Catatan Perjalanan ke Bima Tahun 2018
Jamaah Salat Idulfitri di Lapangan Kara
Sidang
isbat Depag menetapkan awal Ramadan jatuh pada hari Kamis 17 Mei 2018, yang
berarti salat tarawih dimulai pada malam Kamis. Untuk kali ini ingin rasanya aku
menggenapkan salat tarawihku dari awal sampai akhir, tanpa bolong-bolong. Aku
pun menargetkan untuk salat tarawih
berpindah-pindah masjid setiap malam agar mendapatkan suasana dan pengalaman
yang berbeda-beda, dan aku tetap semangat. Dengan begitu juga jumlah rakaat
salatku diharapkan akan lebih banyak dari biasanya. Meskipun secara kualitas
tidak mudah meningkatkannya. Sebagai makmum, aku bebas menentukan mau salat
tarawih di masjid mana saja. Aku senang dengan kebebasan seperti ini.
Beruntung, istriku tidak keberatan.
Malam ke-1, sebagai penghormatan aku awali tarawih di masjid kampungku yakni Masjid Al Barokah, Kampung Gurubug, Kelurahan Bojong Nangka, Kecamatan Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang. Seperti biasa malam pertama di lantai bawah dan lantai atas jamaah berjibun, meskipun tiap barisnya agak longgar. Kaum perempuan memenuhi kanan masjid, sehingga kaum laki-laki memasuki masjid melalui sayap kiri. Lantai atas dengan penerangan remang diisi oleh sebagian jamaah. imamnya KH. Musa Hariri. Salat tarawih berlangsung tertib. Seperti biasa bacaan imam agak ngebut. Tidak terlalu membeludaknya jamaah karena sebagian warga salat tarawih di musala-musala yang ada di setiap wilayah RT.
Malam ke-2, tarawih di Musala Al Firdaus RT 01 RW 05, Kp. Gurubug. Jaraknya kurang dari seratus meter ke utara dari kediamanku. Jamaah, anak-anak dan dewasa, memadati ruangan. Kaum perempuan berada di belakang yakni di ruang tambahan, ada pula yang di luar samping di bawah tenda. Para jamaah begitu bersemangat menyelesaikan rakaat demi rakaat. Sang imam, Taufik Hidayat tampak dengan stamina yang stabil terus “tancap gas” dengan kecepatan sedang hingga akhir doa penutup.
Malam ke-3, bergeser
sekitar seratus meter ke utara ada Musala Hidayatul Karomah, RT 02 RW 05,
bentuknya memanjang ke samping, memuat tiga shaf.
Tiap shaf memuat 14 jamaah. Berada di
shaf belakang, jika kurang kontrol
saat rukuk, bokong kita bisa menabrak tembok. Beberapa rekan menyambut hangat
kadatanganku. Jamaah perempuan tidak tertampung. Mereka berada di luar, yakni
di jalan beratapkan tenda. Saat itu hujan, tapi mereka tetap semangat.
Malam ke-4, aku memilih
Masjid Kubah Emas Dian Al Mahri, di Jalan Raya Meruyung, Meruyung Limo, Kota
Depok, Jawa Barat. Bangunannya bergaya arsitektur Timur Tengah. Seperti
diketahui umum, masjid ini menjadi objek wisata keluarga sejak dibukanya pada
Iduladha, 31 Desember 2006. Jaraknya 37 km dari kediamanku. Saat kami masuk,
karcis masuk mobil Rp 15.000. Gerimis sore ceplas-ceplis
mengiringi perjalanan kami, aku ditemani Ustaz Soleh dan Kong Rimin. Tiba di
sana pukul 17.00, segeralah kami salat asar. Saat berbuka puasa tersedia takzil
gratis, kolak pisang dan lemper. Namun kiranya itu tak cukup memenuhi lambungku,
sedangkan warung nasi berada jauh di luar area masjid. Saat salat tarawih, perut terasa lapar, seolah
aku sedang puasa babak kedua. Meskipun demikian, cukup nyaman berada di masjid
tersebut. Perpaduan suara sang imam (berkostum ala Arab) dan suara bilalnya
sangat enak didengar. Hanya lima shaf
jamaah laki-laki terasa masjid begitu lowong karena besarnya. Kaum perempuan
menempati bagian belakang, dibatasi tirai. Durasi salat lumayan lama. Jumlah
rakaat 23, dengan formasi 2 rakaat x 10 + witir 2 agak lama dan 1 rakaat durasi
sedang. Berarti 12 kali salam. Bacaan suratnya cukup panjang. Jumlah tersebut
sama dengan di kampungku. Keluar dari
masjid, di parkiran para jamaah disambut SPG susu cap Beruang. Satu orang
diberi satu kaleng susu. Lumayan.
