyaman berkendara dengan MRT. Tiba di kawasan Marina Bay mataku terbelalak menyaksikan panorama malam dalam balutan aneka cahaya lampu .  Marina Bay tampak eksotis. Berjalan kaki berbelok kiri-kanan kurang dari satu kilometer  tibalah di pusat jajan.

Teluk Marina atau Marina bay adalah sebuah teluk yang dijadikan kawasan wisata, belanja, tempat tinggal dan bisnis. Di sini terdapat gedung-gedung perkantoran bertingkat yang menghadap ke laut, mall tempat belanja, hotel dan apartemen, bahkan konon tempat dugem yang terkenal berada di daerah ini. Marina Bay terletak di paling selatan pulau Singapura. Marina Bay bertambah cantik karena dipersolek cahaya lampu aneka warna.

***

Istriku, lembo ade, berlapang dadalah, bersabarlah!  Ini baru malam kedua. Maafkan aku kalau kau kesepian. Empat malam lagi aku pulang. Malam begini larutnya. Si Jepang sedang lelap, sedangkan si Jerman belum tiba. Siang tadi kami menyambangi NTU (Nanyang Technologcal University). Banyak jalan kakinya, lumayan melelahkan. Kalau pun kau ikut pastilah kecapekan.  Seperti jaelangkung, datang tak diundang, pulang tak diantar! Begitulah kami di NTU. Maklumlah kami cuma pelancong. Bisa memasuki area kampus, menikmati perpustakaan dan suasana kampus, berfoto-foto tanpa ada yang melarang dan mencurigai pun cukuplah sebagai kehormatan, kukira. Kang Arif sebagai alumni kampus itu menjadikan aku tidak merasa terlalu asing di situ. Penjelasan-penjelasannya berarti bagiku.  Melihat situasi NTU, aku melihat budaya akademik terbangun rapi. Di ruang terbuka sekalipun para mahasiswa dengan serius belajar. Tak tampak dari mereka ada yang bercanda, apalagi pacaran. Sungguh, kondisi budaya kampus yang patut ditiru.  

Di awal memasuki area kampus perutku mules. Hasrat ingin buang hajat nyaris tak tertahankan. Masuklah aku ke kamar kecil, lalu kubuka kamar yang lebih kecil lagi. Duh Gusti! Tak ada air buat ceboknya. Yang tersedia cuma tisu. Pertanyaanku sebelumnya saja belum terjawab, dibuang ke mana tisu bekas lapnya? Di beberapa kamar kecil yang kumasuki tak tersedia tempat sampah.  Belakangan baru aku sadari, berarti tisu bekas mengalapnya dibuang di kloset. Aku bayangkan betapa tidak nyaman jika setelah buang hajat lalu dilap dengan tisu. Hiiiiih, jijay! Aku memilih mempertahankannya agar tidak keluar. Sungguh berat perjuanganku saat itu. Konfik batin tak terelakkan. Beruntung, lama-lama mereda. Bahkan aku lupa dengan mulesku hingga berjam-jam kemudian. 

Keluar dari area kampus NTU, kami naik bus kemudian bersambung dengan kereta hingga tiba di kawasan Orchad Park. Itu kawasan pavorit wisata belanja pejabat Indonesia, kata Kang Arif. Memasuki pusat kuliner aku memilih makan di restoran Indonesia. Harga makanan  lumayan mahal jika diukur dengan rupiah. Aku makan  nasi dengan ayam goreng seharga 6,8 dolar. Kalau dirupiahkan x 9500. Ada banderol harga yang terbaca. Nasi uduk spesial 6,7 dolar, bakso sapi komplit 6,7 dolar, soto ayam Madura 6,7 dolar. Pelayannya orang Sukabumi. Di area itu pula Kang Arif menunjukkan meja tempat pertemuan Gayus Tambunan (terkait kasus pajak) dengan orang KPK untuk diajak pulang ke Indonesia. Depan restoran Padang.

