[Catatan Perjalanan] Melintasi Rute Jauhnya Pantai Sawarna


Cerita tentang pantai Sawarna telah lama kudengar dari sedikit orang yang pernah ke sana. Pada peta letaknya di barat daya, 172 km, amat jauh dari kediamanku di Kampung Gurubug, Kabupaten Tangerang. Jika pulangnya memutar jaraknya mencapai 351 km yakni kembalinya melalui rute lain. Dengan segala keterbatasan yang ada nyaris mustahil aku bisa berkunjung ke sana. Kini setelah bertahun-tahun kemudian, saat usiaku telah berkepala lima  timbullah kembali keinginan berkunjung ke sana. Sejujurnya bukan semata-mata keindahan pantainya yang konon sangat menawan, melainkan rute yang harus aku tempuh merupakan rute yang belum pernah aku lalui.   

Kucari teman agar aku tidak iseng sendiri. Ternyata sulit. Tekat sudah bulat, rencana keberangkatan tidak boleh ditunda. Ini perjalanan yang lumayan jauh, sehingga aku tidak perlu mengikutsertakan istri dan kedua anakku. Senin tanggal merah, jika berangkat Minggu maka ada waktu istirahat esok harinya.

Minggu (15/9/2024}, pukul setengah enam berangkatlah aku dari rumah dengan motor Yamaha NMAX 155 yang kubeli seken sebulan lalu, sendiri. HP berada di posisi tengah setang. Helm, jaket, sarung tangan dan sepatu kurasa cukup untuk melindungi diri. Tak lupa kubawa juga tas kecil berisi kacamata hitam untuk dipakai di pantai nantinya. Walau tidak banyak bekal ongkos yang kupunya kuperkirakan cukuplah. Tentu saja aku berharap perjalanan ini tanpa kendala berarti. Namun aku sadar ini perjalanan berisiko sehingga aku tetap berhati-hati.

Pada jarak sekitar sepuluh kilo kudapati banyak orang berkumpul di tegalan. Pada hari Minggu yang lain aku juga pernah melihat banyak orang di situ. Aku berhenti sesaat untuk memoto dan sedikit ingin mengamati aktivitas mereka. Mereka sedang bermain layangan, mungkin berkompetisi. Suatu fakta yang belum aku pahami sepenuhnya, mengapa bermain layang-layang pagi-pagi, apakah tiupan anginnya memadai?

Lalulintas relatif lengang, tapi ada truk parkir menghambat laju perjalananku. Sampai di Tenjo perjalan juga terjeda belasan menit karena ada kereta lewat. Seperti sebelumnya perjalanan mengarah ke Pandeglang melalui kawasan perumahan Citra Maja. Aku gunakan google maps untuk memastikan rute yang harus kutempuh benar. Amper meter bensin tinggal setengahnya, di kawasan Rangkasbitung aku mengisi bensin pertamax sampai penuh, lima puluh tiga ribu rupiah.

Sesuai petunjuk pada peta, dari kawasan  Pandeglang aku membelok ke arak Gunung Kencana. Area kiri-kanan jalan masih banyak ditumbuhi pepohonan dan kebun sawit.  Karena pantat sudah panas akibat kelamaan berkendara aku pun berhenti dekat orang yang sedang berhenti pula. Dia mambuka bekalnya untuk sarapan.  Kami bertegur sapa. Dia dari Cengkareng, hendak ziarah ke makam ayahnya. Rumah yang ditujunya di sekitar alun-alun Gunung Kencana. Katanya, Gunung Kencana masih jauh.

Aku mendahului, kupacu motor dengan kecepatan yang sewajarnya. Rasanya lama, sampai pertigaan tampak bacaan berhuruf balok ukuran besar: GUNUNG KENCANA. Aku berhenti, istirahat sebentar. Pantat terasa linu. Ini kali kedua aku melintasi rute ini. Meskipun begitu aku belum begitu hafal. Berkat peta google aku tidak perlu mencari orang  untuk bertanya. Malingping masih jauh, perjalanan dilanjutkan. Kunikmati pemandangan di kiri dan kanan jalan. Jalur ini lebih banyak hutannya daripada rumah penduduk.

Alun-alun Malingping. Istirahat beberapa saat. Berangkalah lagi, belok ke kanan, terus jalan hingga pasar Malingping.  Area pasar padat, laju kendaraan melambat.  Kuikuti terus arahan peta google. Jalanannya bagus. Lalulintas lancar. Di sisi kanan tampak pantai dengan buihnya yang putih. Ada gerbang tempat wisata Pantai Karang Nawing, terus ada juga gerbang  Pantai Pasir Putih Cihara. Indahnya pemandangan amat menggoda, sehingga kemudian aku belok kanan masuk ke area wisata bermerek warna-warni KARANG MEJA. Tak ada orang meminta biaya masuk. Ada beberapa orang yang bersantai. Aku pun masuk ke pantai lainnya, tak kutemukan namanya. Pantainya memang tidak landai, banyak bebatuan. Namun pemandangan pantai tetaplah menakjubkan dengan ombaknya yang tampak gagah.