Malam ke-6, tarawih di
Masjid At Taubah, posisinya di sisi kompleks perumahan Dasana-Bonang,
berbatasan dengan kawasan RT 01 RW 05 Kampung Gurubug. Masjid masih dalam
proses penyelesaian. Bakda isya berlangsung salat mayit almarhumah Yanih/Dayok
bin Aning warga 01. Salat mayit "gratis" lillahi taala, tanpa bagi-bagi amplop. Jamaahnya banyak. Andai sohibul musibah harus memberi sedekah
kepada semua jamaah bertambahlah sengsaranya. Biasanya di kampung kami ada
bagi-bagi amplop sebelum salat jenazah. Mayit diangkut dengan ambulans masjid
At Taubah ke pemakaman Kp. Gurubug. Tiga bulan sebelumnya suami almarhumah
tutup usia. Mereka meninggalkan dua anak di bawah umur, yang satu lagi baru
dilamar.
Sebelum
salat tarawih ada kuliah sekian menit disampaikan oleh ustad MN. Dalam
ceramahnya beliau mengambil contoh sebuah masjid kecil yang ada di antara Mekah
dan Jamarat. Di dalamnya tersedia makanan dan minuman, karpetnya pun empuk,
sehingga jamaah jadi tertarik datang ke masjid. Hal macam itu bisa juga
diterapkan di sini. Daripada nongkrong di warnet lebih baik anak-anak nongkrong
di masjid. Intinya masjid harus punya daya tarik bagi jamaah dan membuat jamaah
nyaman berlama-lama berada di dalamnya.
Formasi
dan jumlah rakaatnya sama dengan di masjid Kubah Emas, tapi saat selesai rakaat
ke-8 lebih dari separuh jamaah mengakhiri salatnya. Mungkin mereka melaksanakan
salat witir di rumah. Tak jadi masalah akibat perbedaan itu. Selesai tarawih
kami kongko-kongko sambil menikmati makanan ringan yang disediakan pengurus
DKM. Sementara itu, sejumlah rekanku sedang berada di tempat sohibul musibah. Kami pun kemudian
merapat dan kongko lagi.
Malam ke-7, tarawih di
Masjid Al Jihad, kompleks perumahan Dasana-Bonang. Masjidnya lumayan besar dan
berlantai. Jamaah penuh. Perempuan tampak nyaman mendapat tempat di area
belakang, masih dalam masjid. Ada kuliah sekian menit. Pembicara mengajak jamaah
memperbanyak ibadah dalam bulan Ramadan. Salatnya 23 rakaat. Selesai rakaat
kedelapan sepertiga jamaah mengakhiri salatnya dan keluar.
Malam ke-8, tarawih di
Masjid Imam Syafi'i, yayasan ALIA, masih di kawasan Kampung Gurubug, sekitar
seratus meter ke selatan dari kediamanku. Yang aku lihat jamaahnya tak ada
warga kampung Gurubug. Di masjid ini biasanya mayoritas jamaahnya bercelana
cangkring, sekian senti di atas mata kaki. Barisannya rapi, kaki antarjamaah
umumnya bersentuh. Kaum hawa di lantai atas cukup nyaman. Formasi salat 2, 2,
rehat/tadarus, 2, 2, rehat/tadarus, dan witir 3 rakaat dengan satu salam. Tanpa
bilal. Tempo bacaan surat terbilang lambat dan panjang. Hujan turun begitu
deras ketika tarawih berlangsung.
Malam ke-9, tarawih di
Masjid Nurul Huda, depan kantor kelurahan Bojongnangka. Masjid masih dalam
proses renovasi. Jamaah banyak. Kaum hawa di luar belakang dan sayap kanan. Di
lantai atas anak-anak. Sebelum tarawih ada kuliah beberapa menit. Usai rakyat
kedelapan separuh jamaah keluar barisan dan pulang. Anak-anak di lantai atas
pun tak tersisa. Separuh jamaah lainnya melanjutkan hingga 23 rakaat. Kecepatan
bacaan imam dan panjang surat terbilang sedang.
Malam ke-10, tarawih di Masjid Al Ikhlas, Anggris. Berjarak
sekira dua kilo arah timur laut. Kaum perempuan berada di halaman masjid.Tanpa
basa-basi, selesai Isa langsung tarawih. Nada aminnya tegas dan keras. Salam
witir pukul 19.57. Lima menit kemudian jamaah bubar. Cepat dan efektif. Di sisi
halaman masjid ada yang berjualan peci. Aku membeli peci bordiran dengan warna
kombinasi putih, abu dan coklat muda, Rp 50.000. Istimewa. Peci tersebut
selanjutnya aku pakai terus. Sebelum star pulang seseorang menghampiri aku dari
belakang. Ternyata, saudara Idup Permana, teman ketika sama-sama bergiat di
karang taruna desa. Aku masih ingin berbincang lebih lama karena kami sangat
jarang bertemu, tapi dia segera menyudahi karena ada keperlauan dengan
anaknya.