Istriku. Sudah dulu yah. Sepat mataku. Ngantuk!

 

 

 

 

 

MALAYSIA:

DARI MOTOSIKAL SAMPAI TANDAS AWAM

Oleh: Usman Hermawan

 



Dalam pengertian awam, istilah bahasa Melayu mencakup sejumlah bahasa yang saling bermiripan yang dituturkan di wilayah Nusantara dan di Semenanjung Melayu. Sebagai bahasa yang luas pemakaiannya, bahasa ini menjadi bahasa resmi di Brunei, Indonesia (sebagai bahasa Indonesia), dan Malaysia (juga dikenal sebagai bahasa Malaysia); bahasa nasional Singapura; dan menjadi bahasa kerja di Timor Leste (sebagai bahasa Indonesia). Bahasa Melayu merupakan lingua franca bagi perdagangan dan hubungan politik di Nusantara sejak sekitar A.D 1500-an. Migrasi kemudian juga turut memperluas pemakaiannya. Selain di negara yang disebut sebelumnya, bahasa Melayu dituturkan pula di Afrika Selatan, Sri Lanka, Thailand selatan, Filipina selatan, Myanmar selatan, sebagian kecil Kamboja, hingga Papua Nugini. Bahasa ini juga dituturkan oleh penduduk Pulau Christmas dan Kepulauan Cocos, yang menjadi bagian Australia. (Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Melayu)

Meskipun sama-sama barasal dari bahasa serumpun, yakni bahasa Melayu, Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia memiliki banyak perbedaan, selain banyak pula persamaannnya. Perbedaan latar belakang sejarah merupakan salah satu faktor yang menyebabkan adanya perbedaan itu.  Karena berbeda, bagi orang Indonesia seperti aku yang baru pertama kali masuk Malaysia, bahasa Malaysia di ruang publik itu banyak yang unik menggelitik, lucu, atau aneh. Mungkin, hal serupa dirasakan pula oleh orang Malaysia terhadap bahasa Indonesia. Kuamati tulisan yang terdapat di ruang publik. Jumat (15/11/2013), lewat tengah hari, keluar dari wilayah Singapura dan memasuki Malaysia, dari dalam bus menoleh ke sisi kiri jalan mulai kudapati rambu petunjuk bertuliskan motosikal, di bawahnya bergambar sepeda motor. Sebagai negara bekas jajahan Inggris,  bahasa Malaysia mendapat pengaruh kuat dari bahasa Inggris. Kata yang diserap dari bahasa Inggris merujuk kepada pengucapannya, bukan kepada tulisan atau ejaan Inggrisnya. Motorcycle menjadi motosikal. Di sampingnya terdapat rambu petunjuk bertuliskan kereta persendiri, mungkin maksudnya adalah khusus mobil. Mobil di Malaysia disebut kereta, sedangkan kereta disebut tren dari kata train. Kalau motorcycle menjadi motosikal mengapa untuk menyebut mobil tidak menggunakan kata car yang dimalaysiakan menjadi kar? Wallahu alam!  Itulah barangkali yang disebut sebagai manasuka bahasa.  Beberapa meter dari rambu tersebut terdapat baliho bertuliskan Welcome Johor Bahru. Ya, kiranya kami tiba di kawasan Johor.

Memasuki pusat keramaian Johor Senter beberapa orang dari kami menukarkan uang di Johor Interchange. Aku menukar sisa dolar Singapura dengan ringgit, SGD 53,00 menjadi RM 134,09; dan Rp 400.000 menjadi RM 108.  Satu  ringgit sama dengan tiga ribu tujuh ratus rupiah. Duh prihatin! Dengan ringgit pun rupiah kalah! Barangkali itu sebabnya TKW asal Malaysia tidak tertarik dengan rupiah di Indonesia.

