[cerpen] Matamu Katarak
Usman Hermawan
Ketika aku naik motor, seseorang yang sebenarnya aku kenal menyapaku dengan isyarat pada jarak sekira lima meter. Aku tak menyadari karena aku tak melihat mukanya dengan jelas. Pengelihatanku agak buram, berkabut. Hal seperti itu berulang kali terjadi. Kukira mereka kecewa dan mengira aku angkuh. Aku tak enak hati hingga kemudian ada seseorang yang aku mintai maaf, aku jelaskan penyebabnya.
Pandanganku terasa tidak bersih. Untuk membaca teks
di bawah sinar matahari yang amat terang aku kesulitan, silau. Faktor penyebab
ketidaknormalan pengelihatanku mungkin akibat radiasi sinar dari laptop dan HP
yang terus menerus, selain faktor usia.
Pada pencahayaan di ruangan daya lihat mataku terasa
biasa saja. Namun ketika berada di luar ruang dengan pencahayaan sinar marahari
yang terang terasa ada penghalang, melihat jauh tampak buram dan silau. Teks
pada kertas pun tak tampak jelas.
Dokter spesialis mata yang menangani pengobatan
ibuku menyarankan agar kami anak-anaknya memeriksakan mata, khawatir mengalami
masalah mata seperti ibu, mungkin glaukoma. Masa-masa sebelum tutup usia ibu
mengalami kebutaan. Seandainya itu terjadi pada kami, ngeri. Naudzubillah.
Mengingat hal itu, aku didera kekhawatiran.
Dengan begitu kukira memeriksakan mata kepada
ahlinya menjadi penting. Seorang adikku telah memeriksakan matanya lebih dulu.
Adik-adikku yang lainnya belum melakukannya.
Rencanaku ke Puskesmas untuk periksa mata terulur-ulur hingga sekian
lama.
Tibalah saatnya, aku menghadap dokter umum di Puskesmas
B. Maksudku hendak meminta surat rujukan untuk dibawa ke dokter spesialis mata
di rumah sakit. Sang dokter laki-laki menatap mataku tanpa alat apa pun. “Katarak,”
cetusnya spontan. Aku heran, kok semudah itu, tanpa pengamatan yang teliti. Dia
mulai menulis resep. Aku heran, “Terus?” Seperti spontan juga dia menjawab,
“Harus ganti lensa.” Aku bertambah heran, tapi tak berani protes. Kukira dia
ingin agar aku meminum obat dan tidak ke dokter spesialis dulu sehingga aku
tidak bersikukuh meminta surat rujukan.
Aku enggan bertanya lebih jauh. Kuterima saja resep
yang ditulisnya. Aku ambil obat di loket apotek. Ternyata diberi vitamin. Tentu
saja aku tak puas. Kuhabiskan dalam tiga hari seraya berharap mendapat dampak
baik. Ternyata tak ada pengaruh berarti terhadap pengelihatanku. Aku jadi tidak
percaya dengan kemampuan dokter itu. Padahal, sepertinya dia dokter senior di
situ. Entahlah, apakah dia sedang punya masalah pribadi dtau masalah dinas.
Seperti kata dokter senior itu, mataku mengalami
katarak. Jika kembali ke puskesmas untuk urusan mata aku enggan. Masalah mata
aku abaikan dulu. Sekalipun aku ke puskesmas keperluannya untuk berobat
penyakit lain. Seiring waktu, masalah mata kepikiran juga. Hingga kurang dari
setahun kemudian aku mencoba datang ke Rumah Sakit Umum Kabupaten (RSUK) untuk memeriksakan
mataku guna mendapatkan keterangan yang valid dari ahlinya.
Pendaftarannya tidak di loket umum, melainkan
langsung ke poli mata. Tiba di poli mata aku menghadap ke suster penerima
pendaftaran di depan ruang praktek dokter spesialis mata. Maksudku ingin
memeriksa mataku dengan biaya sendiri, tanpa BPJS. Bulan-bulan sebelumnya aku
berobat ke poli THT biayanya terjangkau. Kukira nominal biayanya kurang
lebihnya sama karena sama-sama spesialis. Aku katakan bahwa menurut dokter di
puskesmas mataku mengalami katarak. Aku ingin memastikan kebenarannya.
“Jangan Pak, mahal. Pakai BPJS saja.” Suster pertama
menolak.
Aku heran. Padahal aku hanya ingin memeriksa kondisi
mataku.