Malam ke-11, sekitar seratus
meter masuk dari jalan raya masuk ke kompleks Vila Rizki Ilhami. Azan
berkumandang. Di depanku ada dua pintu gerbang yang dijaga satpam. Lurus atau
belok kiri? Aku ragu. Segeralah aku putuskan belok kiri. Aku telusuri suara
azan hingga sampailah di satu masjid. Tak aku temukan nama masjidnya. Masjidnya
juga kok kecil? Berada di dalam masjid, aku terus membatin, pelanga-pelongo. Menjelang salat tarawih
seorang protokol menyebut nama masjidnya, yakni Masjid Baitul Ukhuwah,
perumahan Karawaci Residence, Oh! Ternyata aku salah sasaran, maksudku ingin
salat di masjid yang besar. Namun tak
mengapa, aku pastikan aku akan salat tarawih di masjid ini sampai tuntas. Ada baner ukuran kecil bertuliskan jadwal
acara pesantren ramadan. Sepertinya masjid tersebut terkelola dengan baik. Jamah
laki-laki 4 baris, seperempatnya anak-anak.
Malam ke-12, tarawih di
Masjid Jami Al Ijma, Legok, lebih dari empat kilo ke selatam dari kediamanku.
Masjidnya cukup besar. Bedugnya besar berada luar/teras masjid, bukan hanya
pajangan, tapi ditabuh ketika memasuki waktu salat. Jamaah laki-laki 4 baris
panjang. Uang amal keliling bukan dengan kotak tapi dengan boboko alias bakul
nasi. Bagus juga memanfaatkan hasil kerajinan warga sekitar. Posisi jamaah,
perempuan di belakang dan teras masjid, cukup nyaman.
Malam ke-13 tarawih di
Masjid Raya Asma’ul Husna, Gading Serpong. Tempat salat di lantai atas. Lantai
bawah biasa digunakan untuk acara-acara. Perempuan di shaf belakang. Selesai
salat bakda isya dilaksanakan kultum bukan tujum menit tapi 27 menit. 11
rakaat. Salat witir dilaksanakan langsung 3 rakaat satu salam. Tarawih selesai
jam 20.34 (makan 34 menit).
Malam ke-14 tarawih di
Masjid Raya Al A’zhom, 17 km dari kediaman aku. Di area masjid berlangsung
bazar. Ada tausiah, 23 menit. Humornya, “Istri kita pinter nyari duit. Di mana
aja kita naro duit pasti ketemu!” Jumlah rakaat 23. Suara imam dan bilalnya
serasi dan merdu, bikin adem. Salam rakaat witir pada pukul 21.00. Pada
perjalanan ini aku ditemani rekan aku Bang Dewi, Kong Rimin, dan Om Dede. Om
Dede kehilangan sandal, sehingga kami harus membelikannya. Ternyata ada juga
orang lain yang juga kehilangan sandal.
Malam ke-15, tarawih di Masjid Khairuroziqin, Villa Rizki
Ilhami, masih di kawasan kelurahan Bojong Nangka. Bangunan masjid lumayan
megah. 11 rakaat, dengan tempo sedang, ringan rasanya. Kaum hawa mendapat
tempat hampir sebagian ruangan masjid. Banyak anak-anak sehingga agak berisik. Aku
ditemani Bilal Eksis Arsipelago, anak aku.
Malam ke-16, malam qunut,
tarawih di masjid Jami Nurul Jamal Curug Wetan. Aku ditemani Bilal Eksis
Arsipelago, anakku. Begitu salam witir sebagian jamaah langsung bubar. Sebagian
yang lain terus sampai tuntas dan makan ketupat sayur. Tak bisa ikut serta
makan ketupat aku pun pamit, tapi kemudian kami dibekali sejumlah ketupat. Dari
segi manajemen, masjid dikelola oleh kaum tua, tak tampak aktivitas kaum muda.
Malam ke-17, tarawih di
masjid Al Ikhlas, RW 019 Dasana Indah, dekat Pasar Bonang. Ada kultum. Bangunan
masjid yang agak kecil namun tinggi terkesan megah. Warga sekitar memang tidak
terlampau banyak sehingga daya tampung masjid memadai. Jamaah perempuan di
bagian belakang, masih dalam ruang masjid. Aku ditemani Bilal Eksis Arsipelago,
anak aku.
Malam ke-18, tarawih di
Masjid As Syarif, Al Azhar, Bumi Serpong Damai. Aku berangkat sendiri dengan
mobil. Begitu aku tiba sedang azan isya. Tak ada rencana jauh-jauh hari aku
memilih masjid ini. Sebelumnya, beberapa tahun lalu dengan seseorang aku pernah
sekali salat di masjid ini. Bangunannya bagus. Fasilitas di dalamnya memadai. Inilah
masjid ternyaman. Karpetnya empuk, ada pendingin ruangan, tersedia infokus,
tersedia air minum. Sepertinya pengorganisasiannya sangat baik. Tentu saja,
yayasan itu jamaahnya menengah ke atas. Jamaah laki-laki ada delapan baris
panjang. Kaum hawa berada di bagian belakang dengan batas tabir ketingginan
sekitar semeter. Sedangkan lantai bawah digunakan juga untuk salat dengan
posisi jamaah yang hampir sama.