Lupakan nilai rupiah. Aku coba menerka-nerka kembali makna atau maksud dari tulisan di ruang publik yang sempat kulihat. Di bagian lain, kudapati papan reklame bertuliskan internetan percuma setiap masa. Bagi orang Indonesia tulisan itu agak janggal.  Dalam bahasa Indonesia tulisan itu bisa menjadi “internetan gratis setiap saat”. Percuma berarti gratis, cuma-cuma. Percuma dalam bahasa Indonesia berarti tidak berguna atau sia-sia. Di bagian bawah papan reklame tersebut tertulis sentiasa ada, sentiasa percuma.  Mungkin maksudnya, selalu ada selalu gratis.

Di dinding gedung ada rambu larangan merokok. Tulisan sejenis tak sukar ditemui di ruang publik. Tulisannya: Dilarang Merokok, Denda Tidak Melebihi Rm 10 000 atau Penjara tidak Melebihi 2 Tahun.  Prasa “tidak melebihi” dalam bahasa Indonesia bisa ditulis “maksimal”. Itu lebih efektif. Masih di dinding gedung. Kubaca tulisan: Jika Berlaku Kecemasan Sila ke Kawasan Berkumpul. Aku mesti berpikir dulu untuk memahaminya. Mungkin maksudnya jika dalam keadaan darurat silakan berjalan ke tempat berkumpul atau tempat yang luas. Ah, rasanya kurang sedap!

Setelah makan dan istirahat di Johor, kami bertolak ke Kuala Lumpur dengan bus. Sepanjang perjalanan  terdapat tulisan-tulisan yang menurutku tidak lazim, tetapi juga unik. Kedai Motosikal,  maksudnya  deler sepeda motor.  Itu mudah ditebak karena di toko itu terpajang banyak sepeda motor. Di Indonesia kata “kedai” digunakan untuk tempat menjual makanan atau minuman, seperti kedai kopi.    Tak jauh dari kedai motosikal terdapat tempat pencucian mobil  bertuliskan tempat pencucian kereta. Sepintas terkesan lucu. Di Indonesia tak ada tulisan seperti itu. Paling juga tulisannya “Cuci Mobil.”

Bus yang kami tumpangi berhenti di pom bensin Petron. Terdapat sebuah tulisan kecil dekat dispenser pom. Kukira maksudnya “bayarlah dengan uang pas” seperti yang lazim ditemukan di Indonesia. Pada sebuah toko swalayan di area pom bensin itu pun ternyata ada juga pada spanduk bertulisankan :  jimat dan bayar dengan mata ganjaran. Cukup membingungkan, apa artinya tuh? Kesannya mistis. Kutanya sang pemandu. Ternyata jimat sama dengan hemat, mata ganjaran sama dengan sepadan. Berarti hemat dan bayar dengan sepadan. Maksudnya? Gak jelas!

Turun dari bus menyambung dengan kereta. Di tiang bangunan dan dalam kereta menuju Kuala Lumpur terdapat tulisan No Smoking. Itu sih biasa saja. Rambu-rambu larangan lain dalam kereta  yang bagi orang Indonesia tidak lazim adalah prasa melekatkan gula-gula getah.  Maksudanya permen karet, mungkin. Ada pula larangan berkelakuan sumbang. Tak ada larangan bertuliskan seperti itu di Indonesia. Artinya kira-kira berbuat buruk seperti gaduh atau berisik. Di lokasi lain, di tepi jalan dalam kawasan Kuala Lumpur aku dapati rambu petunjuk bertuliskan Transit Stesen KL  Sentral. Station dari bahasa Inggris ditulisnya dan dibacanya stesen. Demikian pula dengan kata Sentral dari kata central. Tak jauh dari situ, di sebuah persimpangan dekat zebra cross ada tulisan peringatan untuk pengemudi yakni “Awas Orang Buta Melintas”. Sepertinya kurang santun. Mungkin bahasa Malaysia tidak punya kosa kata “tuna netra.