Dari Cihara sampai Bayah mataku selalu melirik pantai ke kanan, seraya bertanya-tanya di manakah Sawarna kok tak sampai juga. Ternyata Sawarna memang masih amat jauh, terus dan terus. Masih ada beberapa gerbang masuk ke area wisata pantai. Aku terus melaju. Seseorang memberi tahu bahwa plat nomor belakang motorku nyaris jatuh. Aku berhenti, ternyata bautnya hilang satu. Aku pungut bekas sedotan dan kuikatkan. Tidak sempurna. Melajulah lagi. Masih berisik.

Demi menggantisipasi kelaparan akupun mampir di warung nasi Padang dan makan sekalian istirahat. Setelah itu teruslah melaju di jalan Sawarna-Bayah,  cukup jauh, lalu belok hingga masuk waktu zuhur aku berhenti di sebuah masjid. Usai salat aku bertanya kepada seorang warga setempat jika aku tak salah dengar bahwa itu kampung Pulo Merak, masih kabupaten Lebak. Aku juga bertanya arah Sawarna, katanya masih jauh dan masuk hutan. Luar biasa, jauhnya kian terasa.

Starlah lagi. Ada hutan yang dilalui, tepian pantai dengan aneka perahu. Ada pula jalan menurun yang ekstrem lalu membelok. Beberapa lama kemudian sampai di gerbang bertuliskan GERBANG WISATA SAWARNA. Kiranya inilah kawasan yang pernah aku dambakan sejak lama untuk didatangi. Kali ini tercapai setelah melalui perjalanan yang lumayan panjang dan melelahkan. 

Masuk dari gerbang tersebut banyak mobil terparkir. Ada pintu masuk. Bayar tiket 10 ribu. Motor boleh masuk melalui jembatan besi. Lebarnya sekira satu meter. Tak bisa pruis. Setelah melaju agak jauh sampailah di kawasan berpasir sampai pantai. Areanya cukup luas. Aku tiba berbarengan  dengan dua anak remaja. Setelah aku tanya mereka mengaku bersekolah di SMAN 1 Tangerang, tapi suaranya meragukan. Mereka langsung menyewa gazebo dan merokok.

Ada banyak gazebo yang biasa disewakan. Aku memilih berjalan-jalan di pasir pantai. Aku mendekat ke bibir pantai  dan beroto-foto. Matahari terik sekali. Tak nyaman jika berlama-lama bercanda dengan buih yang dikirim ombak. Namun memandang laut adalah memandang karya agung dari yang maha Agung. Subhanallah. Ombak berkejaran begitu perkasa. Deburannya mengguruh, mengecilkan rasa jumawa dalam diriku. Tampang ganasnya bikin ngeri. Pada keseluruhannya, keindahan itu menitipkan pesan-pesan religi untuk diresapi. Kepada Allah jualah hati kembali mengusung puji.

Waktuku singkat. Aku tak bisa istikomah dan berlama-lama menikmati pantai seindah itu. Ada rute misteri yang harus kucari dan kulalui agar bisa pulang dengan aman. Aku hanya menghabiskan waktu sekitar dua pulu menit. Dengan berat hati kutinggalkan pantai Sawarna itu. Rasa rindu mesih menggelayut. Namun apa daya waktu memisahkannya.

Kembalilah aku ke rute semula, ke arah Bayah. Rasanya perjalanan cukup jauh, lalu belok kanan arah Pelabuhan Ratu. Jalannya berkelok-kelok, di kiri dan kanan banyak hutan. Melajulah terus meskipun ada rasa ragu, benar atau tidak. Setalah jauh, aku pun benar-benar ragu, khawatir salah sebab peta google meragukan. Aku pun berhenti. Susah mencari orang untuk ditanyai. Saat aku berhenti dalam beberapa saat menyusul tampak di kaca spion ada orang berjalan mendekat. Aku hendak bertanya. Setelah orang itu dekat, ternyata orang gila. Aku urung bertanya. Kukira percuma, bisa tambah bingung aku. Kuteruskan perjalan, terasa jauh sekali. Hingga waktu azan asar terlewati, tapi kemudian aku pun mampir di masjid untuk salat asar. Setelah salat, aku lanjutkan perjalanan dengan sensasi ngeri-ngeri sedap, menantang dan melelahkan. Tak paham aku entah kampung apa saja yang telah aku lewati.

Ikatan kendor plat nomor cukup mengganggu, berisik. Tak mudah menemukan bengkel hingga pada akhirnya ketemulah bengkel motor. Ada sejumlah orang berbincang-bincang santai. Mereka tampak ramah. Aku tak bertanya, entah kampung apa itu. Karyawan bengkel memasang baut yang kuminta. Berapa? Jawabnya, dua ribu. Kubayar lima ribu.  Jasanya sangat berharga. Aku sangat terbantu. Motor tak lagi berisik.