Sebelum
salat tarawih ada tausiyah. Penceramah yang berganti-ganti boleh jadi menjadi
daya tarik bagi jamaah. Saat itu sesi tausiyah diisi oleh Ustaz Nababan. Tema
ceramahnya ekspansi dakwah. Beliau bercerita tentang perjalan dakwahnya dengan
yayasan An Naba yang masuk dan membangun pesantren megah di perkampungan warga
beragama Katolik, di Kupang. Warga yang notebene beragama Katolik senang,
karena berkat ada bangunan megah kampung mereka jadi terangkat. Kehadirannya
juga disambut baik oleh pemuka agama setempat berkat caranya yang tepat. Tiga
pendeta datang menghadapnya untuk meminta dibangunkan WC di luar gereja. Dia
penuhi. Berkat itu kemudian mereka siap melindungi keberadaan
pesantrennya.
Dalam
kesempatan malam itu Ustaz Nababan mengajak seorang bernama Alfredo Simenes,
seorang mualaf asal Timor Leste. Nama Islamnya Umar. Dia diislamkan oleh kedubes
Arab Saudi di Jakarta. Di kampungnya Alfredo seorang ketua RT. Saat masih
beragama Katolik dia berhasil mengajak puluhan warganya masuk Islam. Empat
anaknya juga diislamkan lebih dulu, sedangkan dia menyusul kemudian. Bahkan
raja Kupang pun diislamkannya. Luar biasa. Alfredo diberi kesempatan untuk
mencertakan pengalamannya di depan hadirin. Perjuangannya tidak luput dari
rintangan. Dia juga menghadapi teror. Katanya, rumahnya yang dilempari batu
oleh orang-orang yang tidak suka. Acara tausiah berlangsung sekiat 42 menit.
Selanjutnya salat tarawih dan witir. Jumlah rakaat 8+3 dengan bacaan surat yang
panjang. Aku datang sendiri. Orang semasjid, tak satu pun saling kenal dengan aku.
Malam ke-19, aku kembali
tarawih di masjid Asy Syarief, Al Azhar BSD, demi menyaksikan dan menyimak
ceramah Syekh Abdullah Al Fayyummiy (dari Mekah), Ust. Fatih Karim (CEO Cinta
Quran), dan Ust. Evie Effendie. Alhamdulillah mereka bisa hadir. Kunjungan
lelaki berusia 73 tahun itu ke 17 kota di Indonesia. Sebelumnya, tahun 2015,
beliau mengunjungi kota Manado dan Lombok. Dalam ceramahnya yang diterjemahkan,
Syekh mengatakan, “Kita semua sekarang di dalam masjid ini merupakan tamu-tamu
Allah, maka sungguh tidak rugi bagi kita duduk dalam masjid satu jam dua jam
atau lebih dari itu. Karena sesungguhnya kita merupakan tamu-tamu Allah. Dan
tidak ada tempat di muka bumi ini yang lebih baik kecuali menjadi tamu-tamu
Allah di tempat yang mulia ini....”
Pada
bagian lain beliau katakan bahwa pada kunjungan sebelumnya ketika beliau
berinteraksi seperti itu, yaitu dengan orang-orang, saudara-saudara kita di
sana, beliau menemukan suatu keistimewaan yaitu karakter nabi, sifat nabi yang
dimiliki orang Indonesia. Di antaranya beliau menemukan orang-orang yang
lembut, kemudian yang akhlaknya mulia, kemudian tawadu. Ini adalah sifat-sifat
yang dimiliki baginda nabi Muhammad SAW.
Sementara
itu, dua lainnya mengajak hadirin untuk mencintai Al Quran. Acara berakhir
24.00. Aku pun merasa puasssss.
Malam ke-20, tarawih di
masjid An Nahl, BSD kawasan Sampora. Ada tausiah. Tarawihnya ada dua grup. Aku mengikuti grup pertama. Grup pertama jam
8, 11 rakaat, dan grup kedua jam 10, 23 rakaat. Ada banyak program ramadhan
yang terpampang di sana. Ruang masjid ber-AC adem. Qiroat imam bikin adem. Luar
biasa walau bangunannya belum permanen. Kukira, takmir masjidnya merupakan
orang-orang yang profesional dan digaji, sehingga manajemennya rapi.