Minggu pagi (17/11) kami berempat, aku, Mas Gong, Ibnu, dan Salam (yang lain tak ikut) berjalan kaki menuju kawasan Cina Town tepatnya Jalan Petaling. Dapat kutemui tulisan di ruang publik yang mengelitik. Di Jakarta, sebagai pusat segalanya, nama jalan umumnya didahului dengan tulisan JL. (huruf  kafital disertai titik). Menurut EYD penyingkatan yang benar Jln. Kalau tidak disingkat tulis saja Jalan. Kudapati tulisan Jalan Tun Sambathan 3. Tak jauh dari situ pada rambu-rambu penunjuk tertulis Jln. Bangsar,  dan Jln. Maharajalela.  Selanjutnya, kudapati rambu-rambu bergambar bus dengan tulisan Lorong Bas, 6 Pagi – 8 Malam, kecuali Hari Ahad dan kelepasan AM.  Untuk memahaminya aku harus “mengheningkan cipta” dulu sejenak. Maksud dari kelepasan di situ mungkin hari libur.

Rasanya tak kurang dari tiga kilometer kami berjalan kaki. Mencari sarapan pagi di China Town (Jalan Petaling) tidak mudah. Khawatir makanannya tidak halal. Kami harus keluar, ke jalan lain. Usai makan kami kembali melintasi jalan Petaling untuk selanjutnya shopping di area kaki lima, pusat penjualan barang bekas.  Mas Gong membeli “muk ajaib” seharga lima ringgit, sedangkan aku membeli over steker kaki tiga (colokan listrik) seharga dua ringgit. Tujuh ribuan rupiah. Harga segitu di Indonesia, barangnya baru. 

Sekembali dari kawasan China Town kami menempuh jalan lain, masih berjalan kaki.   Lewat sedikit dari Asia University ada rambu-rambu bertuliskan Sila Gunakan Jejantas untuk Menyeberang Jalan, Denda RM 500.  Setelah melewati jembatan penyeberangan ada lagi rambu-rambu bertuliskan Sila Gunakan Jejantas untuk Menyeberang Jalan. Tulisan itu maksudnya mudah ditebak karena berada di dekat jembatan penyeberangan. Mungkin, jejantas artinya jembatan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tak ditemukan kata jejantas. Belasan meter kemudian tampak rambu-rambu penunjuk bertuliskan Jln. Kampong Attap, tetapi langkah kami tak mengarah ke sana.

Masuklah kami ke kawasan India Town. Ada banyak orang India kumpul-kumpul. Ternyata mereka sedang beribadah. Aku tak dapat menolak ketika seseorang memberiku segelas kopi. Kali terus melangkah, pada salah satu cabang jalan utama terdapat plang petunjuk  bertuliskan Lorong Padang. Kayak di Indonesia! Sampai pada perempatan ada rambu-rambu peringatan bertuliskan Awas Kurangkan Laju. Kurangi kecepatan. Betul? Lampu merah menyala. Dua orang buta menyeberang, sendiri-sendiri. Beberapa saat kemudian tibalah kami di tempat semula, Sentral Lodge.

Menjelang tengah hari rombongan bergerak menuju stasiun kereta untuk selanjutnya menuju UKM (Universiti Kebangsaan Malaysia). Di kawasan stasiun  terdapat larangan  merokok, “ Stesen Sentral Kuala Lumpur adalah kawasan larangan merokok. Perokok boleh didakwa di mahkamah di Bawah Peraturan-Peraturan Kawalan Hasil Tembakau (PPKHT) 2004 dan boleh  didenda tidak lebih RM 10,000 atau penjara tidak lebih dua tahun jika sabit kesalahan” .  Ada pula peringatan tercetak: AMARAN (Akta Pengangkutan Awam Darat 2010) Surcaj RM 30.00 Boleh Dikenakan Sekiranya Menaiki Tren Tanpa Tiket Yang Sah. Artinya, pikir sendiri yah!  Tulisan lain dalam kereta yang sempat kujumpai adalah tempat duduk untuk warga emas dan orang kurang upaya ada di dalam. Kata pemandu kami, yang dimaksud warga emas adalah orang penting seperti pejabat.