“Bikin rujukan saja Pak.” Suster kedua menambahkan.
Aku terdiam sesaat. “Cuma periksa Bu, benarkah
katarak. Saya bayar pribadi saja.”
“Mahal pak, mending pakai BPJS.”
“Memang berapa biayanya?”
“Sayang Pak, mending buat kebutuhan yang lain
uangnya. Bikin rujukan saja.”
Aku memendam rasa heran. Apakah mereka kira aku
tidak punya uang? Kok tahu. Kalau sekadar untuk membayar jasa dokter kukira
uang yang kubawa cukup.
Kedua suster menunjukkan sikap yang sama. Aku tak
puas dengan responsnya, tapi apalah daya. Aku tahu bahwa operasi mata pasti
biayanya tinggi, padahal aku hanya ingin memeriksa. Harapanku, dengan alat yang
tersedia dan dokter ahli hasilnya akan akurat. Karena enggan bersitegang, aku
pun mengalah. Aku tak habis pikir, mengapa begitu? Penyakit katarak menjadi
momok bagiku, terlebih dengan pengelihatanku yang tidak menjadi lebih baik
setelah menghabiskan obat dari puskesmas.
Aku abaikan masalah mata sekian lama. Namun belakangan
terjadi hal yang membahayakan. Ketika aku sedang menuju kawasan Rajeg hendak
kondangan tiba-tiba motor yang berada di kanan depanku membelok ke kiri. Aku
kaget. Seketika aku mengerem, tapi karena terlalu dekat tertabraklah bagian
tengahnya. Motorku terterguling, motor dia juga. Kami bangkit berbarengan.
Tadinya aku mau langsung jalan, tapi karena laki-laki itu mendekat sambil
bersungut-sungut, maka akupun mendekat.
“Bapak kenapa tiba-tiba belok?” kataku.
Dia tidak terima. Bicaranya meninggi. “Nyalahin
orang lagi. Matamu katarak! Tidak lihat aku sudah pasang sen, tuh masih nyala!”
Aku malas berdebat. Aku meminta maaf seraya
menyodorkan tangan. Dia terima walau mulutnya masih menggerutu. Untung
kejadiannya dalam kecepatan rendah sehingga kami tidak ada yang terluka.
Mungkin kejadian itu akibat aku terlalu fokus ke depan dan tidak melihat lampu
sen motornya menyala. Mungkinkah karena pengelihatanku yang kurang awas?
Benarkah mataku katarak? Padahal, saat mengendarai motor jika ada perempuan
seksi di depan aku bisa melihat jelas. Astagfirullahalazim.
Selasa, aku mencoba kembali ke Puskesmas B untuk
meminta surat rujukan. Aku ingin memeriksa mata ke dokter spesialis di rumah
sakit. Setelah melalui antrean, aku memasuki ruang praktek umum. Tekanan
darahku ditensi dengan alat tensi manual. Hasilnya tekanan atasnya 145. Lumayan
tinggi. Pantas kepalaku kurang nyaman. Selanjutnya aku menghadap dokter. Aku
katakan bahwa aku ingin minta surat rujukan untuk berobat ke dokter spesialis
mata di rumah sakit. Aku katakan pula bahwa dokter lain di sini mengatakan
bahwa mataku menderita katarak. Benarkah?
Mataku disorotnya dengan lampu pada HP. Katanya, di
bagian pinggir ada sedikit putih, mungkin ini karena faktor usia. Dia tidak menyebutnya katarak. Aku disarankan
memeriksakan mata ke optik terdekat yang bekerja sama dengan BPJS, yakni Optik
J di kawasan Gading Serpong, Cibogo. Pergilah aku ke sana, jaraknya kurang dari
dua kilo. Diperiksalah mataku dengan alat optik. Gratis. Hasilnya tertera pada
secarik kertas berupa angka-angka. Katanya, mata kananku plus tiga, sedangkan
mata kiri tidak terdeteksi.
Pernah aku mengecek mata kiriku. Satu garis lurus
pada lantai menjadi berbayang, tampak dua garis yang tidak simertis, sedangkan
mata kanan garis yang tampak tidah berbayang.
Esok harinya, Rabu, aku kembali menghadap dokter
yang sama, terlebih dulu mendaftar dengan nomor antrean. Tekanan darahku
kembali ditensi. Hasilnya angka atasnya 120, berarti normal. Kuberikan hasil
cek mata dari optik J. Dokter perempuan itu mencermatinya, lalu meminta rekannya
membuatkan surat rujukan. “Mau ke rumah sakit mana?” tanyanya. Aku memilih
rumah sakit terdekar, yakni MK. Sebentar saja jadilah.