***
Pada
5 Juni 2018, pukul 13.27 aku hadir pada acara tausiah di masdij Al A’zhom
bersama Ust Adi Hidayat dengan tema “Ramadhan Bulan Perjuangan”. Pembawa acara
artis Dude Herlino. Direkam syuting oleh SCTV. Hadirinnya amat banyak. Aku
kebagian tempat di belakang panggung dan tidak kesorot kamera. Penggung berada
di dekat mimbar.
***
Ada
SMS masuk dari LION AIR, (3/6/2018, pukul 07:59): Yth. Pelanggan LION AIR rute
JAKARTA – DENPASAR Tgl 07 JUN JT34 JAM 04.30 DIMUNDURKAN KE JT38 JAM 05.00. Info
hub call center 021-63798000. Terima kasih.
Aku
sudah membeli tiket pesawat sejak empat bulan sebelumnya. Tiket berangkat 2 x 1.400.000 dan tiket
pulang 2 x 1.450.000, sedangkan untuk bayi di bawah usia setahun Rp 600.000 pp.
Total Rp 6.300.000, jauh lebih murah dibanding kalau beli dekat hari
keberangkatan.
***
Malam ke-21, tarawih di
masjid An Nur, Yayasan Pramita, Binong. Jarak dari rumahku sekira 4 km. Jumlah
rakaatnya 11. Bacaannya panjang. Setiap usai salam rehat dua menitan. Manajemen
masjidnaya tertata, ada kegiatan malam khusus ramadan. Jamaahnya mayoritas
bercelana cingkrang seperti di Masjid Imam Syafii yayasan Alia. Masjid-masjid
yayasan umumnya takmirnya bergaji sehingga mereka punya program khusus ramadan.
Cuma satu orang yang aku kenal, yakni Pak Thayib, warga perumahan Dasana,
tetanggaku.
Malam ke-22, tarawih di
masjid Al Fath, perum Binong Permai. Salah satu takmir masjidnya Pak Usman
Dompu, kenalanku. Keramaian dan kesibukan yang membuatnya sambutannya terasa
kurang hangat. Sebelum salat tarawih ada kultum. Aku duduk di posisi kanan agak
belakang. Di barisan depan kanan ada seseorang yang sepertinya aku kenal.
Kupikir seperti Pak Nasir, teman mengajar di SMAN 6 yang sudah pensiun.
Rakaat:
4+4+3, 3x salam, tanpa doa qunut. Tarawih suratnya Ar Rahman, witir dengan
surat Al Mulk. Ruang imam memuat beberapa jamaah. Tanpa suara bilal. Usai
tarawih aku langsung pulang. Aku tak sempat pamit karena sepertinya Pak Usman
sibuk. Pada waktu lain aku menanyakan, benarkan itu Pak Nasir? Ternyata benar.
Beliau merupakan jamaah masjid itu.
***
Selanjutnya
aku akan tarawih di Bima, NTB. Ada SMS masuk dari LION AIR, (3/6/2018, pukul
07:59): Yth. Pelanggan LION AIR rute
JAKARTA – DENPASAR Tgl 07 JUN JT34 JAM 04.30 DIMUNDURKAN KE JT38 JAM 05.00.
Info hub call center 021-63798000. Terima kasih.
Aku
sudah membeli tiket pesawat sejak 11 Januari 2018 (empat bulan
sebelumnya). Tiket berangkat 2 x
1.400.000 dan tiket pulang 2 x 1.450.000, sedangkan untuk bayi di bawah setahun
Rp 600.000 pp. Total Rp 6.300.000, jauh lebih murah dibanding kalau beli dekat
hari keberangkatan. Star dari rumah tengah malam, bersama anak dan istri, pukul
lima pagi naik pesawat terbang, transit di Bali, naik lagi pesawat ke Bima.
Tiba di bandara Salahudin pukul sebelas. Kami dijemput keluarga dengan mobil losbak
sewaan. Dari bandara ke rumah mertua 18 km.
Kami
datang membawa rezeki (baca: anak).
Kedatangan kami disambut hangat keluarga dan para tetangga. Mereka berebut
menggendong Naira (11 bulan). Tangisnya sambung-menyambung. Stres juga anak itu
digendong orang yang baru dikenalnya. Inilah “oleh-oleh rezeki” paling berharga
yang kami bawa bagi keluarga, setelah ikhtiar dan penantian tiga tahun lebih
akhirnya dikabulkan Allah. Seisi rumah
gembira, tanpa kecuali nenek Kalsom. Bagi istri aku, sang nenek merupakan orang
spesial. Istri aku terlahir kembar. Untuk membantu kerepotan sang ibu, istri aku
diurusai oleh sang nenek. Lebaran 2015, ketika istri aku mudik sendiri katanya
nenek Kalsom berujar, jika dia tutup usia, istri aku tidak usah mudik. Itu
karena dia memahami akan kerepotan kami dengan jarak yang jauh. Ternyata, sang
nenek masih dikaruniai kesahatan. Panjang umurnya. Ketika aku sempat bertanya
melalui istri aku, berapa usianya, dia hanya menjawab seratus lebih. Entahlah,
dia pun tak bisa menghitung berapa lebihnya. Aku tidak bisa menaksir, entah
berapa belas lebihnya. Dengan fisiknya yang bungkuk udang, dia masih bisa
melayani diri sendiri dan berjalan ke luar rumah. Dia tidak sakit-sakitan.