Melajulah terus hingga sampailah aku pada kawasan banyak kendaraan terparkir dan orang menghadap pantai. Kiranya itulah pantai Pelabuhan Ratu. Sekitar pukul lima sore itu. Aku pun singgah sebentar. Sinar matahari dari langit barat cukup menyilaukan sehingga pemandangan laut tak tampak sempurna. Sempat pula aku bertergur sapa dengan seorang lelaki dewasa dalam bahasa Sunda. Aku bertanya arah Cibadak. Katanya sekira satu jam lebih, artinya bisa kemalaman. Di depan katanya ada dua rute, bisa belok kiri atau belok kanan.

Kira-kira sekitar alun-alun Pelabuhan Ratu aku memilih jalur belok kiri, dalam peta tertera Jalan Kiaralawang. Senja kian redup. Aku berhenti dekat masjid, tapi karena waktu magrib masih agak lama aku batal mampir. Rerimbunan pohon turut mempercepat datangnya kegelapan. Berkendara dengan motorku terasa kurang nyaman akibat lampu utamanya yang kurang terang. Tikungan tajam menjadi medan yang mengkhawatirkan. Lampu lurus ke depan, sedangkan jalan belok patah ke kanan. Laju motor tak bisa dipercepat sebab bahaya mengintai. Azan magrib terdengar, tapi tak kutemukan masjid pinggir jalan. Jalan banyak belokan dan gelap. Sampai jauh, barulah ketemu masjid di kanan. Jamaah salat magrib telah bubar berapa saat lalu. Aku pun mampir dan salat magrib.   

Sebagian besar jalanan gelap tapi kendaraan yang melintas rata-rata cepat. Sekelompok pemotor tancap gas. Tak sanggup aku mengikuti gaya mereka. Seiring usia, daya lihat mataku telah menurun ditambah dengan lampu motor yang kurang terang tak leluasa rasanya. Aku memilih santai. Hanya kepada Allah aku berlindung dari gangguan kaum yang berbuat zalim. Jika ada begal, nauzubillahiminzalik, hanya nyawa yang ingin aku selamatkan. Rasanya aku tak mau mengulang untuk kedua kalinya melewati jalur yang sesepi dan segelap itu sendirian.

Sedikit surprize, tanpa kuduga ternyata aku sampai di jalan raya Sukaraja-Sukabumi. Belok kiri, kukira arah Ciawi, ada pom bensin. Aku mengisi pertamax,64 ribu. Untuk memastikan aku bertanya kepada petugas SPBU, ke sana arah Ciawi? Dia mengiyakan. Rute jalan raya itu aku sudah tahu, tapi ternyata banyak belokan. Aku hampir terkecoh. Jika salah belok bisa salah jalan.

Daya lihatku tak sempurna. Cahaya lawan arah begitu menyilaukan sehingga jalan di depan tak tampak jelas, selain karena lampu motorku tak fokus. Menyusul hujan deras. Aku menepi untuk memakai mantel setelah itu terus melaju. Mendekati perempatan Ciawi jalanan kering, ternyata tak ada hujan. Belok kiri arah kota Bagor. Melaju terus. Di depan Alfamart aku berhenti dan membuka mantel. Sebagian besar pakaianku kebasahan. Sepuluh menit berlalu. Aku kembali melaju.

Jalan lurus arah tugu kujang, tapi rutenya harus belok kiri. Peta google distel arah Parung. Jalan rata. Suara motor lembut. Mode gelap peta google dengan warna hijau terus bergerak maju menjadi pemadangan yang menyenangkan. Tak ada lagi beban pikiran takut salah jalan. Itulah momen ternyaman berkendara. Melajulah terus sampai jauh hingga ujung tol arah Parung.

Aku mampir di warung nasi Padang di dekat jalan keluar dari tol agak jauh sebelum Parung. Makan. Pukul 23.00. Tak jauh dari situ aku membeli talas bogor. Kupikir, asal ada yang dibawalah sebagai buah tangan. Tiga buah 60 ribu. Mahal. Jika satu buah diiris digoreng dan dijual di tukang gorengan tak akan sampai laku dua puluh ribu. Ya, secara hitung-hitung dagang rugi. Sekali-kali tidak apa-apalah. Dalam keadaan basah, teruslah melaju melewati Parung arah Serpong hingga tiba di rumah dengan selamat pukul dua belas malam. Alhamdulillah.[]

Penulis: Usman Hermawan

 

 

  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesona Burayot, Sebuah Catatan Perjalanan ke Garut

HP Hilang, Susah pun Terbayang

[Catatan Perjalanan] Dari Pasar Lama ke Rumah Sakit