Catatan Perjalanan: Diisapnya Jempol Kakiku

 




Demi menghargai niat baiknya kutemani istriku berkunjung ke rumah Aminah, tetangga di kampiung, di sebuah perumahan di kawasan Balaraja, Kabupaten Tangerang, Sabtu (24/8/2025). Berkat bantuan aplikasi google maps sampailah kami di kediamannya meskipun sempat kesasar. Aminah adalah tetangga istriku di kampung, desa Leu,  Kabupaten Bima, NTB. Dua pekan lalu kami mendapat kabar bahwa suaminya menderita strooke ringan. Suami Aminah, M.Nur berasal dari wilayah Kabupaten Dompu, tetangga kabupatennya. Istriku senang bisa ketemu dengan orang sekampung sekaligus prihatin atas musibah yang menimpanya.

Sebelas tahun lalu M.Nur masih menjadi sopir angkot. Kami berkunjung ke kontrakannya di kawasan Bencongan. Ketika itu kami belum punya anak. Setelah itu tak ada informasi apa pun. Nomor HP-nya juga terhapus di Hp istriku. Karena lama tidak bertemu istriku dan Aminah saling melepas kangen. Walaupun di kampung cuma tetangga mereka seperti saudara.

Kondisi M. Nur sudah agak membaik. Dia sudah bisa jalan meskipun harus dipapah. Bicaranya agak pelo. Katanya, pada mulanya M. Nur terjatuh, terpeleset di depan rumah. Pantatnya terbanting ke tanah. Akibatnya dia lumpuh. Singkat cerita, dia dirawat di rumah sakit besar di Jakarta. Dokter menyarankan agar kepalanya dioperasi. Tak ada cara lain, kata dokter yang menanganinya.

Saran dokter ditolaknya. Dia dan keluarganya khawatir keadaannya tidak bertambah membaik, bahkan taruhannya nyawa.  Dia memilih pulang untuk kemudian melakukan pengobatan alternatif. Beberpa tempat pengobatan nonmedis pun didatangi. Kehadiran Abdullah, kakak dari Aminah, sangat membantu proses pengobatan M. Nur. Abdullah berdomisili di Lombok. Dia mempunyai keahlian dalam bidang terapi kesehatan. Secara teratur M. Nur diterapinya. Dengan begitu M. Nur amat terbantu, tidak perlu berobat kepada orang lain.

Obrolan beragam tema pun mengerucut kepada masalahku. Seolah dia dapat menerawang batinku. Pandangannya tertuju ke wajahku. Tanpa diminta dipegangnya kepalaku. Dibacai salawat dan bacaan lainnya. Aku takut. Dalam hati aku pun baca-baca sebisaku agar terhindar dari hal-hal yang tidak kuinginkan. Demi menghargai niat baiknya aku turuti yang dia mau.

Diketahuinya, bahuku agak miring. Hal itu dinilainya sebagai sesuatu. Ya, dicurigainya sebagai keadaan yang tidak baik-baik saja. Hal serupa juga pernah diketahui oleh dokter syaraf di RS Qadr ketika aku berobat nyeri kepala beberapa tahun lalu. Pada kedatanganku yang ketiga dokter tersebut mengatakan, “Harusnya bapak sudah sembuh.” Setelah dua kali diobat memang tak ada perubahan signifikan. Kepalaku masih nyeri. Dolter itu pung mnegomentari bahuku yang miring. Bicaranya melebar. Katanya, anak teman dia bahunya bermasalah sampai rangkanya diganti. Mengerikan. Delapan suntikan dipunggung pada kesempatan itu juga tidak berdampak. Kepalaku masih sakit, nyeri cenderung perih seperti tertusuk-tusuk. Aku tidak kembali untuk keempat kalinya. Berselang sekian lama terpikirlah olehku untuk melakukan scan seluruh tuhun termasuk kepala. Berbekal surat rujukan dari Puskesmas Bojong Nangka aku ke RS Awal Bros di Kebun Nanas. Permintaanku dikabulkan dokter sehingga aku berkesempatan masuk ke alat scan. Hari berikutnya aku kembali. Kataku setengah gurau, bagaimana dok  apakah kepala saya ada pakunya? Gak, kena syaraf, jawabnya. Alhamdulillah, sembuh walau beberapa hari kemudian terasa sakit akibat makan empat petai kondisinya tidak separah seperti semula. Intinya nyeri kepala akibat kena syaraf terbilang sembuh. Adapun pusing yang biasa dirasakan itu kalau kondisi ekonomi sedang kritis saja.

Dengan serius Abdullah menanganiku.  Aku diurut. Tanpa kuduga jempol tanganku diisap. Geli. Penyakitnya diisap katanya. Selanjutnya digigit. Wah, sakit sekali. Aku berusaha menahan sakit dalam beberapa detik. Itu yang kanan. Hal yang sama dilakukan juga terhadap jempoi kiri. Luar biasa sakitnya. Aku merasa canggung, serasa tak sopan. Dia tidak peduli. Mungkin hal biasa baginya. Aku mengira selesai sampai di situ, ternyata tidak. Dia menyasar jempol kakiku.

“Jangan!” Aku menolak, “Jempol saya bau.”

Dia tidak peduli. Tidak apa-apa katanya.

Ya diisap pula jempol kaki kananku, seperti mengisap es krim, masuk ke mulutnya. Geli. Selanjutnya digigit keras. Sakit sekali. Rasanya seperti dalam gigitan rahang buaya. Aku berusaha menahan. Aku tahan juga untuk tidak menjerit.Sesungguhnya aku tak mau itu berlanjut ke jempol kiri tapi aku tak bisa menghindar. Geli dan sakitnya sama. Tak ada dia menunjukkan rasa jijik atau rasa mual hendak muntah. Luar biasa. Untung tak ada yang luka walau sakitnya tak segera reda. Aku dan istri jadi penasaran, ada apakah gerangan? Katanya ada penyakit kiriman pada diriku. Kiriman dari siapa? Dia menjawab bahwa ada pihak tertentu. Kendati tidak yakin, tapi aku berusaha menunjukkan sikap percaya dan berterima kasih.

 Terkait soal gaib macam itu aku jadi ingat beberapa waktu sebelumnya. Seorang teman lama, bertemu di suatu kantor. Dia memandangku penuh curiga. Katanya ada sesuatu pada diriku. Difotonya aku, lalu dikirim ke anaknya. Dia menelepon anaknya. Katanya, “Ini teman bapak, tolong dilihat.”

Tak berapa lama anaknya memberikan jawaban bahwa memang ada. Maksudnya, ada penyakit kiriman. Ya, katanya aku terkena gituan, semacam santetlah. Dia menyediakan diri jika aku mau berobat kepadanya. Jika tidak, aku juga boleh datang ke gurunya di Balaraja. Aku hanya berusaha bersikap baik menyesuaikan dengan harapannya agar dia tidak kecawa, tapi aku tidak memberi jawaban. Selanjutnya kuabaikan saja semua itu, sebab jika bicara penyakit, manusia dengan usia 50 tahun ke atas pastilah ada penyakitnya, dari mulai penyakit di kepala sampai di jempo kaki. Jika kemudian dieksploitasi oleh manusia setengah dukun ujung-ujungnya kan duit.[]


Penulis: Usman Hermawan

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesona Burayot, Sebuah Catatan Perjalanan ke Garut

HP Hilang, Susah pun Terbayang

[Catatan Perjalanan] Dari Pasar Lama ke Rumah Sakit