Katanya, telinganya saja yang kurang bisa mendengar. Aku kira, dia merupakan
orang paling tua di desa itu.
Nenek Kalsom, anak, cucu, dan cicitnya
Sedikit oleh-oleh bawaan kami seperti apel, jeruk, pear, dan salak dapat dipastikan bisa diterima semua anggota keluarga. Namun tidak demikian dengan dua kantong kecap manis merek SH made in Tangerang asli, terkenal di Tangerang. Semula aku pikir itu kecap istimewa. Ternyata, lidah mereka tidak cocok. Mereka tidak suka manis. Aku gagal memengaruhi selera mereka. Menu rutin di keluarga mertua adalah beragam sayur masak bening, dan ikan bakar disertai sambal rasa asam. Sungguh menu sederhana yang menyehatkan. Jarang-jarang mereka mengonsumsi gorengan, sangat hemat minyak goreng. Masak di dapur masih menggunakan kompor minyak. Sempat terjadi minyak sulit didapati dan ketika ada hanya boleh membeli maksimal lima liter. Harga per liter masih lima belas ribu rupiah. Demi menghabiskan sekantong kecap yang telah dibuka, aku selalu makan dengan kecap. Satu kantong sisanya kemudian kami bawa pulang.
***
Di kampungku, di Gurubug sampai tahun 1980-an sebagian besar warga mengerjakan pekerjaan anyam-anyaman dari bambu. Laki-laki umumnya membuat lowa (keranjang). Sedikit sekali warga yang membuat bilik. Saat itu di RT 05 RW 02 Desa Leu (Bima, NTB) sebagian besar warganya menganyam bedek. Dalam obrolah aku dengan bapak mertua, yakni Baba Yasin, aku memperoleh sejumlah informasi. Bambunya mereka beli dari desa lain yang lumayan jauh di wilayah kabupaten Dompu. Caranya mereka per tiga orang menyewa mobil dan membeli bambu masing-masing 40 batang. Harga perbatangnya ada yang 7.000, 10.000 dan 15.000 rupiah. Bambu dipotong dengan ukuran 160 cm.
Mereka
kemudian membuat anyaman bedek.
Bagian kulit dipisahkan. Bedek dengan
bahan kulit bambu bisa dikerjakan sendiri atau diupahkan. Jika diupahkan untuk
bahan kulit Rp 3000, sedangkan bahan inti Rp 1000. Bedek yang telah teranyam berbahan kulit dengan ukuran 160 x 160 cm
harganya Rp 70.000, sedangkan yang berbahan inti bambu Rp 20.000. Mereka
menjualnya kepada tengkulak yang datang.
Bedek tersebut diangkut masih ke kawasan Bima. Bedek menjadi barang material yang diperjualbelikan, digunakan untuk bagian rumah seperti dinding atau pun loteng. Konon bedek digunakan juga untuk memenuhi kebutuhan proyek, entah proyek apa. Ketika ada program bedah rumah, pesanan bisa besar-besaran.
Kebutuhan
akan bedek sepertinya tak
habis-habisnya. Warga Leu membuat bedek
sudah lama. Sejak kapan tepatnya? Beliau tidak tahu. Selain mengerjakan bedek sebagian besar warga adalah
bertani. Jika tak sedang musim tanam mereka fokus bekerja membuat bedek. Kaum perempuan pun ambil bagian
dalam pekerjaan itu. Pekerjaan membuat dan berbisnis bedek menjadi sumber penghasilan yang sepertinya bisa diandalkan.
Ada banyak sarjana yang kuliahnya dibiayai dari bedek. RT 05 ini merupakan bagian dari desa Leu yang kabarnya
dijuluki sebagai "desa seribu sarjana". Di desa ini pendidikan sangat
diutamakan, agak berkebalikan dengan di kampungku.
Jelang
lebaran ini aktivitas jual beli bedek
istirahat. Tak ada tengkulak yang datang. Namun kegiatan kerja warga jalan
terus. Kata Baba Yasin, biasanya sekitar sepekan setelah lebaran barulah
tengkulak kembali melakukan pembelian.
***
Malam ke-23, malam Jumat, aku
tarawih di masjid Al Hidayah, desa Leu. Kawasan itu disebut juga sebagai Kampo
Mudu (Mudu berarti kebakaran, konon dulu pernah terjadi kebakaran besar yang
menghanguskan banyak rumah). Masjid tersebut merupakan masjid terdekat dengan
kediaman mertua aku, sekira 50 meter jaraknya.