Aku langsung ke rumah sakit MK, ke bagian informasi.
Katanya, dokter yang aku maksudkan sedang cuti. Aku dipersilakan mendaftar mulai Senin,
empat hari kemudian melalui nomor WA yang dia tunjukkan. Kufoto nomornya.
Tiba di rumah aku mengecek tekanan darahku dengan
tensimeter digital milikku, yang kerap diklaim tidak akurat. Ternyata 131.
Entahlah, apakah tekanan darahku pluktuatif atau alatnya yang tidak akurat.
Aku kirimkan pesan melalui WA, bahwa aku ingin
mendaftar berobat ke poli mata BPJS untuk besok, Rabu. Ada balasan berupa
formulir. Aku isi dan kirim formulir pendaftaran. Selanjutnya mendapat balasan
lagi: Mohon maaf, pendaftaran perjanjian Konsultasi Dokter tidak dapat
dilakukan pada tanggal tersebut, karena Slot tidak tersedia pada tanggal
tersebut. Disertai kode pembukuan 5614971 dengan dokter Sri Nawung, spesialis
mata. Jadwal berobat 30 Mei, pukul 13.00.
Tanggal yang ditawarkan adalah lima pekan mendatang,
sebulan lebih. Lumayan lama, tapi aku tidak terlalu kaget karena aku pernah
mendengar ucapan seorang dokter di sebuah klinik bahwa ada dokter spesalis mata
yang untuk berobat kepadanya calon pasien harus antre selama tiga bulan.
Entahlah, apakah sang dokter kelewat sibuk melayani banyak pasien di beberapa
rumah sakit, atau dokternya liburan ke luar negeri. Karena kondisinya memang
tidak terlalu darurat aku terima saja.
Pada saatnya, kembalilah aku ke rumah sakit MK. Aku hampiri petugas bagian informasi. Diarahkannya aku ke komputer pendaftaran di lantai dua. Dua monitor hidup dan satu mati. Aku bingung, tak ada petugas yang dapat kumintai tolong. Beberapa saat berlalu, muncullah seorang perempuan muda dengan satu anak. Dia pun hendak mendaftar. “Tolong!” cetusku spontan. Dia bersedia. Dia pun hendak mendaftar. Dengan lancarnya dia mendaftar atas nama dia. Selanjutnya dia membantuku. Aku mencari-cari keyboard, ternyata layar sentuh. Nomor BPJS aku masukkan. Klik, muncullah namaku. Perempuan tersebut berlalu untuk melihat antrean di konter. Kuteruskan langkah berikutnya dengan terbata-bata. Sesaat kemudian dia kembali, “Bisa Pak?”
“Tinggal ngeprint,”
kataku. Aku hendak menyentuh bagian print. Dia mengiyakan. Terdengarlah
bunyi mesin sedang mencetak. Aku mencari-cari lubang keluarnya kertas. Ternyata
di bagian bawah. Keluarlah nomor antrean 163. “Terima kasih,” kataku. Perempuan
itu ke kursi tunggu. Aku pun ke kursi tunggu seraya mengamati nomor antrean
yang tertera di layar monitor.
Sekira setengah jam berlalu, tibalah gilirnku.
Petugas memasukkan data di komputernya. Tak berapa lama, diberinya aku secarik
kertas dan diarahkan ke poli mata, lurus mentok belok kiri. Ada belasan orang
yang antre di depan ruang praktek dokter spesialis mata, dokter Sri Nawung.
Mulailah aku menikmati antrean, menanti dipanggil.
Seketika aku teringat cetusan Mas Tarino, teman
kerjaku, dalam obrolan santai soal
Adisty. “Matamu katarak!” Adisty adalah
teman kerja kami yang kerap diperbincangkan karena hanya dia yang berstatus
janda dan masih muda. Terjadilah perdebatan kecil, menurutku Adisty cantik,
atau setidaknya ada manisnya. Sembarangan saja Mas Tarino mengatakan mataku
katarak. Perdebatan kami hanya sebatas soal cantik dan tidak. Sungguh
perdebatan yang tiada guna karena kami telah beristri. Maskipun begitu
setidaknya sebagai laki-laki kami masih normal dan bisa menghibur diri.