Beberapa saat kemudian kereta yang kami nantikan tiba. Dalam waktu singkat kami naik dan kerata pun tancap gas (eh, kereta listrik pakai gas atau tidak yah?). Di dalam kereta terdapat pintu darurat yang kacanya boleh dipecahkan jika dalam keadaan terpaksa, demi menyelamatkan diri. Tersedia palu besi agak mirip pistol. Di bawahnya  tertera bacaan “Tukul Kecemasan”.  Aku teringat Tukul Arwana (pelawak) dan Tukul guru kesenian di sekolah tempatku bertugas. Hehehe tukul! Bahasa Inggrisnya Emaegency Hammer. Sekitar setengah jam tibalah di stasiun tujuan. Kami dijemput oleh saudara Syaiful Akbar, mahasiswa asal Indonesia yang kuliah S3 di sana. Berjalan kaki dua ratus meter sampailah di area kampus UKM.  Di sebuah saung tunggu, atas dorongan kawan-kawan, Rahel (penyair  Banten yang sangat terkenal di kampungnya, Waringin Kurung) baca puisi. Dahsyat gayanya! Sayang penontonnya cuma kami. Aku salut dengan semangat dan pedenya.

Kami masih harus naik bus untuk menuju kampus yang kedua, mungkin kampus pusat. Butuh waktu belasan menit. Turun dari bus, berjalanlah ratusan langkah, ada plang bertanda panah dengan tulisan “Pusat Pengajian Sains Matematik Fakulti Sains dan Teknologi”.  Sedikit berbeda dengan ejaan Indonesia. Pada plang merah bersegi delapan terdapat tulisan Berhenti bukan stop seperti di Indonesia. Aku ikhlaskan semua itu! Sasaran tuju kami adalah Perpustakaan Tun Seri Lanang. Butuh waktu yang agak lama untuk bertemu dengan pejabat perpustakaan. Di area perpustakaan terdapat  tulisan: Zon Senyap. Di atasnya ada jadwal buka perpustakan bertuliskan  Waktu Perkhidmatan. Pahamlah! Kami sempat melihat-lihat koleksi buku. Kiranya, banyak buku yang berasal dari Indonesia. Ada terbitan Gema Insani Press, Serambi, dan Bulan Bintang.  Di ruang baca, saat aku asyik ngobrol dengan Rahel tiba-tiba seorang mahasiswa pengunjung perpustakaan menegur kami. “Bang, saya nak belajar, jangan berisik.” Rahel belum paham. “Ini Malaysia!” tegas mahasiswa itu agak kesal. Aku jelaskan maksudnya. Rahel pun minta maaf. Selanjutnya kami senyap. Pejabat yang dinanti tak kunjung tiba, akhirnya penyerahan sejumlah buku diwakilkan kepada bawahannya.

Saat hendak kembali kami menanti bus di halte kampus. Ada pamplet pertunjukan teater. Salah satu tulisannya Masuk Percuma! Kalau di Indonesia orang tidak mau menonton karena tidak ada gunanya, masuk sis-sia. Namun yang dimaksudkan adalah masuk gratis!

Esok harinya, Minggu (17/11), usai mengunjungi Batu Chaves (Kuil dalam Gua), sasaran mengarah ke kawasan  Dataran Merdeka, sebelum akhirnya beraudensi dengan 12 TKI di Restoran Es Teler 77. Perjalanan lumayan jauh, cukup melelahkan. Namun pemandangan di kiri-kanan jalan sayang jika dilewatkan.  Satu kawan kami yang sering tertinggal di belakang adalah Firman Venayaksa, berjuluk fotografer mualaf. Sambil istirahat aku tunggu dia. Semua kawan lainnya terus berjalan, agak jauh di depan. Begitu dekat denganku, dia malah belok kiri memasuki bangunan kecil yang bertuliskan:Tandas Awam. “Selamat menikmati tandas awam, Kawan!” gumamku. Itulah Malaysia. (*)

 



Komentar

Postingan Populer