Formasi
4+4+3, tiga salam. Durasi surat yang dibaca terbilang sedang. Saat itu minim
anak kecil. Tanpa doa qunut, seperti saat salat subuh. Durasi yang agak pendek
terasa ringan.
JUMATAN.
Aku ke utara menyeberang jalan lintas provinsi, masuklah ke wilayah lain, yakni
Bara, desa Kananga. Aku jumatan di masjid An Nur yang pernah aku singgahi saat
pertama kali datang di Bima. Di masjid ini, juga di masjid-masjid sekitarnya,
kaum perempuan pun berjumatan. Ini hal yang lumrah, bahkan di setiap masjid.
Khotbah
jumat dilengkapi dengan uraian berbahasa yang bisa dipahami jamaah, yakni
bahasa Indonesia. Pada waktu-waktu yang lain, aku memilih salat subuh di masjid
ini.
***
Malam ke-24, tarawih di
masjid An Nur, Bara, desa Kananga. Ini masjid warga Muhammadiyah. Jamaahnya
lumayan banyak. Masjid hampir penuh. Kaum perempuan menempati bagian luar kiri
masjid. Formasi rakaat 4+4+3, 3 salam, tanpa qunut. Tanpa bilal. Tanpa doa
bersama. Setelah salam, sesaat kemudian jamaah bubar.
Waktu-waktu
selanjutnya aku lebih sering salat subuh di masjid ini. Menarik, karena ada
kuliah subuh. Pembicaranya ada warga setempat di antaranya ada yang bertitel
doktor, dan ustaz dari tempat lain. Sepintas yang aku lihat, baik saat jumatan
maupun pada saat waktu salat lainnya yang datang ke masjid selalu perempuan
tua-tua. Entah kemana para gadisnya.
MALAM
KE-25, malam Minggu, bergerak ke arah kota sekira 20 km, aku tarawih di Masjid
Amahami (masjid terapung) kota Bima. Masjidnya berdiri di atas pantai.
Sesungguhnya tidak benar-benar terapung. Bangunan masjid disangga dengan banyak
tiang. Mungkin ketika air pasang kelihatannya seperti terapung. Namun saat itu
air laut sedang surut.
Ketibaan
aku disambut aroma bau lumpur pantai. Masjid tersebut menjadi ikon kota Bima.
Eksotis paduan cahayanya. Lokasi pinggir jalan, strategis tapi sedikit berisik
deru kendaraan. Formasi tarawih 2,2,2,2 + 3 (witir dengan satu salam + doa
qunut). Di antara tujuh masjid yang aku singgahi cuma di masjid ini yang ada
baca doa qunut. Cericit burung walet menimpali bacaan imam yang begitu merdu.
Masjid Terapung Amahami Kota Bima
Usai
tarawih aku lanjutkan perjalanan dengan honda (apa pun merek sepeda motornya
tetap saja disebut Honda) ke pusat kota yakni lapangan yang ada patung kudanya,
yakni lapangan Serasuba. Banyak anak muda. Aku pun merasa muda. Bagiku, setiap
kali ke Bima serasa belum sampai jika tidak datang ke lapangan ini, hanya untuk
melihat patung kuda. Aku selalu menyempatkan diri. Namun sayang, kondisi patung
kudanya telah mengalami keretakan di bagian kaki belakangnya.
***
KARA.
Pagi itu, Ahad (10/6/2018), sekadar jalan-jalan santai aku ke barat sekitar
lima ratus meter lalu memutar selatan sampailah aku di Desa Kara, pecahan dari
Desa Leu. Aku ditemani adik bungsu, Hidayah. Beruntung jalannya sudah bagus.
Sekitar jalan yang aku lintasi nyaris tanpa rumah, juga tanpa lampu penerangan.
Malam hari gelap pastinya. Terbayang jika jalannya masih rusak, mungkin rawan
kejahatan. Suasana desa dan tampilan kantor kepala desanya yang tampak
terpencil mengesankan sebagai desa tertinggal dan jauh dari keramaian. Namun,
kata istriku, di desa itu banyak yang telah berhaji dan ada beberapa orang yang
berhasil jadi tentara. Subhanallah!
Akibat
kemarau bukit-bukit gundul berbatu tampak gersang. Rumput pun kering dan
jalanan berdebu. Namun lahan tani (ladang dan sawah) tetap hijau dengan tanaman
padi, kedelai dan jagung karena masih mendapatkan pasokan air yang berasal dari
sungai melalui parit dan dari sumur bor. Pun sekelompok sapi yang sempat
berpapasan di tepi jalan masih bisa cuplak-capek,
mengunyah rumput kering. Pada area yang jauh dari pemukiman terdapat sejumlah kandang peternakan ayam
dengan bentuk panggung dalam keadaan kosong.