Jika benar mataku katarak pasti akan merepotkan
sekaligus mengerikan jika harus dioperasi. Sejujurnya, operasi mata menjadi
momok bagiku. Terbayang akibatnya jika operasinya gagal.
Menit demi menit berlalu. Satu demi satu pasien
dipanggil dan masuk setelah pasien yang di dalam keluar. Hawa sejuk membuatku
bertambah mengantuk. “Bapak Sukirman!” Seketika aku terhentak begitu mendengar
namaku dipanggil.
Aku masuk. Cek pengelihatan dipandu oleh perawat. Lensa
demi lensa dicoba. Huruf-huruf pada panel dengan beberapa ukuran pada jarak
sekira tiga meter ada yang terbaca dan ada yang tidak. Payah mataku melihat
huruf yang lebih kecil, tak jelas bentuknya. Daya lihat mata kanan sedikit
lebih baik dari mata kiri.
Pemeriksaan awal selesai. Aku dipersilakan kembali
menunggu di luar. Satu demi satu pasien dipanggil, keluar-masuk. Benarkah
mataku katarak? Belum ada jawaban. Dokter Sri Nawung belum memeriksanya.
Kurang dari setengah jam kemudian namaku dipanggil
untuk masuk melalui pintu kiri, tempat prakter dokter Sri Nawung. Mataku
diperiksa dengan alat serupa di optik, mungkin mananya refractometer, entah
autorefractor. Kutanya, apakah ada katarak?
“Tidak, hanya kering.” Dokter meneteskan cairan ke
mataku guna membantu pemeriksaan. Aku dipersilakan menunggu di luar sekira lima
menit.Pada saatnya aku kembali masuk dan diperiksa dengan alat tadi. Selesai pemeriksaan suster mengarahkan
agar secarik kertas atas namaku dilegalisir di konter administrasi. Aku pun
pamit. “Kacamatanya dipakai yah Pak!” pungkas perawat ramah seakan-akan aku bakal
diberi kacamata di rumah sakit ini.
Dari konter administrasi aku diarahkan ke apotek
untuk menerima obat tetes mata. Antre sebentar. Obat tetes mata diberikan.
“Kacamatanya bisa diambil di optik terdekat yang bekerjasama dengan BPJS ya
Pak.”
Aku gembira karena mataku tidak menderita katarak. Berarti
klaim dokter pertama di puskesmas dan ucapan Mas Tarino itu tidak benar. Apakah
harus kuambil kacamata gratisnya? Tentu. Sayang jika tidak diambil. Hanya perlu
waktu beberapa menit tibalah aku di optik J. Kuserahkan secarik kertas hasil
pemeriksaan dokter Sri Nawung.
Pelayannya yang cantik mengeluarkan contoh kacamata
yang biayanya ditanggung BPJS. Kuamati bingkai kacamatanya. Katanya, lensa yang
akan diberikan sesuai dengan catatan dokter. Dia juga menunjukan kacamata lain
yang lebih bagus dan bisa dibeli. Pilihannya beragam dengan harga beragam pula.
Dengan mengukur ketersedian dana sampailah pada pilihan kacamata dengan bingkai
yang kurasa cocok dan lensa fotokromik, disertai lensa baca.
Setelah dipotong diskon karena harga promo, dan
dipotong dana BPJS tiga ratus tiga puluh ribu, aku tinggal membayar tujuh ratus
delapan puluh ribu. Kubayar dengan dana tunai, kekurangannya dengan menggesek
ATM. Kukira dalam waktu singkat kacamata selesai dikerjakan, ternyata harus
menunggu sepekan dan akan dikabari melalui HP.
Aku mendapat kabar melalui HP bahwa kacamataku
mengalami gagal proses, akan diberitahu kemudian jika telah selesai. Dua hari berikutnya
kembali ada kabar hawa kacamata telah selesai dan bisa diambil. Bakda magrib
aku ke optik J. Benar, kacamata bisa aku bawa pulang. Sepertinya perlu adaptasi
dalam pemakaiannya. Ada rasa ingin segera masuk kerja dan memakainya. Untuk
kutunjukkan kepada Mas Tarino sekaligus aku katakan bahwa mataku tidak katarak.
Akankah Adisty akan tampak lebih manis jika aku melihatnya dengan kacamata yang
menurutku relatif mahal? Akan aku buktikan nanti.[]
Komentar
Posting Komentar