Sebelum
tembus ke jalan raya lintas provinsi, kami melintasi desa Sanolo. Berbeda
dengan di desa Kara, sepanjang kiri-kanan jalan masih bisa ditemui banyak rumah
panggung berbahan kayu dan bambu yang sebagian besar mengesankan sebagai bangunan
tua.
***
Malam ke-26, aku tarawih di
Masjid Besar Al Amin, Desa Rato, sekitar 500 meter ke barat dari desa Leu.
Letaknya dekat pasar, sisi jalan lintas provinsi. Masjidnya besar, jamaahnya
banyak. Setelah mencapai 8 rakaat dengan 4 salam, sebagian jamaah mundur, jamaah
lain melanjutkan 3 rakaat witir sekali salam. Setelah itu hadirin bubar. Namun
saat aku berada di halaman masjid, ternyata sebagian jamaah yang mundur tadi melakukan
salat lagi mencapai 23 rakaat.
Malam ke-27, tarawih di
masjid Al Abror, desa Kananga. Formasi setiap 4 rakaat 1 salam, 4 rakaat 1
salam, plus 3 rakaat witir dengan 1 salam, tanpa qunut. Masjid cukup besar,
jamaah banyak. Kaum hawa cukup terakomodasi. Tidak ada kotak amal. Seperti di
kebanyakan masjid lainnya, tak ada orang yang aku kenal.
Malam ke-28, tarawih di
masjid Al Ikhlas, seberang kantor Desa Leu, sisi jalan lintas provinsi. Formasi
2,2,2,2, 3=5 kali salam. Ada bilal. Tanpa qunut. Masjid besar, jamaah banyak,
dominasi kaum tua/dewasa. Seperti di masjid lainnya, mikrofon dan tempat azan
berada di sisi kanan.
Malam ke-29, aku berjalan
kaki sendiri sekitar 500 meter ke timur untuk salat tarawih di masjid Nurul
Mubin, desa Timu, masih termasuk wilayah kecamatan Bolo (tanpa -t). Letaknya
sisi jalan raya lintas provinsi. Masjidnya lumayan besar. Terpampang data
histori di dinding luarnya: Dibangun tahun 1960 dengan beberapa kali renovasi:
1970, 1982-1985, 2012-2015. Luas 6 are, wakaf dari H. Muhdi. Lima baris jamaah
mayoritas dewasa dan para tetua berkulit coklat tua. Dengan jamaah perempuan
dibatasi tabir. Formasi rakaat tarawih
4,4,3 dengan 3 salam, tanpa doa qunut. Bilal masih ada, sehingga aku
mengerti jumlah rakaat yang akan ditempuh.
***
Alhamdulillah
berakhirlah safari tarawihku dari masjid ke masjid sebagai makmum. Tidak
seperti biasa Ramadan 1439/2018 ini mencapai 29 hari. Kalau di Tangerang dan
sekitarnya jelang idul fitri banyak warga yang membuat ketupat, di Leu banyak
orang membuat timbu alias lemang. Timbu terbuat dari beras ketan putih, santan
dan garam secukupnya. Bahan yang sudah teraduk rata dimasukkan ke bumbung atau
sebuku batang bambu dengan dilapisi daun pisang.
Sejumlah
bumbung sudah terisi tersebut diletakkan dengan posisi miring dengan penyangga
sebatang bambu, kemudian digarang di bara api sampai isinya matang hingga
sekira dua jam. Timbu tersebut milik beberapa orang. Pembuatan timbu macam ini
biasanya hanya dilakukan menjelang lebaran. Aksi membuat timbu seperti itu baru
kali pertama aku saksikan. Sebalumnya aku hanya tahu lemang yang di jual di
kereta api Parungpanjang-Kebayoran Lama, tahun 1990 semasa aku kuliah. Itu pun
aku belum pernah membeli.
Jika
ingin makan timbu pada hari biasa warga di Leu bisa membelinya di warung yang
menjualnya. Di Tangerang juga seperti di Pasar Bonang jika kebetulan ada yang
jual kami pernah membeli timbu macam itu. Rasanya legit dan gurih. Karena
terbuat dari beras maka bisa bikin kenyang.
Selanjutnya, malam takbir, dan idulfitri. Suasana malam lebaran terbilang sepi. Dari kediaman mertuaku tak terdengar takbir bergema melalui speker masjid. Sepi. Menjelang subuh barulah aku mendengarnya. Sementara itu bunyi petasan aku sempat mendengarnya secara sporadis, tidak banyak. Aku katakan kepada istri aku sambil bergurau, “Mungkin itu petasan bawaan Bang Juprin dari Jakarta!” Juprin dengan panggilan lokal Baba Ri adalah sopir bus Rasa Sayang trayek Bima-Jakarta yang kata istriku suka membawa petasan dari Jakarta.
Panorama Dermaga Bajo
Komentar
Posting Komentar